Jepang Siap Hidupkan Kembali Doktrin Asia Timur Raya Jilid 2

Bagikan artikel ini

Hendrajit – Direktur Eksekutif Global Future Institute

Meskipun sudah menyerah kepada pasukan militer Amerika Serikat-Inggris pada Agustus 1945, jangan dikira Jepang telah mengubur dalam-dalam watak imperialisme dan semangat ultra-nasionalismenya. Karena gagasan dibalik doktrin Asia Timur Raya yang sudah dideklarasikan semasa kekaisaran Showa pada abad ke-19 itu, didasari keinginan untuk menjadi negara adidaya di kawasan Asia. Sekaligus membebaskan seluruh negara-negara di kawasan Asia dari cengkraman imperialisme negara-negara Eropa Barat.

Inilah yang menginspirasi Perdana Menteri Jepang Fumimaro Konoe untuk menyusun rencana menyusun Doktrin Asia Timur Raya pada 1940. Dengan bersendikan persekutuan Asia yang terdiri dari Jepang, Manchukuo, Cina, dan negara-negara di kawasan Asia Tenggara.

Dalam propagandanya, lewat Doktrin Asia Timur Raya Jepang akan membentuk tata dunia baru demi kemakmuran bangsa-bangsa di Asia, bebas dari penjajahan bangsa-bangsa barat, dan terciptanya perdamaian.

Berdasarkan doktrin ini, maka Jepang menyusun strategi militernya dengan sasaran pokok: Peningkatan eskalasi operasi militer angkatan laut Jepang di Lautan Hindia dan Isolasi total Australia.

Doktrin Asia Timur Raya atau Dai-tō-a Kyōeiken, pada perkembangannya telah digunakan Jepang sebagai kedok bagi imperialisme militer maupun ekonominya di beberapa negara Asia seperti Korea, Cina, Malaysia, Indonesia, Singapore, Filipina dan Birma. Sebagai dalih untuk penaklukan militer Jepang di negara-negara tersebut, adalah sebagai pasukan pembebasan negara-negara Asia dari dominasi dan penjajahan negara-negara barat seperti Amerika, Inggris dan Belanda.

Doktrin Asia Timur Raya dinyatakan secara resmi berlaku oleh Jepang pada Agustus 1940 oleh Menteri Luar Negeri Matsuoka Yosuke. Sejatinya, konsep dan doktrin ini sama saja dengan model imperialisme ala Eropa Barat yang sudah diterapkan beberapa abad sebelumnya di kawasan Asia dan Afrika.

Jargon Asia untuk Bangsa Asia, sejatinya tak lebih dari kedok bagi imperialisme militer dan ekonomi Jepang yang ingin tampil sebagai aktor baru dalam skema permainan yang itu itu juga. Hanya saja kalau sebelumnya didominasi oleh Inggris, Perancis, Belgia, Belanda dan Amerika, maka pada 1930-an Jepang merasa sudah sederajat dengan pesaing-pesaingnya sesame negara penjajah dari kawasan Eropa Barat dan Amerika.

Jadi sasaran strategis dari diterapkannya Doktrin Asia Timur Raya (The Greater Asia Co-Prosperity Spehere) tiada lain adalah untuk penguasaan sumber-sumber daya alam strategis utamanya minyak, tambang-batubara, dan sebagainya. Bahkan menurut beberapa sumber Global Future Institute, Jepang pada gilirannya juga telah merampas dan menjarah berbagai hasil karya dan warisan seni-budaya unggulan Indonesia maupun negara-negara Asia lainnya, untuk kemudian dibawa ke Jepang.

Singkat cerita, melalui penguasaan sumber daya alam strategis maupun pasar di kawasan Asia, maka Jepang otomatis akan mendudukkan dirinya sebagai satu-satunya negara adidaya di Asia Timur dan Asia Tenggara.

Desember 1941, sebuah dokumen rahasia mengungkap rincian dari rencana doktrin Asia Timur Raya tersebut. Doktrin yang dipersiapkan oleh Departemen Riset Kementerian Perang Kekaisaran Jepang di bawah kendali Jenderal Hideki Tojo, setidaknya ada tiga negara yang jadi sasaran utama untuk dikuasai secepatnya yaitu Cina dan negara-negara yang tergabung sebagai Indocina seperti Vietnam, Kamboja, dan Laos.

