Kebangkitan Tiongkok dan Penguatan Kerja Sama Keamanan: Kemitraan Strategis Komprehensif Indonesia – Tiongkok (2005 – 2013) Bagian I

Bagikan artikel ini

Penulis: Salomon Anderias Mesak Baby dan Edy Prasetyono, M.Sc., Ph.D

PROGRAM PASCASARJANA, DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL, FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK, UNIVERSITAS INDONESIA. 

Tulisan ini menganalisis sikap Indonesia terhadap kebangkitan Tiongkok sebagai super power dari perspektif hedging. Menurut teori hedging, kebangkitan Tiongkok sebagai super power bukan semata-mata sebagai ancaman, melainkan sebagai peluang untuk dikelola secara baik melalui mekanisme bilateral maupun multilateral guna memberikan manfaat yang lebih besar bagi perdamaian dan kepentingan nasional melalui tiga pendekatan yakni engaggement, enmeshing dan soft balancing.

Indonesia menggunakan strategi hedging terhadap Tiongkok dengan dasar pemikiran bahwa strategi hedging masih sangat singkon dengan prinsip politik luar negeri bebas aktif, sekaligus sebagai sebuah strategi yang dapat mengakomodasi kebutuhan objektif Indonesia sebagai negara yang juga sedang bangkit.

Kesimpulan dari tulisan ini adalah bahwa Indonesia menggunakan Strategi hedging dengan tujuan selain untuk memperoleh keuntungan yang lebih kongkrit dalam dimensi ekonomi, politik dan militer, juga untuk menciptakan keseimbangan yang ideal di kawasan, dan agar Indonesia tidak didominasi oleh salah satu kekuatan manapun, baik dari Amerika Serikat ataupun dari Tiongkok. Strategi ini juga digunakan oleh Indonesia dengan maksud untuk meningkatkan posisi tawar Indonesia di mata Tiongkok dan di kancah politik dunia internasional.

Kata kunci:Kebangkitan Tiongkok, kerja sama kemitraan strategis komprehensif, strategi berjaminan (hedging), pelibatan (engagement), Penjaringan (enmeshing), dan penyeimbangan tak langsung (soft balancing), posisi tawar (bargaining position).

Pendahuluan

Republik Rakyat Tiongkok (RRT, selanjutnya disebut Tiongkok) adalah salah satu negara di kawasan Asia Timur yang sedang bangkit sebagai kekuatan geopolitis baru pada level regional dan internasional. Kebangkitan Tiongkok tersebut menunjukan sebuah kemungkinan yang lebih besar bahwa Tiongkok akan menjadi Negara Adidaya baru di dunia internasional.

Kebangkitan Tiongkok sebagai sebuah kekuatan besar baru (new great power), dipersepsikan oleh sebagian besar negara memiliki potensi sebagai ancaman. David Shambaugh melalui penelitiannya memberikan penguatan akan potensi ancaman Tiongkok tersebut dengan pandangan bahwa Tiongkok memiliki agenda politik tersembunyi (hidden political agenda) untuk menjadi kekuatan hegemoni kawasan (regional hegemon).[1]

Persepsi mengenai ancaman Tiongkok semakin menguat ketika Tiongkok terlibat dalam konflik kedaulatan dengan beberapa negara di kawasan Asia dan lebih menonjolkan sikap permusuhan (hostile Act), yang menunjukan permusuhan (enmity) daripada sikap persahabatan (amity). Dalam pola sikap seperti ini, peningkatkan kapabilitas militer serta kekuatan politik Tiongkok yang semakin kuat ditinjau dari paradigma realis, Tiongkok merupakan ancaman nyata (existential threat) terhadap kehidupan nasional, regional, dan bahkan dunia internasional.

Menghadapi fenomena kebangkitan Tiongkok dan potensi ancamannya, maka berdasarkan perspektif realis strukturalis, terdapat dua alternatif kebijakan bagi sebuah negara dalam menghadapi munculnya sebuah kekuatan baru dalam tatanan yang anarkis yakni melakukan strategi balancing atau sebaliknya melakukan strategi banwagoning.

Berdasarkan dua alternatif konsep kebijakan yang ditawarkan tersebut, Indonesia telah merespon kebangkitan Tiongkok dengan membangun hubungan kerja sama kemitraan strategis Indonesia-Tiongkok tanggal 25 April 2005 yang kemudian diperkuat kembali dengan pembangunan kemitraan strategis komprehensif pada tanggal 02 Oktober 2013.

Kebijakan Indonesia tersebut, merupakan bentuk pelaksanaan dari pada strategi berjaminan atau hedging. Menyikapi sikap hedging Indonesia yang sangat kontroversial dengan logika realis dan bahkan menciptakan anomali pada tingkatan kebijakan luar negeri Indonesia itu, maka yang menjadi pertanyaan dari penelitian ini adalah mengapa Indonesia menggunakan strategi hedging dalam mensikapi Tiongkok yang bangkit menjadi super power?

Tulisan ini bertujuan untuk memaparkan perilaku negara (Indonesia) dalam menanggapi sebuah negara super power baru dengan tidak hanya menggunakan pendekatan realis yang selalu melihat kekuatan negara lain sebagai ancaman dan cenderung menggunakan kekuatan dalam merespon, melainkan menggunakan pendekatan liberal dengan melihat negara lain sebagai peluang yang perlu disikapi dengan strategi yang lebih lunak menggunakan soft power.

