Menakar Peran ASEAN di Tengah Ketegangan AS-China di Laut China Selatan

Bagikan artikel ini

Untuk pertama kalinya dalam enam tahun, dua kapal induk Angkatan Laut AS berada di Laut China Selatan, sebagai bagian dari unjuk kekuatan militer terbaru AS. Keberadaan dua kapal induk AS itu juga memberi sinyal kuat akan potensi konflik dengan China yang selama ini mengklaim wilayah tersebut menjadi bagian dari kedaulatannya.

Pertanyaan selidik pun muncul, bagaimana kedua kapal induk AS yang tiba di kawasan itu bersamaan dengan digelarnya serangkaian latihan Angkatan Laut China di dekat rantai pulau yang disengketakan? Dalam konteks ini, setidaknya dua jawaban bisa dihadirkan.

Pertama, sejatinya China sudah mengendus gelagat Washington yang sewaktu-waktu bisa terlibat konfrontasi langsung dengan Beijing. Belum lagi laporan-laporan media di Beijing terkait kesiapan pasukan China dengan segenap kekuatan tempurnya yang tidak bisa dipandang sebelah mata, sekalipun oleh AS sendiri.

Kedua, AS boleh jadi akan menghitung kekuatan pasukan China jika suatu saat terjadi “jual beli” senjata dengan pasukannya. Belum lagi, kalau menghitung potensi konflik di kawasan yang tentu saja melibatkan sejumlah negara di sekitarnya, seperti Filipina, Vietnam, Malaysia, Taiwan dan Brunei.

Kalau melihat perkembangan selanjutnya, sepertinya negara-negara seperti Malaysia, Filipina dan terutama Vietnam akan cenderung mendukung AS untuk melawan China. Laut China Selatan memang memiliki daya tarik sendiri bukan hanya bagi China dan AS, tapi juga bagi Jepang dan India.

Lihat saja misalnya bagaimana AS dan India ikut menyulut tensi di kawasan dengan jalinan kerjasanya bersama negara-negara seperti Vietnam untuk mengeksploitasi minyak dan gas bumi di Zona Ekonomi Eksklusif di Laut China Selatan melalui sejumlah raksasan minyak internasional seperti Exxon Mobil, Total, ONGV Videsh dan Premier Oil.

Kalau dilacak dari serangkaian peristiwa terkait provokasi AS terhadap China, dalam beberapa tahun terakhir, AS juga telah meningkatkan aktivitas militer dan kehadiran angkatan lautnya di wilayah ini, termasuk kebebasan operasi navigasi (FONOP) pada bulan Januari dan Maret 2018. Dalam pidatonya selama kunjungan November 2017 ke Asia Tenggara, Presiden Donald J. Trump menekankan pentingnya operasi semacam itu, dan memastikan akses bebas dan terbuka ke Laut China Selatan. Sejak Mei 2017, Amerika Serikat telah melakukan enam FONOP di wilayah tersebut.

Dan sekarang, suara provokasi AS itu kian nyaring terdengar dengan keberadaan kapal induk USS Nimitz dan USS Ronald Reagan untuk melakukan operasi di Laut China Selatan pada hari Senin lalu.

Seperti dilaporkan CNN, otoritas Angkatan Laut AS menyatakan bahwa beroperasinya kapal induk AS, USS Nimitz dan USS Ronald Reagan, tidak lain adalah untuk  “melakukan beberapa latihan taktis yang dirancang untuk memaksimalkan kemampuan pertahanan udara, dan memperluas jangkauan serangan maritim jarak jauh presisi dari pesawat berbasis kapal induk.”

Ini adalah pertama kalinya dua kapal induk AS beroperasi bersama di Laut Cina Selatan sejak 2014 dan hanya yang kedua sejak 2001, menurut Letnan Cmdr. Sean Brophy, juru bicara Grup Tempur Reagan.

“Upaya ini mendukung komitmen AS yang bertahan untuk membela hak semua negara untuk terbang, berlayar, dan beroperasi di mana pun hukum internasional mengizinkan.” Demikian kata pernyataan Angkatan Laut AS.

Ketika pasukan AS menunjukkan pada hari libur Hari Kemerdekaan Amerika, Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat China melakukan latihan selama lima hari di sekitar Kepulauan Paracel, yang dikenal di Cina sebagai Xisha, sebuah rantai yang juga diklaim oleh Vietnam dan Taiwan.

China tidak memberikan perincian tentang apa yang dilakukan selama latihan di sekitar Kepulauan Paracel, hanya menyebut mereka “intensif” dalam laporan yang diterbitkan Global Times yang dikelndalikan oleh pemerintah..

Jumat lalu, seperti dilaporkan CNN, Kementerian Luar Negeri China menggambarkan latihan militer di Laut Cina Selatan sebagai wilayah “dalam kedaulatan dan masuk akal,” demikian menurut sebuah postingan di laman PLA. Beijing mengklaim hampir semua 1,3 juta mil persegi Laut Cina Selatan sebagai wilayah kedaulatannya dan selama beberapa tahun terakhir telah membangun benteng militer di beberapa pulau.