Setelah itu dilanjutkan untuk mencaplok Indonesia, Malaysia, Singapore, Filipina, dan negara-negara yang tergabung dalam kawasan Asia Tenggara. Bahkan yang masuk dalam kawasan Amerika Selatan dan Karibia Timur pun, juga jadi sasaran strategis yang akan dicaplok. Anehnya, Rusia dan Siberia tidak masuk dalam agenda Doktrin Asia Timur Raya. Mungkin karena waktu itu Jepang masih terikat komitmen pakta non-agresi dengan Rusia.

Doktrin Asia Timur Raya Jepang semakin menemukan formatnya yang jelas pada November 1943, ketika Jenderal Hideki Tojo yang saat itu sudah menjadi Perdana Menteri Jepang, menggelar pertemuan di Tokyo, dengan dihadiri oleh beberapa negara antek Jepang seperti:
Zhang Jinghui, Perdana Menteri Manchukuo, daerah Cina yang diduduki Jepang.
Wang Jing Wei, Presiden pemerintahan boneka Jepang di Cina, yang bermarkas di Nanjing.
Ba Maw, Kepala negara boneka Jepang di Birma.
Subnas Chandra Bose, boneka Jepang di India.
Jose P Laurel, kepala pemerintahan boneka Jepang di Filipina.
Pangeran Wan Waithayakon, boneka Jepang di Thailand.

Pertemuan ini berhasil mengeluarkan deklarasi bersama untuk mengadakan kerjasama politik dan ekonomi untuk melawan negara-negara yang tergabung dalam persekutuan Amerika Serikat-Inggris-Perancis-Belanda.

Manuver Jepang, sebagaimana terbukti dalam sejarah, memang akhirnya gagal total akibat kekalahan militer menyusul dijatuhkannya bom atom oleh Amerika di Hiroshima dan Nagasaki pada Agustus 1945. Namun, benarkah ambisi dan semangat yang terkandung dalam Doktrin Asia Timur Raya sudah mati di Jepang.

Fakta bahwa terlepas Perdana Menteri Hideki Tojo akhirnya digantung menyusul vonis hukuman mati oleh the Tokya Trial, namun ada banyak tokoh militer dan sipil Jepang yang masuk kategori penjahat perang, berhasil bermetamorfose ke dalam jaringan kekuasaan pemerintahan baru Jepang pasca Perang Dunia II. Artinya, visi Jepang sebagai kekuatan Adidaya di Asia tetap hidup di sanubari para tokoh sentral Jepang.

Orang-orang semacam Toshio Montoya, pebisnis sayap kanan Jepang, maupun mantan Kepala Staf Angkatan Udara bela diri Jepang Marsekal Tamogami, rasa-rasanya merupakan bukti nyata bahwa kekuatan aspiratif dari kelompok nasionalis Jepang ini masih tetap memiliki peran cukup strategis dari belakang layar.

Bukankah keputusan Jepang untuk berperang melawan Amerika pada Desember 1941 karena berkat dorongan dari para perwira eselon menengah angkatan darat dan laut Jepang? Ini menggambarkan betapa kekuatan penggerak utama di Jepang selalu muncul dari balik hirarki birokrasi dan mata-rantai komando di kemiliteran.

Dalam konteks perkembangan global belakangan ini, perseteruan Amerika versus Cina di kawasan Asia Tenggara semakin menajam, khususnya di kawasan Selat Malaka dan Laut Cina Selatan. Dalam situasi seperti itu, tiba-tiba Jepang membentuk panel parah ahli untuk merevisi Undang-Undang Pertahanan pasca Perang Dunia II. Sehingga Jepang dimungkinkan kembali untuk menghidupkan kembali kekuatan militernya. Dan Amerika, sepertinya kali ini mendukung langkah strategis pemerintah Jepang tersebut. Meski saat ini masih secara diam-diam.

Ancaman Cina di Asia Pasifik tak pelak lagi merupakan faktor utama petimbangan AS kali ini merestui upaya Jepang menghidupkan kembali kekuatan militer dan persenjataan nuklirnya. Penangkapan nelayan Cina yang diduga merupakan aparat intelijen Cina yang menyusup masuk ke daerah kedaulatan Jepang, setiap saat bisa memicu eskalasi konflik berskala luas antara Amerika-Jepang di satu sisi, dan Cina pada pihak lain.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com