 Tinjauan teoretis

Penelitian ini menggunakan teori strategi berjaminan atau teori strategi hedging. Strategi hedging merupakan sebuah strategi baru yang ditawarkan kaum liberal seperti buckpassing, enmeshment dan hedging sebagai sebuah pola pendekatan sebuah negara untuk tidak gegabah dalam menghadapi perubahan dinamika keseimbangan kekuatan yang diakibatkan oleh bangkitnya sebuah aktor internasional baru.

Strategi Hedging adalah sikap atau respon dari satu negara terhadap negara yang sedang bangkit sebagai super power dengan tidak bersikap netral, balancing atau bandwagoning, melainkan memilih untuk menggunakan strategi berjaminan (hedging). Evelyn Goh dalam penjabaranya menyatakan bahwa

Hedging is defined here as a set of strategies aimed at avoiding (or planning for contingencies in) a situation in which states cannot decide upon more straight forward alternatives such as balancing, bandwagoning or neutrality. Instead they cultivate a middle position that forestalls or avoids having to choose one side at the obvious expense of another.”[2]

Memilih untuk berada di tengah-tengah dua kekuatan merupakan karakter umum dari strategi hedging dalam meminimalisir kerugian. A. Fiori, menjelaskan bahwa strategi hedging merupakan strategi yang digunakan untuk menghindari pilihan strategi yang salah dan atau dapat merugikan negara akibat kondisi dan keadaan dimana sebuah negara kesulitan untuk memastikan intensi dari negara yang ditarget.[3]

Bentuk dari strategi hedging sangat fariatif. Berdasarkan tulisan Evan S. Meideiros, secara umum hedging terdiri dari tiga bentuk yakni engagement, enmeshing dan soft balancing.[4] Wujud daripada strategi engagement adalah membangun hubungan kerja sama, namun juga berupaya untuk mengikat negara tersebut dengan proses diplomasi baik secara politik, ekonomi, maupun militer agar kedua negara lebih membuka diri, saling bekerja sama dan komitmen untuk mengikuti peraturan dan norma regional dan Interanasional yang menjadi kesepakatan bersama berdasarkan mekanisme negosiasi dan kompromis secara rasional.

Strategi hedging memiliki karakteristik yang fleksibel sehingga dapat menggunakan beberapa strategi sekaligus dalam satu waktu yang bersamaan seperti dapat menggunakan Strategi engagement dan strategi indirect/soft balancing namun juga dapat menggunakan enmeshing. Inti dari strategi kebijakan soft balancing adalah melakukan strategi keseimbangan namun bukan membangun aliansi atau treaty melainkan hanya melakukan upaya mengajak negara kuat sebagai jaminan untuk mengimbangi pengaruh dan perkembangan kekuatan negara yang secara kapabilitas pertahanan mengalami peningkatan dan memiliki potensi sebagai ancaman.

Strategi soft balancing dilakukan ketika suatu negara tidak ingin didominasi pengaruh negara lain, dan lebih memprioritaskan proses keseimbangannya dengan mengkombinasikan kekuatan ekonomi, diplomasi, dan institusional. Menurut Evelyn Goh,[5] Strategi Soft balancing dilakukan dengan cara mengikutsertakan kekuatan super power untuk turut menjamin keamanan regional, namun hanya sebatas sebagai kekuatan stabilitator guna menghadapi kemungkinan-kemungkinan terburuk yang dapat terjadi.

Strategi Hedging juga meliputi strategi enmeshing. Strategi enmeshing adalah upaya mengajak beberapa negara besar regional untuk membentuk sebuah kekuatan jaringan dengan tujuan untuk menyepakati sebuah tata sikap dan tata laku berdasarkan kepentingan bersama yang berpangkal pada proses engagement sekaligus membangun security community.[6]

Strategi Enmeshing digunakan pula untuk mengantisipasi dan menghadapi  kejahatan yang dapat terjadi antara dua kekuatan besar di lingkup regional atau agresi great power terhadap negara-negara yang lebih kecil dan lemah sehingga tujuan dari srategi enmeshing adalah menjamin stabilitas kawasan.

 Metode penelitian

Untuk menunjang penelitian ini, peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif dengan melakukan analisis deskriptif menggunakan mekanisme studi literatur. Teknik pengumpulan data dari studi studi ini adalah menggunakan data kepustakaan seperti buku catatan,  surat kabar, majalah, jurnal, skripsi dan tesis dan juga dari tulisan-tulisan khusus dari instansi terkait sebagai data sekunder, dan wawancara sebagai data primer.

Melalui metodologi ini maka variabel yang hendak diukur adalah mengenai faktor keuntungan nyata yang diperoleh dari sikap, kebijakan serta strategi yang digunakan oleh Indonesia terhadap Tiongkok yang bangkit sebagai super power.

 Hasil Penelitian

Kebangkitan Tiongkok sebagai kekuatan geopolitik baru dalam dunia internasional merupakan sebuah kondisi faktual yang sulit untuk dielakkan. Secara umum kebangkitan Tiongkok tersebut memiliki basis kekuatan pada tiga elemen geopolitik yakni area yang luas, posisi dan batas yang strategis.

