Penulis : Derek Manangka, Wartawan Senior
“Nusantara”, satu-satunya restoran Indonesia di Israel, di tahun 1993 itu, tergolong tempat makan yang populer. Khususnya kalangan elit dan komunitas bangsa asing setempat. Ini terlihat jam operasinya.
Khusus untuk malam hari, dibagi atas dua shift. Yang pertama pukul 18:30 sampai 20:30 dan yang kedua pukul 21:00 – 23:30.
Untuk mendapatkan tempat harus melakukan reservasi terlebih dahulu. Daftar makanan yang tersedia ditulis dalam tiga bahasa: Indonesia, Ibrani dan Inggeris.
Pada mulanya saya hanya tertarik pada keberadaan sebuah restoran Indonesia. Koq bisa yah, di negara yang jauh dari tanah air dan di sebuah negara “musuh”, terdapat tempat makan yang menyajikan makanan-makanan dari negara “musuh”.
Tak pernah terbayangkan, kalau hal serupa dilakukan oleh seseorang atau pengusaha di Indonesia.
Membuka restoran atau kafe dengan nama “Israel”. Tempatnya di kawasan Segi Tiga Mas, Jakarta. Lantas menu makanannya ditulis dalam tiga bahasa : Ibrani, Indonesia dan Inggeris.
Saya yakin, sekalipun pemiliknya didukung oleh pemerintahan (Soeharto – – Presiden RI yang dikenal bertangan besi) ataupun pemiliknya seorang jenderal, kroni Soeharto, maka tempat makan itu akan menjadi bulan-bulanan. Restoran itu akan menjadi sasaran demonstrasi bahkan mungkin anarki.
Tapi saat masih di Israel, saya mulai menandai, semua kegiatan yang kami lakukan, semua punya sasaran yang sama. Yaitu satu tujuan pemerintahan Perdana Menteri Yitzhak Rabin untuk menunjukkan bahwa tak satupun negara di dunia yang bisa menghalanginya untuk melakukan sesuatu.
Israel sebagai umat pilihan Tuhan sebagaimana Israel mengkleim diri, memang dikaruniai kelebihan oleh Sang Pencipta. Memiliki kelebihan dalam soal akal dan strategi.
Seperti halnya restoran “Nusantara”. Pemiliknya seorang warga negara Belanda yang sering mondar mandir Jakarta – Amsterdam. Entah apa yang dilakukannya, tetapi pengusaha ini mampu meyakinkan seorang koki berkewarganegaraan Indonesia untuk bekerja di Israel. Saya curiga, pengusaha itu hanya menjadikan bisnis restoran sebagai kegiatan kamulfase. Sementara yang sesunggunya dia bagian dari jaringan mata-mata Israel.
Atau kisah lain. Seorang wanita cantik, sebut saja namanya Naomi, Dia lancar berbahasa Indonesia bahkan bahasa Jawa, karena pada waktu itu ia sudah lebih dari tiga tahun menetap di Solo.
Naomi, diperkenalkan kepada kami oleh Avie Shoket, yang mengaku Direktur Asia di Kemlu Israel. Pertemuan dengan Naomi seperti secara kebetulan. Namun dari percakapan kemudian, Naomi sepertinya sengaja diplot dengan maksud mengirim pesan secara tersirat. Bahwa warga Israel secara bebas berkeliaran di Indonesia.
Pada satu sore sekitar pukul 17:00, dalam perjalanan pulang ke hotel Moria, tiba-tiba Avie menjelaskan, kami akan melewati rumah kediamannya. Dengan ramahnya diapun mengajak kami mampir sekaligus berkenalan dengan isterinya. Tentu saja kami tidak bisa menghindar.
Avie juga menyatakan ingin menunjukkan sistem pertahanan rumah-rumah penduduk Israel dalam menghadapi Perang Nuklir. Setiap rumah punya bunker yang bisa digunakan bersembunyi selama sebulan.
Saat memasuki pekarangan rumah Avie yang “greeny”, dimana-mana ada pohon dan kembang terawat rapih, tiba-tiba seorang wanita cantik berjalan menuju ke arah kami.
Karena saat itu masih musin dingin, pukul 17:00, matahari sudah terbenam sehingga pemandangan sudah agak kabur. Tetapi di tengah kekaburan itu, jelas terlihat kecantikan si wanita tersebut.
