Ciri terpenting di era Revolusi Industri 4.0 yang mutlak harus menjadi atensi siapa pun ialah volatility, uncertainty, complexity dan ambiguity, selanjutnya disingkat VUCA.
Volatility artinya bergejolak. Ini merujuk gerak dan dinamika perubahan yang serba cepat tetapi labil, sifatnya fluktuatif, bukan eskalatif;
Uncertainty ialah ketidakpastian. Selain implikasi negatif dari perubahan, juga akibat lemahnya prediksi, telatnya antisipasi, atau akibat rencana yang kurang matang. Dalam manajemen, rencana kurang matang akan memperbesar risiko kegagalan (Hadi Saputro, 1994, PTIK);
Complexity artinya sangat kompleks atau kompleksitas permasalahan akibat overlay struktur dan fungsi, contohnya, atau sebab-akibat tidak singkron, pemecahan sektoral dst. Ini lebih disebabkan masalah terlanjur kompleks dimana akarnya telah jalin-berjalin;
Sedang ambiguity ialah ketidakjelasan. Bidang apa saja. Realitas kabur, misalnya, atau salah dalam membaca, keliru memaknai. Situasi tak jelas ini akibat gagal fokus, salah pemahaman, keliru tafsir dan seterusnya.
Itulah sekilas gambaran tentang VUCA di Era 4.0 dimana kali pertama ia diperkenalkan oleh militer Amerika dekade 1987-an, kemudian diadopsi oleh dunia strategi dan bisnis.
Tak boleh disangkal, VUCA menabrak kredo bisnis (produktivitas, efektif dan efisien) yang selama diagungkan. Dan kini, ia —VUCA— telah menggejala hampir di semua sektor secara permanen.
Bila leadership atau kepemimpinan diibaratkan navigator kapal di lautan, maka pertanyaannya, “Bagaimana kapasitas nahkoda berlayar di tengah gelombang VUCA?”
Apakah ia akan sekuat tenaga berupaya keluar dari gempuran gelombang, atau justru berselancar menikmati ombak, atau pasrah? Niscaya akan beragam jawaban.
Dari perspektif leadership, jawabannya simpel meski praktiknya kelak tidak sesimpel literasi, yaitu bahwa gelombang VUCA seyogianya dihadapi dengan model kepemimpinan adaptif dan inspiratif. Sebuah kepemimpinan visioner yang setiap tindakan menginspirasi lingkungan, tidak alergi terhadap perubahan bahkan mengakomodir lingkungan strategis yang bergerak fluktuatif. Itu poin inti. Bisa dikembangkan lebih lanjut.
Menurut Prof DR Arif Satria, Rektor IPB (6/11/2019), bahwa VUCA menuntut orang untuk bergerak cepat dalam mengembangkan ketrampilan baru yang berorientasi masa depan serta berbasis pada revolusi 4.0.
Setiap orang harus dapat mengubah mindset pada perkembangan dunia global yang berjalan cepat.
Ketidakpastian harus dihadapi dengan sikap fleksibel dan berkolaborasi dengan orang lain. Begitu pula menghadapi kompleksitas, yakni dengan meningkatkan kemampuan complex problem solving, data analysis, dan clarity (kejelasan).
Kemudian ambiguity, perlu diimbangi dengan pengembangan inovasi dan kritis menghadapi situasi yang ada.
Teruslah menginspirasi, kata Prof Arif Satria, karena dengan inspirasi kita membuka wawasan orang lain untuk bertindak. Dengan inspirasi kita dapat terus menerus membuat orang lain bekerja dan berpikir. Inspirasi merupakan modal untuk melakukan perubahan.
Inspirasi dengan kata-kata itu baik, tetapi jauh lebih baik jika inspirasi berbasis pada karya. Inovasi juga akan berdampak menumbuhkan ekonomi kesejahteraan. Karena itu inovasi harus sesuai dengan kebutuhan zaman dan bermanfaat bagi masyarakat dan negara.
Itulah sekilas antisipasi VUCA menurut Prof Arif Satria, selain model kepemimpinan adaptif dan inspiratif yang sepintas diurai di atas.
Akhirnya sampailah pada simpulan diskusi meski dirasa masih sumir. Antara lain adalah:
Pertama, pada pendidikan manajerial di level manapun (pertama, menengah dan tinggi) mutlak harus diajarkan dan dikembangkan model Kepemimpinan Adaptif dan Inspiratif yang visioner, mampu menyongsong dan mengelola perubahan, tidak apriori, bersikap optimis, realistis, fleksibel, dan kolaboratif;
Kedua, gejolak situasi harus dihadapi dengan perubahan mindset dan gerak cepat di tengah perubahan;
Ketiga, ketidakpastian harus dihadapi dengan fleksibelitas sikap dan tindakan kolaboratif, tidak ego sektoral;
Keempat, kompleksitas permasalahan dihadapi selain fleksibelitas dan kolabaratif, juga meningkatkan kemampuan complex problem solving;
Kelima, ketidakjelasan dihadapi tindakan inovasi dan sikap kritis terhadap kondisi yang ada.
Adapun closing statement diskusi ini adalah:
“Sesungguhnya tidak ada VUCA di setiap leadership melainkan sekedar tantangan-tantangan. Dan tantangan itu justru lebih bersifat ke dalam, misalnya, kurang inspiratif, tidak adaptif terhadap perubahan, kurang cermat dalam mengelola data, analisa yang dangkal, apriori, tidak kolaboratif serta lambat bergerak mengejar perubahan bahkan cenderung menolak perubahan”.
Demikianlah kristalisasi diskusi. Masih prematur dan mentah. Dan tidak ada maksud menggurui siapapun terutama para pihak yang berkompeten. Hanya sharing gagasan. Sangat terbuka untuk kritik saran agar pointers ini semakin mendekat pada kebenaran konsepsi dalam upaya menghadapi VUCA di Era 4.0 yang masive bergerak.
Demikian adanya. Terima kasih.
***) Pointers diskusi kecil di Sanyata Coffee pimpinan Romeo10 WE CREATE THE FUTURE LEADERS
M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)