Berdasarkan faktor area, total luas area Tiongkok adalah sebesar 9.596.960 Km2. Berdasarkan luas area disebut, maka Tiongkok adalah negara kontinental (continental state) terbesar ketiga di dunia.[7] Wilayah Tiongkok juga berada pada posisi yang sangat strategis. Mackinder memahami posisi area Tiongkok sebagai the gates of pivot region or Heartland,[8] yakni pintu masuk ke dalam hearthland yang menurut Machkinder merupakan bagian yang lebih bernilai strategis dalam pertahanan, penguasaan dan interaksi antar bangsa-bangsa di dunia.

Tiongkok juga memiliki sumber Daya Alam (SDA) yang besar. Sebagai elemen atau faktor aggregate power yang besar, sumber daya alam Tiongkok mampu dikembangkan untuk menunjang produksi nasional dan membantu dalam proses modernisasi kekuatan nasional. Tiongkok juga memiliki basis kekuatan Sumber Daya Manusia (SDM) yang banyak dan berkualitas.

Menurut Stephen Walt,[9] kependudukan (peoples) merupakan bagian dari kekuatan nasional sebuah negara yang masih sangat penting bagi pertahanan sebuah negara. Dalam kasus Tiongkok, Tiongkok merupakan negara yang memiliki jumlah populasi atau penduduk terbesar di dunia dengan jumlah sebesar 1.354 Milliar (2013). Walaupun jumlah penduduk yang sangat banyak sering menjadi beban bagi negara, namun Tiongkok dapat dikatakan berhasil karena menjadikan pertumbuhan jumlah penduduknya sebagai mesin pembangunan ekonomi dan kekuatan militer dengan berupaya menghasilkan pendidikan dengan bobot yang baik serta berkualitas.

Dikatakan juga oleh Ettore Dorruci dan kawan-kawan bahwa Tiongkok memiliki prestasi yang besar mengurangi angka kemiskinan masyarakatnya. Prestasi tersebut terlihat dari laporan bahwa angka kemiskinan Tiongkok yang sebelumnya pada tahun 1981 mencapai 80%, berhasil dikurangi menjadi hanya 13% pada tahun 2010.[10]

Kekuatan Tiongkok juga nampak nyata dalam Dimensi Sosial yang meliputi  pertama; Pertumbuhan Ekonomi (Economic Growth). Dijelaskan bahwa sejak tahun 1980-an, pertumbuhan ekonomi Tiongkok terus bergerak secara masif dan berpuncak pada tahun 2010. Pertumbuhan ekonomi Tiongkok tersebut terlihat dari meningkatnya Gross Domestic Product (GDP) Tiongkok yang berhasil mengungguli negara-negara maju seperti Jerman dan Prancis dan bahkan Jepang sebagai kekuatan ekonomi kedua dunia.

Tiongkok juga unggul sebagai negara industri dan menguasai perdagangan baik ekspor maupun impor. Tiongkok  juga merupakan negara pemegang obligasi terbesar di dunia dimana sejak tahun 2009 telah berusaha menanggung defisit anggaran Amerika Serikat dengan mengakumulasi pembelian surat berharga Amerika Serikat senilai US$ 763,5 miliar. Keunggulan Tiongkok dalam dimensi ekonomi juga meliputi cadangan devisa yang besar, bahkan Cadangan Devisa Tiongkok menjadi tertinggi di dunia sejak tahun 2006 dengan jumlah US$ 853,7 Milyar.[11]

Tiongkok juga bangkit secara militer. kebangkitan Tiogkok dalam dimensi ini nampak dari anggaran militer yang terus meningkat untuk modernisasi militer. Berdasarkan data SIPRI dan IISS menunjukan bahwa anggaran pertahanan Tiongkok mengalami peningkatan secara drastis dari tahun 2005 yang hanya sebesar 247,7 Milyar Yuan atau US$ 29, 9 Milyar kemudian naik di tahun 2010 menjadi 532,115 Milyar Yuan atau US$ 77, 9 Milyar dan tahun 2013 menjadi US$ 114,3 Milyar atau 720,2 Milyar Yuan.[12] Dengan alokasi anggaran militer Tiongkok yang besar tersebut, berdasarkan hasil analisis world’s top 15 military spenders tahun 2013, Tiongkok dinyatakan sebagai negara kedua dengan prosentase anggaran militer terbesar di dunia.[13]

Dengan alokasi dana yang besar Tiongkok telah melakukan pembangunan pertahanan nasionalnya dengan melakukan proses modernisasi kekuatan militer baik matra darat, laut, maupun udara. Khusus dalam pembangunan matra laut, Tiongkok telah memperkuat sistem dan postur pertahanan laut dengan membentuk strategi baru yakni dari sistem pertahanan pantai (offshore defense strategy/green water navy) menuju konsep blue water navy.

Teknologi militer laut yang dikembangkan oleh Tiongkok saat ini antara lain teknologi elektronik penahan radar dan sonar, kapal selam serang (SKK) bertenaga nuklir, dan kapal induk. Dengan pembangunan kapabilitas Angkatan Laut ini, diprediksikan sepuluh tahun ke depan Tiongkok akan memiliki angkatan laut yang mampu menyerang pangkalan militer darat Amerika Serikat dengan teknologi termutakhir dan berjangkau global. Pembangunan kualitas dan kapasitas sektor maritim Tiongkok ini adalah yang paling mengkuatirkan dunia dan regional karena memiliki potensi ancaman yang besar.