Dia semakin cantik, karena mengumbar senyum ramah kepada kami berempat yang semuanya laki-laki yang memiliki adrenalin agresif.
Kami semua, sebagai lelaki yang sudah sekian hari berpisah dari isteri, seperti menemukan teman kencan baru di luar rumah. Kencan angan-angan sekaligus bermasalah.
Kami mulai bisik-bisik. Pada saat kami sedang asyik berbisik membicarakan si wanita jelita itu, si Naomi memecahkan kesunyiannya.
“Selamat Sore, Selamat Datang, Apa Kabar”,
Sapaan dalam bahasa Indonesia yang fasih dari Naomi, benar-benar mengejutkan.
Dari perbincangan, kemudian terungkap atau sengaja dia ungkapkan, bahwa Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang paling dia sukai.
Di tempat kosnya di Solo, dia sudah dianggap seperti keluarga. Dia menyukai masakan Indonesia dan keramahan penduduknya. Hanya saja dia mengaku, orangtua ataupun keluarga tempat dia indekos, tidak tahu bahwa dia seorang warga negara Israel.
Israel mengakui keabsahan warganya untuk memiliki dua kewarganegaraan, Dan Naomi memiliki dua kewarganegaraan. Israel dan Amerika Serikat. Untuk masuk dan tinggal di Indosia dia menggunakan paspor Amerika Serikat.
Tidak jelas apa yang dikerjakan Naomi di Solo, Indonesia. Tapi dia mengaku dia punya sahabat di Indonesia yang statusnya sama dengan dia. Apakah ceritera Naomi sebuah fiksi atau bagian dari propaganda semata, tak jelas.
Namun saya percaya trik Israel seperti ini bermaksud mengirim pesan. Bahwa seketat apapun pintu-pintu masuk Indonesia dijaga, warga Israel tetap saja bisa menembus gerbang tersebut.
Israel menginginkan kedua negara punya hubungan diplomatik. Tapi Indonesia tetap menolak. Tidak apa-apa bagi Israel, karena tanpa hubungan diplomatikpun, Israel bisa melakukan apa saja yang dikehendakinya di Indonesia.
Pada era itu, di Kalimantan setiap tahun digelar semacam rally mobil khusus yang disponsori oleh Camel.
Menurut ceritera versi Israel, salah satu peserta tetap di rally tersebut seorang anggota militer Angkatan Darat dengan pangkat jenderal bintang satu. Israel mengkleim tak satupun pejabat Indonesia termasuk intelejens yang tahu bahwa dalam kegiatan sport yang menjelajahi hutan balantara Kalimantan tersebut, hadir seorang jenderal Israel. Lagi-lagi dengan paspor negara non-Isreal.
Juga tak jelas selama mengikuti rally, sang jenderal masih melakukan kegiatan lain atau tidak sama sekali.
Selama di Israel kami didampingi oleh pemandu. Setiap hari para pemandu berganti. Semuanya laki-laki. Entah apa alasan tuan rumah yang tidak melengkapi kami denga pemandu wanita – khususnya mereka memiliki yang kulit mulus atau istilah sekarang : “bening”.
Penampilan mereka berbeda-beda. Ada yang seperti peragawan. Tapi ada juga yang berwajah menyeramkan. Wajah tukang bunuh di film James Bond 007 – “From Rusia With Love”, Tinggi hampir dua meter, otot lengan dan dada menyembul dan berambut cepak. Pakaian selalu celana jeans dan sepatu karet atau sneakers.
Walaupun berwajah “pembunuh”, tapi ketika berbicara, sangat santun, akrab dan fleksibel. Juga sangat taktis. Selama mendampingi kami sebut saja namanya Amos tidak pernah mau dipotret.
Saya baru bisa memotret Amos, ketika kami dia ajak ke kolam renang di Laut Mati, dekat perbatasan Yordania. Kolam renang itu dibangun di sebuah gedung sport, sekitar 500 meter dari pantai Laut Mati.
Dari Laut Mati, air garam dialirkan ke kolam, sehingga pada musim dingin, orang tetap bisa berenang di air garam. Karena kadar garamnya tinggi, kita tak bisa tenggelam. Air garam juga berfungsi untuk pengobatan kulit.
