KAA dan Dasa Sila Bandung 1955 Sebagai Senjata Geopolitik Masih Relevan

Bagikan artikel ini

Di tengah dinamika konstelasi global yang semakin memanas dan persaingan antara dua negara adiuasa AS versus Cina di kawasan Asia Tenggara, Asia Tengah, dan Timur-Tengah, Semangat Dasa Sila Bandung yang dicetuskan dalam Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada 1955, kiranya penting untuk dihidupkan kembali. Sebab KAA Bandung 1955 dalam semangat dan gagasan pokoknya, merupakan forum multilateral untuk membendung pengaruh kekuatan-kekuatan kapitalisme global yang berlindung dari balik layar negara-negara adikuasa.

Maka itu KAA Bandung 1955 bisa menjadi sumber inspirasi negara-negara berkembang saat ini, agar negara-negara yang tergabung dalam kawasan Asia-Afrika mampu membebaskan diri dari penetrasi  kepentingan-kepentingan ekonomi-politik  asing. Sekaligus juga mampu membebaskan diri dari Salah satu aspek krusial dari penetrasi kepentingan kapitalisme global adalah perampasan dan eksploitasi lahan tanah yang merupakan aset produksi rakyat.

Seperti dinyatakan Presiden Sukarno pada pidato pembukaan KAA Bandung 1955:

“Saya tegaskan kepada anda semua, kolonialisme belumlah mati. Dan, saya meminta kepada
anda jangan berpikir bahwa klonialisme hanya seperti yang lama, cara yang dari yang kita
semua dari Indonesia dan dari kawasan-kawasan lain dari Asia dan Afrika telah
mengenalinya. Kolonialisme juga telah berganti baju dengan cara yang lebih modern, dalam
bentuk kontrol ekonomi,kontrol intelektual dan kontrol langsung secara fisik melalui
segelintir elemen kecil namun tersaing dari dalam suatu negeri, elemen itu jauh lebih licin
namun bisa merubah, mengubah dirinya kedalam berbgai bentuk.”

Dengan kata lain, kolonialisme dan imperialisme belum mati dan masih tetap hidup, hanya saja menggunakan skema penjajahan gaya baru.

Selain itu, melalui dihidupkannya kembali semangat KAA Bandung 1955, Indonesia bisa memainkan kembali secara aktif peran kepeloporan dalam meredakan persaingan global yang semakin meruncing antara AS, Cina dan Rusia, di kawasan ini. Sehingga situaso perang dingin jilid 2 yang melanda berbagai kawasan saat ini, tidak akan memicu perang terbuka di antara negara-negara adikuasa tersebut. Seperti pergolakan yang semakin memanas di Semenanjung Korea maupun Laut Cina Selatan.

Apalagi dengan pembatalan sepihak perjanjian senjata nuklir jarak menengah (INF) antara AS dan Rusia yang dilakukan oleh Presiden Donald Trump pada  2019 lalu, bisa memicu eskalasi konflik dan proliferasi dan perlombaan senjata nuklir di kawasan Asia-Pasifik bakal semakin menajam.

Selain daripada itu, dengan menghidupkan kembali semangat KAA Bandung 1955, Indonesia sebagai salah satu negara sponsor KAA Bandung 1955, akan semakin menyadari betapa strategisnya posisi silang Indonesia di antara dua benua dan dua samudra. Seraya menyadari bahwa sejak era kolonialisme klasik yang bersifat langsung seperti penjajahan Belanda dan Jepang kala itu, Indonesia selalu menjadi sasaran atau medan perang proxy antar negara-negara besar.

Pada era kolonialisme klasik Indonesia pernah jadi obyek perang proxy perebutan pengaruh geopolitik antara Inggris, Belanda, Portugis dan Spanyol. Atau antara Belanda dan Jepang menjelang meletusinya Perang Dunia II. Dan pada saat KAA dicetuskan pada 1955 Indonesia dan negara-negara pemrakarsa berhasil memunculkan wacanana alternatif sehingga tidak begitu saja menjadi agen-agen perpanjangan tangan negara-negara adikuasa yang bersaing sengit pada era Perang Dingin.

Vino Stoevsky, mahasiswa Universitas Islam Negeri Ternate. 

 

 

 

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com