Tiongkok juga melakukan pembangunan kekuatan militer pada matra udara. Kekuatan udara Tiongkok dapat dikatakan sangat kuat dan berkarakter ofensif. Keunggulan angkatan udara Tiongkok saat ini adalah bahwa Tiongkok sudah berhasil melahirkan 5 generasi pesawat tempur moderen berkualitas seperti pesawat tempur siluman (fighter); J-20 dengan teknologi super canggih dan setara dengan F-22 Raptor dan F-35, dengan keunggulan memiliki kapabilitas teknologi stealth (anti radar) dan memiliki sistem avionik atau elektronika penerbangan yang maju. Tiongkok juga mengembangkan senjata nuklir serta senjata elektro magnetic pulse (EMP), serta pesawat tanpa awak (UAV) atau drone, Drone yang dimiliki Tiongkok saat ini adalah drone UAV pengintai dan penyerang jarak jauh (UCAV) BZK-005.

Tiogkok juga melakukan modernisasi pada kekuatan matra darat sebagai jantung dan jiwa dari PLA Tiongkok. Pembangunan dalam dimensi ini  dilakukan oleh Tiongkok dengan mereorientasi sistem pertahanan angkatan darat Tiongkok (PLAA) dari theater defense menjadi trans–theater mobility. Tiongkok juga sedang mengembangkan helikopter moderen Z-10 bagi angkatan darat dengan fungsi utama penghancur tank dan fungsi cadangan sebagai heli tempur udara. Tiongkok juga mengembangkan MBT tercanggih Type 69, dan 99 dengan kapasitas memiliki stabilisator kanon, sistem kontrol senjata seperti penjejak laser, infra merah dan kanon smooth bore 105 mm.

Berikut ini adalah tabel perbandingan kapabilitas militer Tiongkok dan peringkat dunia

Tabel 1.1. Perbandingan Kapabilitas Pertahanan Militer Tahun 2014.

 

Materi AS Tiongkok UK Japan ROK India INA
Total population 316,668,567 1.349.585.838 63,393.574

 

127,253,075 48.9 55.203 1.220. 800,359 251.160.124
Aktive frontline personel  

1.430,000

 

2.2885.000

 

205.330

 

247.746

 

640.000

 

1.325.000

 

476.000

Active reserve personel  

850. 880

 

2.300.000

 

182.000

 

57. 900

 

2. 900.000

 

2.143.000

 

400.000

Land System
Tank 8.325 9.150 407 767 2346 3569 374
Armored fighting vechicles  

25,782

 

4.788

 

6245

 

3.057

 

2. 880

 

 

5.085

 

 

172

Self propelled gunds  

1. 934

 

1710

 

89

 

196

 

2.258

 

290

 

91

Tower artillery 1.791 6,246 138 492 5.424 6.445 94
Multiple launce rocket system/MLRS’s  

 

1330

 

 

1770

 

 

56

 

 

99

 

 

250

 

 

292

 

 

381

Air power
Total aircraft 13.683 2.788 908 1.595 1.393 1.785 381
Fighters interceptors 2.271 1.170 84 292 409 535 29
Fix wing attack aircraft  

2.601

 

885

 

178

 

292

 

269

 

468

 

56

Transport aircraft 5.222 762 338 492 322 706 161
Trainer aircraft 2745 380 312 423 250 237 92
Helicopters 6.012 856 362 671 909 504 149
Attack helicopters 914 122 66 175 77 20 5
Naval power
Total naval streng 473 520 66 131 166 184 197
Aircraft carriers 10 1 1 1 0 2 0
Frigates 15 45 13 0 10 15 6
Destroyers 62 24 0 45 12 11 0
Convettes 0 9 0 0 21 24 26
Submarines 72 69 11 16 14 17 2
Coastat defence craft  

13

 

353

 

24

 

6

 

84

 

32

 

84

Mine warfare 13 119 15 29 10 7 121
Defense budged (US$) juta 612.500,000,000 126.000.000.000 126.000.000.000 49.100.000.000 33.700.000.000 46.000.000.000 6.900.000.000
Rangking 1 3 5 10 9 4 19

 

Data diolah oleh penulis dari Country Comparisson,” Global Fire Power, diakes dari http://www.globalfirepower.com/countries-comparison.asp diakses pada 27 Maret 2014 pukul 1.00

Kondisi geopolitik yang strategis, dan kondisi kebangkitan ekonomi dan militer Tiongkok, telah memberikan kekuatan dan prestise positif terhadap Tiongkok sebagai kekuatan politik dunia. Kondisi tersebut mengawali kebangkitan Tiongkok secara politik untuk menjadi pemain utama dalam dalam panggung politik dunia

 

Pembahasan

Indonesia merespon kebangkitan Tiongkok dengan menggunakan strategi hedging. Bentuk hedging Indonesia meliputi tiga bentuk strategi engagemen, enmeshing dan soft balancing. Strategi Engagemen dilakukan Indonesia dengan terlebih dahulu membangun kerja sama kemitraan strategis tahun 2005 yang kemudian ditingkatkan menjadi kerja sama kemitraan strategis komprehensif pada tahun 2013. Bentuk engagement ini dilakukan oleh Indonesia dengan menjalankan kerja sama dalam tiga pilar diantaranya:

Pertama; Bidang Politik dan Keamanan. Dibangun kerja sama militer untuk melakukan penelitian dan pengembangan teknologi pertahanan, (MoU on Research and Development in Defence techology and cooperation), Kerja sama aktifitas dalam lapangan pertahanan (Agreement Cooperation activities in the field of defence,). Serta kerja sama FKB (join commission), dalam bidang pendidikan dan pelatihan serta eksplorasi antariksa yang mencakup penelitian dan pembuatan satelit eksperimen, satelit penginderaan jauh, satelit komunikasi, layanan peluncuran, penjejakan, pengendalian satelit termasuk pengoperasian dari dalam orbit dan pengelolaannya, pemanfaatan ruas bumi satelit, penelitian sains antariksa serta pemanfaatan dan saling berbagi data satelit penginderaan jauh.

