Jurus Naga Membelit Dunia (Bagian 1)

Bagikan artikel ini

Abad ke 20 lalu dianggap era Atlantis. Abad ke 21 kini adalah era Asia Pasifik. Dan sebagai konsekuensi logis atas dinamika tersebut, panggung (politik) global kini tengah berlangsung apa yang disebut geopolitical shift atau pergeseran geopolitik dari Atlantik ke Asia Pasifik. Wajar. Inilah asumsi awal pada catatan sederhana ini.

Maka memasuki abad ke 21, tampaknya Cina tak main-main dalam upaya mengembangkan (geo) strateginya terutama dalam rangka mengamankan berbagai  kepentingan nasional yang mana salah satu yang urgen ialah energy security (ketahanan dan jaminan pasokan energi), mengingat Cina masih tergolong net oil importer sepertinya halnya Indonesia, yaitu negeri yang memiliki KETERGANTUNGAN terhadap negara lain atas kebutuhan (impor) minyak dan gas (migas). Khusus Indonesia, sesungguhnya impor migas Indonesia bukan karena negeri ini kekurangan migas namun semata-mata karena salah (urus) kelola saja, namun topik tersebut tak dibahas pada tulisan ini. Selintas saja.

Program spektakuler pun Cina langkahkan dengan rencana membangun dua kanal (terusan) sekaligus di dua benua berbeda. Pertama, rencana ‘memotong’ (membuat kanal) di Brito, Nikaragua; dan kedua, menerabas (dan membangun) Terusan Isthmus, Thailand. Ini sungguh luar biasa. Kanal di Nikaragua akan menyambungkan dua samudera yaitu Lautan Atlantik dan Pasifik, sedang Kanal Isthmus di Thailand bakal menghubungkan antara perairan Cina Selatan, Teluk Thailand dan Lautan Hindia (Lihat gambar: Terusan Brito di Nikaragua).

Gambar: Terusan Brito di Nikaragua

Wang Jing, Senin (22/12/2014),  Presiden HKND Group, perusahaan Cina yang dipercaya membangun terusan ini mengatakan, bahwa kanal ini akan masuk dalam sejarah. Ya. Terusan sepanjang 200-an kilometer (km) yang pembangunannya memakan biaya sekitar USD 50 miliar atau sekitar Rp 600-an triliun dipastikan akan beroperasi dalam lima tahun ke depan (sekitar tahun 2020). Nantinya, ia akan lebih dalam dan lebih lebar daripada Terusan Panama.

Berbeda dengan panjang Kanal Brito di Nikaragua (200-an km), Kanal Isthmus meski hanya 100-an km —bila sudah beroperasi kelak— akan mempersingkat jarak tempuh 1.000-an km dibanding jalur pelayaran sebelumnya yang melintas dari Laut Cina via Selat Malaka ke Teluk Thailand, Lautan Hindia dan sekitarnya. Adapun badan hukum yang dipercaya untuk membangun Terusan Isthmus adalah perusahaan plat merah Cina yaitu Liu Gong Machinery Co. Ltd dan XCMG, serta perusahaan swasta Sany Heavy Industry Co. Ltd (Lihat gambar: Terusan Isthmus di Thailand).

Gambar: Terusan Isthmus di Thailand

Terkait alasan rencana pembangunan Kanal Isthmus, data-data China Daily Mail menyatakan bahwa pelayaran melalui Selat Malaka dinilai dua kali lebih berbahaya daripada  pelayaran via Terusan Suez di Mesir, bahkan empat kali lebih berbahaya dibanding lintasan Terusan Panama di Amerika Latin. Pertanyaannya,  “Adakah urgensi lain dibangunnya Kanal Isthmus oleh Cina selain hal-hal di atas?”

The Malacca Dilemma dan Armada ke 7 Amerika 

Selain pelayaran melewati Selat Malaka terbentur Malacca Dilemma yang berupa ketidak-amanan pelayaran akibat tingginya kasus pembajakan, atau sedimentasi — kedalaman laut berkurang, adanya rongsokan kapal yang tersebar di berbagai titik, dan kerapkali ada kabut serta kumpulan ikan yang berenang dalam rombongan besar menjadi persoalan tersendiri di selat tersebut. Tidak kalah berbahaya daripada the malacca dilemma adalah —khusus bagi Cina— bercokolnya USS Freedom milik Paman Sam di Singapore. Kapal perang ini tergabung dalam Armada ke-7 AS dimana ‘home base’-nya di Yokosuka, Jepang. Radius patrolinya mencapai 124 juta km di Pasifik mencakup 35 negara maritim. Meskipun USS Fredom terlihat seperti raksasa ketika bersandar di pangkalan angkatan laut Changi di timur Singapura, namun kapal ini hanyalah salah satu jenis kapal tempur kecil yang dimiliki AS.