Setelah kami semua terjun ke kolam dan mulai bercanda, saya minta izin ke toilet. Tanpa curiga, Amos mempersilahkan saya.
Amos tidak menyangka, pada saat itu saya ke locker unuk mengambil kamera. Dengan gerak cepat saya memotretnya dari atas kolam dan Amos hanya bisa berteriak: “No, No, Derek. It’s not fair…”.
Saya turun kembali ke kolam renang, mendekat ke dia sambil memberi alasan.
“Kamu khan pernah bilang, kalau Indonesia mau bersedia membuka hubungan diplomatik, hari ini pernyataan itu dikeluarkna, besok pagi saya sudah harus berada di aiport Jakarta, untuk menjemput kamu …. Nah bagaimana kalau itu terjadi beberapa tahun lagi dan saya sudah lupa wajah kamu. Jadi saya perlu foto kamu…….”
Amos tidak marah. Dia hanya tersenyum, walaupun senyum tetap seperti seorang pembunuh.
Namun semenjak di kolam itu dia semakin menunjukkan rasa respeknya kepada saya. Ketika makan malam dia ajak saya duduk di samping dia.
“Supaya kamu tidak bisa memotret saya”, katanya
Salah seorang di antara pemandu menyertai kami, mengisahkan kembali ceritera film berjudul “Raid on Entebbe”.
Film itu diangkat dari kisah nyata operasi intelejens pasukan komando Israel yang berhasil membebaskan seluruh penumpang “Air France” di bandara Entebbe, Uganda.
Sebagian besar penumpang “Air France” tersebut berkewarganegaraan Israel.
Uganda yang ketika itu dipimpin oleh diktator militer sekaligus Presiden Idi Amin, sangat membenci Israel.
Idi Amin merupakan muslim pertama yang menjadi Presiden pertama di tahun 1971, di negara yang penduduknya 81 persen beragama Kristen.
Pada 4 Juni 1976, sebuah kelompok yang disebut Isael sebagai teroris, membajak pesawat milik Prancis tersebut. Karena merasa punya tanggung jawab terhadap penumpang warga Israel, Yitzhak Rabin yang memegang salah satu pos penting di lembaga militer Israel, mengirim regu penyelamat ke bandara Entebbe.
Operasi berjarak puluhan ribuan kilometer dari Israel itu, tergolong sebuah “mission impossible”. Karena sangat berresikko.
Untuk terbang dari Israel yang terletak di bibir Eropa, menuju Uganda di benua Afrika, pesawat regu penyelamat itu harus melintasi sejumlah negara Afrika di mana banyak di antara mereka memusuhi Israel. Sebut saja Libya, di Afrika Utara yang dipimpin Presiden Kolonel Moamar Khadafy.
Bisa saja radar negara yang tidak bersahabat dengan Israel menangkap pesawat tersebut kemudian menembaknya. Jadi pesawat itu harus bisa menghindari semua hambatan ataupun perangkap.
Dalam operasi itu, pasukan komando membawa mobil merek Mercedes yang disulap sedemikian rupa sehingga mirip dengan kendaraan resmi Presiden Idi Amin. Pasukan komando juga memiilih seorang Yahudi keturunan Ethiopia selain memiliki kulit hitam pekat seperti Idi Amin, juga punya postur sama dengan Presiden Uganda tersebut.
Mercedes dengan “Idi Amin” di dalamnya, kemudian dijatuhkan ke salah satu sudut runway bandara Entebbe oleh regu pasukan payung.
Dengan kalkulasi yang dibuat sangat presisi, “Presiden Idi Amin” kemudian menuju ke pasukan yang menjaga pesawat dan para sandra di dalamnya, “Presiden Idi Amin” kemudian memerintahkan untuk melepaskan para sandera.
Keberhasilan operasi Entebbe itu sangat dibanggakan Israel. Mobil Mercedes itupun sampai tahun 1993, disimpan di sebuah meseum.
Kisah itu sekalihgus dijadikan sebagai conrtoh faktual negara Yahudi bahwa Israel bisa melakukan hal yang tidak mungkin dilakukan oleh manusia biasa atau negara sekaliber Amerika Serikat sekalipun. ***** ( B E R S A M B U N G )