Kedua; Bidang Sosial kebudayaan. Dalam dimensi ini terdapat kerja sama kelautan, kerja sama teknis mengenai infrastruktur dan Sumber Daya Alam (SDA), kerja sama bidang gempa bumi dan tsunami, kerja sama kota dan provinsi bersahabat (City/sister province) dan sejumlah kerja sama kebudayaan, kerja sama anti money Laundering Monitoring  and analysis serta kerja sama anti korupsi yang disepakati pada bulan Mei 2007.

Ketiga: Bidang Ekonomi. Dalam bidang ini terdapat sejumlah kerja sama ekonomi dan teknik, kerja sama keuangan, Kerja sama pembutan web site hubungan ekonomi dan perdagangan, kerja sama pembentukan komite bersama promosi penanaman modal, Kerja sama energi dan sumber daya mineral, serta sejumlah kerja sama bantuan hibah dan kerja sama industri dan teknologi antar kementrian industri.

Pelaksanakaan dari engagement Indonesia terhadap Tiongkok juga dilakukan dengan membangun diplomasi pertahanan (difense diplomacy) yang meliputi: Dialog tingkat mentri antara menteri koordinator politik, hukum dan HAM (Menkopolhukam) dan State Councilor RRT, Forum konsultasi bilateral antar menteri keamanan, Forum konsultasi bilateral antar wakil menteri pertahanan, Forum dialog strategis (Defence Engagement Cooperation Talk /DECT) pada level direktur jenderal dan beberapa Forum dialog antar angkatan perang dari tiap matra.

Indonesia juga menjalankan strategi Enmeshing menggunakan organisasi  Asociation Of Southeast Asian Nation (ASEAN). Enmeshing dilakukan oleh Indonesia dengan berusaha menjalankan kerja sama dan membangun institusi diplomasi multilateral demi untuk membangun regim regional sebagai bentuk dari jejaringan multilateral guna menyepakati sebuah tata sikap atau tata perilaku bersahabat, dan mekanisme diplomasi saling percaya satu sama lain dan saling bekerja sama dengan tujuan untuk menjamin stabilitas keamanan kawasan yang lebih baik.

Fungsi diplomasi multilateral diartikan oleh Berridge G.R. (2005) sebagai proses menghadirkan beberapa negara dalam sebuah konferensi untuk menyelesaikan dan mendiskusikan beberapa isu penting (multilateral diplomacy represents a state in which three or more states come together in a conference to resolve and discuss issued)[14].

Proses enmesment Indonesia melalui ASEAN sesunguhnya mulai dijalankan sejak tahun 1970 dengan perjanjian kerjasama, yang kemudian pada tahun 1971 ASEAN menyepakati declaration Zona of Peace, Freedom and Neutrality (ZOPFAN) yang kemudian disosialisasikan ke Tiongkok. Tahun 1976 ASEAN juga membentuk regime keamanan Treaty of Amity and Cooperation (TAC), Kemudian Pada tahun 1989 ASEAN mendirikan forum diplomasi multilateral pertama yakni Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) sebagai organisasi ekonomi yang mengakomodir seluruh negara dari pandangan dan prinsip ekonomi yang berbeda.

Tanggal 25 Juli 1994 ASEAN membentuk institusi diplomasi multilateral kedua yakni ASEAN Regional Forum (ARF) sebagai wadah atau wahana bagi dialog dan konsultasi terkait masalah politik dan keamanan dengan melibatkan Tiongkok , negara ASEAN, Amerika Serikat, Rusia, Jepang, India Kanada, Korea Selatan Selandia Baru, Uni Eropa, Papua Nugini, mongolia, Korea Utara, Pakistan dan Timor Leste.

Pada tahun 1995 ASEAN membentuk forum ASEM dan hubungan ASEAN-Tiongkok berkembang menjadi ASEAN Tiongkok senior official meetings. Tiongkok kemudian masuk sebagai full dialogue partners ASEAN pada tahun 1996 yang menjadi landasan bagi ASEAN untuk mendesak Tiongkok menjalankan strategi good neighbours dan mutual strust sebagai langkah untuk membangun ASEAN+3.[15] Pada tahun 1999 ASEAN menyepakati pembentukan ASEAN Plus Three (APT) dan mengajak Korea Selatan, Tiongkok dan Jepang sebagai anggota.

ASEAN juga membangun East Asia Summit (EAS) tahun 2005 dengan keanggotaan terdiri dari 16 negara yakni 10 negara ASEAN, ASEAN+3, dan India, New Zealand dan Australia. Tahun 2011 Rusia dan Amerika Serikat kemudian bergabung dalam EAS. Sebagai forum regional yang bersifat terbuka, inklusif, transparan dan outward-looking, EAS memberikan perhatian yang luas sehingga tidak berpatokan pada bidang tertentu saja.