Keberadaan USS Freedom cukup mengganggu secara psikis, terutama jika kelak meletus friksi (militer) terbuka antara kedua adidaya, maka pelayaran di Selat Malaka bakal mengendala bagi hilir mudik kapal-kapal Cina, mengingat selama ini (Cina) telah merajut hubungan tak hanya dengan Thailand, tetapi juga dengan beberapa negara ASEAN lain. Itulah urgensi dibangun Kanal Isthmus oleh Cina (Lihat gambar: USS Freedom milik AS di Singapore).

Gambar: USS Freedom, kapal perang kecil di Armada ke 7 AS

Bagi China, makna strategis selat tersebut meningkat setiap tahun. Betapa sekitar 60% – 80% impor minyak mentah Cina melintas di Selat Malaka berasal dari Timur Tengah, dan angka ini diperkirakan akan meningkat lagi pada tahun 2015. Juga minyak dari Teluk Persia dan Afrika dikirim ke Cina melalui Jakarta (Selat Sunda), Selat Lombok, Selat Makkasar, dll. Media-media Cina memberikan perhatian serius soal malacca dilemma, bahkan salah satu pimpinan media menyatakan, “Tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa siapa pun yang mengendalikan Selat Malaka juga akan memiliki cengkeraman pada rute energi Cina” (China Youth Daily, 15/6/ 2004). — Lihat Gambar: Urgensi Selat Malaka.

Gambar: Urgensi Selat Malaka

Hal lain yang tak boleh dipungkiri, bahwa nilai perdagangan Cina dengan ASEAN meningkat dari USD 54,8 miliar (2002) menjadi USD 443,6 miliar (2013). Dalam jangka waktu 10-an tahun ia  mampu menaikkan delapan kali lipat. Menakjubkan. Sementara pada periode sama, nilai investasi Cina di kawasan tersebut juga meningkat sebesar USD 100 miliar. Prakiraan nilai investasi dan perdagangan Cina niscaya akan terus meningkat dari waktu ke waktu seiring beroperasinya fee trade agreement di ASEAN dan di berbagai kawasan lain dalam payung World Trade Organization (WTO).

Sebenarnya, tak cuma Cina yang akan diuntungkan dengan keberadaan Kanal Isthmus, beberapa negara industri seperti Jepang, India, dll yang sering melintas di Selat Malaka juga akan diuntungkan karena jarak yang relatif lebih dekat jika menuju Lautan Hindia – Laut Cina dan sekitarnya. Selain Thailand itu sendiri, Vietnam pun bakal ketiban berkah. Kota di bagian selatan Vietnam seperti Can Tho akan menjadi pelabuhan transisi di antara Teluk Thailand dan Laut Cina Selatan. Dengan demikian, secara politis, rencana Cina membangun Terusan Isthmus akan didukung sepenuhnya oleh negara-negara sekeliling terutama negara yang sebelumnya kerap melintas di Selat Malaka.

“Perang Geopolitik” 

Tampaknya, inilah peperangan geopolitik —medan tempur baru abad ke 21— yang akan berlangsung. Dan papan catur bertajuk ‘perang geopolitik’ telah dihamparkan oleh Cina di Asia Pasifik dan Amerika Latin. Sudah tentu, prakiraan situasi ke depan —khususnya Asia Tenggara— apabila Terusan Isthmus ini terwujud, maka pelayaran kapal-kapal dan tanker melalui Selat Malaka bakalan sepi, bahkan cenderung “mati” — termasuk kapal-kapal bertonase besar yang kerap melintas di perairan Indonesia cq Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI-I, II) dan lain-lain. Inilah (dugaan) skenario yang dapat dibaca dari kajian geopolitik bila kelak Kanal Isthmus beroperasi.

Pertanyaan selidik pun muncul, “Apakah Singapore dan sekutu akan diam berpangku tangan manakala gerak langkah (geostrategi) Cina hendak mematikan penghidupannya?” Kemudian, bagaimana kontra skema Indonesia atas pembangunan Kanal Isthmus di Thailand; atau kita cuma jadi penonton belaka?

(Bersambung ke bag 2)

Penulis: M Arief Pranoto, Peneliti Senior Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com