Ketika hubungan AS-China terus memburuk dalam beberapa tahun terakhir, Washington terus meningkatkan tempo operasinya di Laut China Selatan dan seolah menegaskan adanya operasi Kebebasan Navigasi dekat dengan pulau-pulau yang dikuasai China. Belum lagi dengan penerbangan berlebihan oleh sejumlah pesawat pembom Angkatan Udara AS dan melakukan operasi angkatan laut bersama dengan negara mitra seperti Jepang dan Singapura.

Namun, pementasan operasi militer AS dengan menghadirkan dua kapal induknya, yang masing-masing membawa 60 pesawat, serta kapal penjelajah dan perusak berpeluru kendali, memberi sinyal yang jelas bahwa Washington tidak akan menyerahkan pengaruh apa pun di kawasan itu ke Beijing.

“Nimitz dan Reagan membentuk pasukan tempur paling efektif dan lincah di dunia, mendukung komitmen AS untuk perjanjian pertahanan bersama dengan sekutu dan mitra kawasan, dan mempromosikan perdamaian dan kemakmuran di seluruh Info-Pasifik,” demikian kata pernyataan Angkatan Laut AS.

Beijing segera merespons melalui jurubicara Kementerian Luar Negeri China Zhao Lijian pada Jumat lalu dengan mengatakan bahwa kehadiran dua kapal induk AS di kawasan itu sebagai tidak stabil. “Beberapa negara di luar kawasan itu sering melakukan perjalanan ribuan mil ke Laut Cina Selatan untuk terlibat dalam kegiatan militer skala besar, dan memamerkan kekuatan mereka, yang merupakan alasan mendasar yang mempengaruhi stabilitas di Laut Cina Selatan.”

Bahkan China dalam sebuah laporan di Global Times menyebut dua kapal induk AS itu “tidak lebih dari macan kertas di depan pintu China” dan mengatakan Beijing memiliki lebih dari cukup senjata untuk mempertahankan posisinya di Laut China Selatan.

“Laut Cina Selatan sepenuhnya berada dalam jangkauan PLA, dan setiap pergerakan kapal induk AS di wilayah tersebut diawasi dengan ketat dan diarahkan oleh PLA, yang memiliki berbagai macam senjata pembawa anti-pesawat seperti DF-21D dan DF-26, yang keduanya dianggap sebagai rudal ‘pembunuh kapal induk’.”

Bertolak dari laporan di media-media arus utama, sepertinya kedua negara adidaya itu sama-sama siap untuk terlibat “baku hantam” di Laut China Selatan yang tentu saja juga kian menyulut ketegangan di kawasan.

Peran ASEAN

Di antara negara anggota ASEAN, seperti dikemukakan sebelumnya, setidaknya ada empat negara yaitu Vietnam, Filipina, Malaysia dan Brunei Darussalam yang terlibat dalam sengketa di Laut China Selatan. Dalam hal ini, ASEAN sebagai “rumah bersama” seharusnya memfasilitiasi forum pertemuan terutama dengan China secara intensif.

ASEAN sebagai titik episentrum di kawasan harus bisa menjaga sentralitasnya dengan juga melibatkan semua negara yang terlibat konflik di Laut China Selatan. Hal ini penting untuk memastikan terciptanya arsitektur keamanan kawasan sekaligus memastikan stalibitas dan perdamaian di kawasan. Hal konteks ini, pelbagai pendekatan diplomatik perlu dikedepankan dalam proses penyelesaian konflik.

Semua negara anggota ASEAN sudah saatnya bersatu dan tidak saling curiga dalam penyelesain konflik di kawasan dengan mengesampingkan arus utama perbedaan kepentingan nasional masing-masing negara. Maka, ketika negara-negara adidaya seperti AS dan China mengetahui bahwa ASEAN kurang responsif, kedua negara tersebut akan bisa seenaknya unjuk kekuatan militernya di kawasan.

Dengan demikian, negara-negara ASEAN perlu bersatu dalam mengawal komitmen bersamanya melalui ASEAN Political-Security Community (APSC). Organisasi ini bertujuan untuk memastikan bahwa negara-negara di kawasan ini bisa hidup damai satu sama lain dan dengan komunitas internasional yang lain dalam lingkungan yang adil, demokratis, dan harmonis.

Para anggota APSC berjanji untuk bergantung secara eksklusif pada proses damai dalam penyelesaian perbedaan intra-kawasan dan menganggap keamanan mereka secara mendasar terkait satu sama lain dan terikat oleh lokasi geografis, visi dan tujuan bersama. APSC memiliki komponen-komponen yang harus diwujudkan bersama baik terkait perkembangan politik; membentuk dan berbagi norma; pencegahan konflik; resolusi konflik; pembangunan perdamaian pascakonflik; dan mekanisme implementasinya.

Cetak Biru APSC memproyeksikan ASEAN menjadi Komunitas berbasis nilai dan norma bersama; wilayah yang kohesif, damai, stabil dan tangguh dengan tanggung jawab bersama untuk keamanan komprehensif; serta wilayah yang dinamis dan berwawasan ke luar di dunia yang semakin terintegrasi dan saling tergantung.

Sudarto Murtaufiq, peneliti senior Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com