Jurus Naga Membelit Dunia (5/Habis)

Bagikan artikel ini

Membangun Sabang: Kontra Skema Perang Geopolitik Abad ke 21

Masih ingatkah langkah visioner Bung Karno (BK) terhadap Sabang? Melalui Perpres No 22/1964 dan UU No 10/1965, ia canangkan Sabang sebagai pelabuhan bebas (freeport)selama kurun waktu 30 tahun. Namun apa hendak dikata, konstalasi politik di Bumi Pertiwi kala itu, meniscayakan geostrategi BK harus ‘ditunda’ beberapa saat.

Juga sewaktu zaman Pak Harto. Rencana strategis bangsa pun terpaksa kembali terbengkalai karena muncul konflik vertikal GAM, gerakan separatis Aceh yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Apa boleh buat. Visi geopolitik BK dalam rangka mengkontra (skema) keberadaan Singapore dan Selat Malaka pun terganjal konflik internal berlarut hingga beberapa masa kepemimpinan nasional.  Siapa sejatinya peremot di balik konflik?

Zaman Pak Habibie narasinya agak berbeda. Ia memiliki “mimpi” hendak membangun Sabang, Batam dan Bintan demi mengalahkan Singapore. Luar biasa.  Sudah tentu, mimpi Habibie membuat Paman Lee tak nyenyak tidur, sebab jika mimpi tadi terlaksana maka akan menjadi pesaing utama Singapore. Maka berbasis pattern evidence (bukti pola) dan bukti keadaan (circumstance evidence), diyakini ada peran Singapore dalam “kudeta halus” terhadap Habibie di MPR via penolakan pertanggung jawaban dulu. Entah perannya menggiring opini publik, atau hanya dukungan moril bahkan dimungkinkan juga ada (peran) dukungan materiil.

Era Gus Dur lain lagi. Meski sudah diterbitkan UU No 37/2000 guna menghidupkan kembali Sabang menjadi kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas, tetapi dalam praktek “kembang kempis,” hidup segan mati tak mau. Maksudnya, selain deraan konflik vertikal Aceh tak jua usai, segenap elit pun dibuat gaduh sendiri dengan “paket mainan” ala DHL (demokrasi, HAM, lingkungan) oleh asing. Para elit politik dan pemutus kebijakan di negeri ini asyik berhura-hura (politik), menari dalam tarian gendang yang ditabuh (geostrategi) asing. Mereka gagal mengingat atas proyek strategis bangsa. Betapa cantik permainan deception ataupun pengalihan situasi. Padahal secara Perpres sudah jelas, UU-nya pun nyata, dll. Dan gilirannya, untuk ke sekian kali pada kepemimpinan nasional, lagi-lagi proyek Sabang pun terlantar. Nyaris tak terdengar. Hingga sekarang, sampai kini.

Gambar: Sabang tempo doeloe, bagaimana bila kini dibangun menjadi pelabuhan bebas?

Harapan penulis, kontra skema oleh Pemerintah Indonesia atas peperangan geopolitik yang dihamparkan oleh Cina dengan (rencana) didirikannya Kanal Isthmus di Thailand, langkah awal Indonesia harus hidupkan kembali semangat membangun (program) Sabang sebagai pelabuhan bebas. Tak boleh tidak. Pergeseran geopolitik  (dari Atltantik ke Asia Pasifik)  itu adalah fakta bukan rekayasa, dan belitan (geostrategi) Cina jelas terbaca, kini pun tengah berjalan nyata. Beroperasinya Sabang kelak adalah bagian kontra strategi —agar kita tidak cuma menonton — mengantisipasi bangkitan arus barang dan jasa dari Kanal Isthmus menuju Lautan Hindia dan sekitarnya. Tak bisa tidak, pemerintah harus sesegera mungkin melangkah kesana.

Prakiraan Skenario Konflik di Wilayah Proyek

“Conflict is the protection oil flow and blockade somebody else oil flow” (Dirgo D Purbo, 2011). Dirgo, selain pakar perminyakan dan dosen pada beberapa perguruan tinggi dan instansi kedinasan di Indonesia, dalam penilaian penulis, ia adalah ahli 3-G (Geopolitik, Geostrategi dan Geoekonomi) yang selalu menyuarakan Kepentingan Nasional RI (KENARI) dimanapun ia tampil. Dan melalui asumsinya tadi, boleh kita gunakan sebagai pisau kajian guna meramal peristiwa yang akan terjadi sehubungan ‘perang geopolitik’ yang digelar oleh Cina di Amerika Latin dan Asia Tenggara.