Indonesia menyikapi kebangkitan Tiongkok juga menggunakan strategi soft balancing. Bentuk dari soft balancing Indonesia terhadap Tiongkok adalah dengan menghadirkan kekuatan super power Amerika Serikat. proses soft balancing Indonesia dengan Amerika Serikat ini terlihat dari hubungan baik Indonesia-Amerika Serikat yang bahkan kedua negara telah membangun kerja sama kemitraan strategis komprehensif pada bulan November 2010.

Hubungan bilateral kedua negara sebenarnya mulai diefektifkan kembali sejak bulan November 2005 dengan kesepakatan antar kedua negara untuk mencabut embargo, dan membuka kembali kebijakan pendanaan militer asing (foreign military finance) dan penjualan militer asing (foreign military sales) khususnya penjualan persenjataan Amerika Serikat terhadap Indonesia.

Walaupun Indonesia membangun hubungan yang baik dengan Amerika Serikat namun Indonesia tidak serta merta mendukung Amerika Serikat membangun pangkalan militernya di Indonesia seperti yang telah dilakukan Singapura dan Philipina atau menyepakati strategi aliansi dengan Amerika Serikat. Menurut Robert Gates dalam kompas Kamis, 22 Juli 2010, kerja sama kemitraan strategis komprehensif dilakukan sesungguhnya hanya untuk menghadapi tantanggan global yang dilakukan secara luas meliputi kerja sama di bidang pemberantasan terorisme dan pembajakan laut, penanggulangan kerusakan lingkungan, penanganan bencana alam, dan toleransi.

Berdasarkan sikap Indonesia yang merespon kebangkitan Tiongkok dengan menggunakan tiga kerangka umum strategi hedging, maka dapat dikatakan sikap Indonesia tersebut dilaksanakan dengan dengan beberapa pertimbangan yakni;

Pertama; strategi engagement dilakukan dengan tiga petimbangan pertama; berdasarkan pertimbangan ekonomi, Sebagai sebuah negara yang mengalami krisis sejak tahun 1998, Indonesia menyadari bahwa perkembangan ekonomi Tiongkok tidak dapat dihindari karena terbukti lebih unggul sangat jauh dari ekonomi Indonesia, oleh karena itu Indonesia melihat Tiongkok sangat penting untuk mendorong pembangun kehidupan ekonomi nasional kearah yang lebih maju. Faktor yang dipandang penting dari Tiongkok untuk dimanfaatkan adalah menjadikan Tiongkok sebagai mitra dalam dunia perdagangan, sumber pendapatan foreign direct investment (FDI) baik investasi keuangan ataupun teknologi dan pasar finansial untuk kebutuhan keuangan nasional.

Dalam faktor perdagangan, sejak tahun 1992-2002 perdagangan kedua negara meningkat drastis, begitu juga pada tahun 2003 – 2005 perdagangan kedua negara semakin besar menjadi 31,64 Milliar, dan perdagangan tersebut terus meningkat hingga tahun 2013 menjadi US$ 52.450.952 Milyar sehingga dikatakan berhasil mencapai angka perdanganan tertinggi menduduki peringkat pertama dibandingkan perdagangan Indonesia dengan negara-negara maju lainnya. Dengan pertumbuhan perdagangan yang sangat besar inilah kemudian Indonesia masih mematok target perdagangan dengan Tiongkok sebesar US$ 80 Milyar pada tahun 2015.

Sejak penandatanganan kemitraan strategis antar kedua negara tahun  2005, dalam hal keuangan Tiongkok juga memberikan pinjaman US$ 300 Juta. Tiongkok juga pernah mengucurkan pinjaman skema preferential export buyer’s credit sebesar US$ 800 juta untuk proyek PLTU Labuhan Angin, Proyek Jembatan Surabaya-Madura, dan Proyek bendungan Jati Gede dan PLTU Parit Baru.

Indonesia juga mendapat pinjaman skema preferential export buyer’s credit  sebesar US$ 200 Juta pada bulan Juli tahun 2007, dan mendapat  bantuan hiba atau grant aid sebesar RMB 10 Juta ditambah 30 Juta untuk flu burung. Dari seluruh bantuan itu pula kemudian Tiongkok mulai menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara tujuan penanaman modal.

Kedua; Pertimbangan politik dan keamanan. Secara politik Indonesia melihat Tiongkok sebagai negara yang memiliki keinginan politik yang tinggi untuk menjadi super power. Indonesia mengapresiasi keberanian Tiongkok tersebut dan melihat kebangkitan Tiongkok sebagai salah satu kekuatan politik baru yang penting untuk merubah dan membentuk sebuah sistem keseimbangan kekuatan baru di dunia dengan melahirkan sistem multipolar sebagai alternatif dalam mengganti sistem internasional saat ini yang cenderung unipolar dan unilateral dibawah kendali Amerika Serikat sehingga kebangkitan Tiongkok merupakan satu kekuatan baru yang penting untuk digunakan dalam menerobos dominasi dan kesewenang-wenangan super power Amerika Serikat di dunia.

