Jurus Naga Membelit Dunia (Bagian 2)

Bagikan artikel ini

Kecenderungan dinamika politik global abad ke 21 ini mengarah pada pengamalan konsepsea power (kekuatan laut) sebagaimana ajaran Alfred T Mahan (1840–1914) dimana ‘ruh” dan inti teori menekankan jika menguasai perairan tidak hanya berimplikasi militer semata, namun dapat pula menguasai (geo) ekonomi sebuah negara (target). Ada tiga unsur pokok pada “kekuatan laut” antara lain: (1) kontrol lalu lintas komersil dan perdagangan dunia; (2) kemampuan operasi tempur Angkatan Laut (AL) dan penggunaan instrumen AL dalam aspek diplomasi; dan ke (3) sebagai penggetar (deterens) dan pengaruh politik di masa damai.

Data pun menyatakan, ketika 80% perdagangan dunia melalui perairan dan/atau sekitar 60%-nya berupa komoditas migas, maka data-data ini boleh dianggap jawaban kenapa aktualisasi serta pengamalan ‘(geopolitik) sea power’-nya Mahan begitu membahana. “If you would understand world geopolitic today, follow the oil,”agaknya isyarat Guilford masih relevan memotret pergeseran geopolitik hingga kini. Ingin mengetahui perkembangan geopolitik, ikuti kemana aliran minyak, oleh karena disitulah muara dan simpul-simpul kepentingan para adidaya beradu-kuat.
 Ya. Menguasai lautan tidak hanya menguasai militer semata tetapi juga menguasai (geoekonomi) perdagangan dunia. Pantaslah bila doktrin sakral Mahan masih terpakai hingga kini terutama di kalangan AL-nya Paman Sam, “Barangsiapa menguasai Lautan Hindia maka akan menjadi kunci dalam percaturan dunia.”
 Ketika Cina Memaknai Pergeseran Geopolitik
Berikutnya, meski ada lima samudera di dunia, namun hanya tiga yang sangat populer di kancah politik global yaitu Atlantik, Pasifik dan Lautan Hindia. Itulah yang diincar adidaya-adidaya dunia oleh sebab dominannya pelayaran internasional melalui jalur-jalur tersebut. Sedang Lautan Artik dan Antartika kurang ‘moncer’ di mata global karena faktor alam serta kharateristiknya kurang bersahabat bagi dunia pelayaran.
Sejalan dengan ajaran Mahan, selaras pula dengan data-data hampir 80% perdagangan dunia melalui perairan, agaknya geopolitical shift dari Atlantik ke Pasifik sebagai isue aktual pada abad ke 21 ini mampu disikapi secara cerdas oleh Sang Naga —sebutan lain Cina. Ia kini, tengah membesarkan armada lautnya agar meraih level Blue Water Navy sebagaimana AL-nya Inggris, atau selevel AL Paman Sam yang mampu menjelajah lautan lepas, bukan sekedar kelas Brown Water ataupun Green Water Navy yang daya jelajahnya hanya 200-an mil/370 km saja.
Selain pengembangan peralatan militer Cina baik secara kuantitaif maupun kualitatif relatif signifikan, anggaran militernya pun naik empat kali lipat menjadi USD 90-120 miliar (2011). Ini merupakan anggaran militer terbesar kedua di dunia setelah AS. Ia pun kini terlihat aktif meningkatkan diplomasi militer dengan berkunjung ke 14 negara seperti Vietnam, Myanmar, Nepal, Singapore, Philipina, Belarus, dll juga tak kalah penting, Cina ikut serta pada latihan-latihan militer bersama dengan negara lain termasuk di Pakisan dan Indonesia.
Dari sisi geopolitik terutama sisi ideologi, politik dan keamanan, Cina kini mengubah orientasinya via penerapan sistem one country and two system yaitu elaborasi dua ideologi (kapitalis dan komunis) hidup berdampingan. Dengan perkataan lain, model ekonomi boleh mengadopsi dan beperilaku sebagaimana kapitalisme, namun sistem politik tetap dalam kendali komunisme cq Partai Komunis Cina (PKC).
Tidak kalah penting adalah penguatan String of Pearls. Inilah strategi handal Cina di perairan dalam rangka mengamankan energy security melalui pembangunan pelabuhan-pelabuhan di koridor String of Pearls, termasuk pengawalan ketat terhadap lalu-lalang ekspor impornya di perairan. Demikian sekilas langkah dan strategi Cina terkait perkembangan dinamika politik khususnya dalam menyikapi pergeseran geopolitik dari Atlantik ke Asia Pasifik (Lihat gambar: String of Pearl).

Topik Kanal Isthmus telah dibahas sekilas pada awal tulisan ini, selanjutnya kini mengulas sedikit seluk beluk Terusan Brito di Nikaragua. Tanah genting yang akan dibelah oleh sang Naga.
Apa boleh buat. Setiap pembangunan pasti membawa korban, setiap tujuan (politik) niscaya ada tumbal. Hal ini jamak dalam dunia politik. Ada gejolak masyarakat di sekitar Kanal Brito. Meski Pemerintah Nikaragua mengatakan, bahwa proyek ini akan mengangkat mereka dari kemiskinan,  namun para warga yang tidak setuju pembangunan terusan ini mengatakan, selain jalur pelayaran ini nantinya merusak lingkungan, kemanfaatan ekonominya diragukan, juga ribuan warga yang tanahnya terkena proyek ini melancarkan protes dan mengklaim bahwa mereka mendapatkan ganti rugi uang yang tidak sesuai dengan harga pasar. Itulah contoh tumbal politik atas suatu keputusan atau kebijakan politik.

Penulis: M Arief Pranoto, Peneliti Senior Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com