Apakah yang diperebutkan di Selat Malaka? Oil flow. Apa yang ditunggu di Kanal Isthmus kelak? Aliran migas. Adakah yang lebih penting daripada lintasan pelayaran di Terusan Panama dan di Kanal Brito Kelak, selain kapal-kapal tanker pengangkut 1 juta barel minyak, kargo batu bara, dan beberapa komoditi ekspor dan impor lain? Itulah data aktual di depan mata.

Selanjutnya dalam narasi skenario perlu disampaikan, bahwa (rencana) pembangunan Terusan Brito di Nikaragua dan Kanal Isthmus di Thailand oleh Cina dapat disimak sebagai bagian geostrategi (jurus) Cina dalam rangka menguasai (membelit) geopolitik dunia. Meski tampak samar-samar, toh terbaca juga.

Sekali lagi, “Conflict is the protection oil flow and blockade someboby else oil flow!” Lalu berbasis asumsi Dirgo tadi, terkait dengan geliat Naga di atas, diprakirakan ada beberapa konflik yang akan muncul di seputaran tiga wilayah proyek mercusuar di atas, antara lain:

Pertama, Singapore sebagai negara yang akan terkena dampak langsung akibat berdirinya Kanal Isthmus kelak, dipastikan akan menyusun kontra skema baik secara asimetris (non militer) maupun melalui modus proxy war (perpanjangan tangan), dan lain-lain. Ia dan sekutunya, niscaya tidak akan tinggal diam serta hanya berpangku tangan, sebab keberadaan Kanal Isthmus berpotensi mematikan Selat Malaka, “jantung”-nya Singapore;

Kedua, Panama pun demikian. Sebagai negara yang terkena dampak langsung akibat Terusan Brito beroperasi kelak, maka seperti halnya Singapore — selain upaya manajemen berupa pembangunan-pembangunan tambahan terkait teknis dan taktis operasional Terusan Panama. “Jaga langganan.” Ia juga akan memakai modus proxy war, peperangan asimetris (asymmetric warfare), dll untuk menggagalkan pembangunan kanal baik melalui konflik intrastate (konflik internal dalam negara) atau bisa jadi malah diletuskan konflik interstate (konflik antarnegara). Inti skema apapun modus yang digelar adalah ‘gagalnya proyek Kanal Brito’ karena pertimbagan stabilitas keamanan tidak kondusif.

Tampaknya, poin kesepakatan Torrijos-Carter (7-9-1977) tempo doeloe: “AS diizinkan kapan saja kembali,”  —- akan ditafsirkan Panama baik secara asimetris ataupun berupa capacity building oleh Paman Sam terkait segala upaya penggagalan pembangunan proyek baik bermodus proxy war maupun gunakan siasat asymmetric warfare;

Ketiga, pembangunan Sabang sebagai freeport —bila pemerintah mau— akan bernasib seperti halnya Brito dan Isthmus. Bakal timbul konflik (baik intrastate atau interstate) di sekitaran wilayah proyek. GAM (kemungkinan) akan kembali dimainkan, ataupun gerakan serta aksi-aksi lain akan digelar dengan berbagai cover (agenda), ”Ingin memisahkan diri dari NKRI” misalnya, atau mungkin isue Islamic State yang kini marak, atau bentrokan antarsuku di Aceh, dll. Meski secara tersirat bukanlah demikian, karena sejatinya ada pemilik hajatan meremot konflik dari kejauhan. Pertanyaan selidiknya, “Siapa mereka?”

Siapa lagi, kalau bukan negara yang terusik, bahkan diprakirakan ‘mati’ apabila Pelabuhan Sabang dan Kanal Isthmus beroperasi. Ini kajian geopolitik. Maka diciptakanlah konflik, agar pembangunan proyek gagal karena faktor keamanan. Ia adalah negara yang menganggap Selat Malaka sebagai jantung kehidupannya. Siapa lagi?

Tulisan sederhana ini bukanlah kebenaran, juga tidak ada niatan membenarkan diri. Masih terbuka untuk kritik dan saran. Tak ada maksud menggurui siapapun, terutama para ahli dan pihak-pihak yang berkompeten selain ingin sharing pemahaman perihal “perang geopolitik” yang tengah dilancarkan oleh Cina di panggung global.

Bila ada perbedaan analisa serta pendapat, atau barangkali penggunaan kalimat yang kurang tepat baik arti, maksud dan maknanya — anggaplah kewajaran yang perlu didiskusikan lebih dalam, mengingat selain keterbatasan kemampunan penulis, juga “kebenaran ilmu” pun sejatinya masih bersifat nisbi atau relatif.

Terimakasih

 

Penulis: M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com