Kepentingan politis Indonesia dari Tiongkok adalah bahwa Indonesia berharap dengan hubungan baik secara politis, Tiongkok lebih respek terhadap persoalan kedaulatan nasional dan tidak mempolitisir permasalahan internal seperti yang dilakukan oleh Amerika dan Australia terhadap Indonesia dengan mendukung kemerdekaan Timur Leste pada sekitar tahun 1998. Indonesia menjadikan prinsip penghargaan terhadap kedaulatan (sovereignity) dan tidak saling mengintervensi (non interference) menjadi prioritas dalam kerja sama dan diplomasi politik bilateral kedua negara. Komitmen dari kedua negara terkait hal ini sesungguhnya telah disepakati dan direalisasikan Indonesia dengan mengakui One China Policy dan Tiongkok yang telah mengakui kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari Sabang sampai Merauke.

Indonesia-Tiongkok juga membangun kesepakatan kerja sama strategis pada dimensi keamanan. Sebagai sebuah kekuatan baru yang mendominasi di kawasan dan masuk pada level peringkat ketiga sebagai negara terkuat di dunia, kekuatan dan kapabilitas militer Tiongkok menjadi penting bagi Indonesia, oleh karena itu Indonesia merasa perlu mendekati Tiongkok untuk kepentingan strategis jangka panjang dalam sisi militer.

Berdasarkan orientasi tersebut, Indonesia telah membangun dua kebijakan dalam dimensi politik dan keamanan yakni membangun kerja sama militer dengan Tiongkok meliputi pertukaran teknologi, bantuan teknis dan produksi perlatan militer, kerja sama intelijen, tukar menukar informasi intelijen, pendidikan militer, dan latihan militer bersama.

Bentuk kongkrit kerja sama Indonesia-Tiongkok yang sudah direalisasikan hingga saat ini dan meliputi industri pertahanan antara lain kerjasama pengembangan rudal (C-802), pendidikan militer dan latihan dari lembaga-lembaga pendidikan di lingkungan PLA (People’s Liberation Army).

Ketiga; Pertimbangan Sosial Budaya. Hubungan kerjasama sama dalam dimensi ini memberi penekanan pada upaya untuk menghargai eksistensi yang berasas pada kedaulatan dan hak asasi manusia yang bertumpuh pada persamaan dan kesejajaran serta berjuang untuk melindungi hak dan kebebasan pada semua tingkatan sosial, meningkatkan rasa saling menghormati dari segi budaya, mendorong kerja sama pendidikan dan kesehatan khususnya penyakit menular serta bekerja secara erat di bidang pencegahan dan pengendalian bencana alam.

Terdapat juga kerja sama bidang hukum, pariwisata dan hubungan langsung membentuk kota dan provinsi kembar (city/sister province). Indonesia membuka ruang hubungan kultural ini sebagai pintu masuk bagi setiap masyarakat kedua negara untuk saling berinteraksi secara sehat dengan tujuan membangun kesamaan nilai baru yang berguna bagi hubungan jangka panjang kedua negara.

Kedua strategi enmeshing dilakukan oleh Indonesia dengan pertimbangan bahwa kebangkitan Tiongkok harus dapat diakomodir untuk pembangun stabilitas keamanan regional. Indonesia melihat kebangkitan Tiongkok telah menimbulkan rivalitas dalam dimensi ekonomi, politik dan keamanan yang semakin mencemaskan di kawasan. Indonesia menyadari bahwa kondisi ini mengganggu stabilitas regional (ASEAN), dan dapat menghambat misi ASEAN yang sedang dalam proses membangun dan hendak bermetamorfosis mencapai satu masyarakat ekonomi ASEAN 2015.

Bagi Indonesia, jika kondisi tersebut tidak disikapi secara baik maka kebangkitan Tiongkok dapat menimbulkan kerawanan regional yang dapat pula mempengaruhi kerawanan dalam ketahanan nasional. Untuk mengantisipasi dampak terburuk yang dapat ditimbulkan dari kondisi itu, Indonesia berusaha untuk merespon dan mengakomodasi kebangkitan Tiongkok dengan menggunakan ASEAN.

Strategi Indonesia tersebut merupakan hasil pertimbangan yang mendalam terhadap tuntutan rasa tanggung jawab moril untuk sebisa mungkin menciptakan perdamaian di kawasan sebagaimanan disampaikan Sosilo Bambang Yudhoyono selaku Presiden Republik Indonesia mengenai visi politik luar negeri yang harus lebih terarah pada upaya untuk menjadi “pemain global” (global player) dalam metafora dan prinsip politik luar negeri  ”milion friends zero enemy[16]

Berdasarkan prinsip tersebut, Susilo Bambang Yudhoyono mempertegas konteks perjuangan Indonesia dalam fora bilateral, regional dan internasional untuk memperkuat peran Indonesia sebagai emerging power untuk menjadi part of solution dengan menekankan pada peran sebagai peace maker, confidence builder, problem solver and bride builder.[17]

Melalui strategi enmeshing, Indonesia juga mendorong ASEAN menggunakan pendekatan institusional untuk membangun institusi multilateral sebagai media dalam menjalankan diplomasi multilateral yang berbungsi untuk mempromosikan perdamaian dan rekonsiliasi konflik terhadap Tiongkok serta menjadi promotor utama untuk membangun dan memperkuat proses demokratisasi, perlindungan Hak Asasi Manusia dan perubahan secara militer dari semua pihak agar dapat tercapai sebuah peluang untuk saling kompromis, bernegosiasi dan lobbying dalam menyelesaikan seluruh masalah.

Dengan demikian strategi enmeshing yang digunakan oleh ASEAN dengan membangun institusi multilateral berfungsi untuk mengatur perubahan, membangun norma, membentuk identitas regional dan institusionalisasi kerjasama antar negara-negara. proses enmeshing dengan membangun institusi multilateral itu juga merupakan upaya untuk mewadahi proses saling berinteraksi (face to face), diskusi (dialog) dan koordinasi kebijakan (policy coordination) untuk membentuk regional regime berupa nilai, norma, prosedur dan prinsip-prinsip di regional yang menjadi security regime yang harus dijalankan bersama sebagai alternatif dalam mencapai stabilitas kawasan.

Seluruh proses enmeshing ini dibangun oleh ASEAN dalam merealisasikan arsitektur keamanan kawasan yang lebih baik dan kondusif dengan jaringan yang sangat fariatif yakni dalam dimensi ekonomi telah dibentuk Asia-Pasific Economi Cooperation (APEC) dan ASEAN+3. Dalam dimensi politik dan keamanan dibentuk ARF dan EAS, dan dalam kondisi yang tidak terbatas dibentuk ASEM (Asia-Europe Meeting). Melalui proses enmeshing ini maka Indonesia berupaya untuk menciptakan sebuah relasi antar bangsa yang tidak bersifat konfliktual tetapi tetap kompetitif, dinamis dan tidak politis. Dalam posisi itu Indonesia menempatkan ASEAN menjadi manager of regional order untuk mengelolah hubungan negara-negara besar di regional berjalan secara baik.

Tujuan utama dari strategi enmeshing ini adalah untuk menjamin kondisi yang lebih aman bagi kepentingan pertumbuhan ekonomi nasional, sekaligus memberikan citra positif bagi Indonesia di mata dunia internasional, sehingga mempertinggi nilai tawar (bargaining position) Indonesia di mata dunia Internasional sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia dan negara dengan jumlah umat Islam terbesar di dunia yang sangat moderat.

Ketiga; stategi soft Balancing. Digunakan oleh Indonesia sebagai upaya mengajak Amerika Serikat turut menjamin keamanan atau mengimbangi pengaruh dan perkembangan kekuatan Tiongkok yang secara kapabilitas pertahanan mengalami kebangkitan, dan memiliki potensi ancaman sebagai kekuatan hegemoni baru di kawasan.

Indonesia menggunakan Amerika Serikat karena Indonesia melihat Amerika Serikat sebagai kekuatan utama dunia  yang dalam kapabilitas kekuatan militernya belum tersaingi oleh siapapun termasuk oleh Tiongkok. Sebagai kekuatan yang masih unggul dan belum tersaingi, Indonesia menangkap semangat dan komitmen dari strategi keseimbangan (rebalancing) Amerika Serikat terhadap kebangkitan Tiongkok tersebut dan berusaha untuk melibatkan Amerika Serikat dalam menjalankan strategi keseimbangan (balancing strategic).

Pilihan Indonesia untuk menjalankan strategi soft balancing terhadap Tiongkok dengan Amerika Serikat sebenarnya dilatarbelakangi oleh sikap yang kontradiktif dari kedua negara super power tersebut. Berdasarkan kondisi yang kontradiksi tersebut Indonesia mencoba untuk memainkan peran secara lebih aktif dalam mengarahkan kedua belah pihak untuk terlibat dalam mengatur stabilitas dan perdamaian kawasan regional.

Berdasarkan hubungan yang ideal antara kedua negara dengan Indonesia, maka sebenarnya strategi soft balancing Indonesia tidak hanya diberlakukan terhadap Tiongkok tetapi juga Indonesia lakukan dengan Tiongkok terhadap Amerika Serikat. Strategi soft balancing Indonesia terhadap Tiongkok dan Amerika Serikat secara serentak ini dipengaruhi oleh pandangan bahwa Indonesia juga membutuhkan kontribusi yang lebih besar dari dua negara ini untuk melaksanakan pembangunan nasional.

 Indonesia mengharapkan hubungannya dengan Tiongkok dapat memperoleh infestasi dan kerja sama perdagangan yang saling menguntungkan, sedangkan hubungan Indonesia dengan Amerika Serikat memiliki orientasi yang besar untuk mendapatkan keberlanjutan pembangunan demokrasi, hak asasi manusia dan perobahan institusi pemerintahan menjadi yang lebih baik. Indonesia dalam menjalankan strategi Strategi soft balancing terhadap Tiongkok maupun Amerika Serikat memiliki landasan yang kuat dalam visi kebijakan luar negeri Indonesia untuk mencapai dokrin Marty Natalegawa yang mempertegas kebijakan Indonesia dalam memainkan peran untuk menciptakan “dynamic equilibrium

Kesimpulan

Sebagai negara yang sedang bertumbuh secara pesat, kebangkitan Tiongkok telah merubah peta kekuatan geopolitik di kawasan dan dunia internasional sebagai super power yang memiliki pengaruh yang sangat luas. Pada level tersebut terdapat dua persepsi yang berkembang mengenai kiprah Tiongkok yang gemilang saat ini, yakni pertama; kebangkitan Tiongkok menjadikan Tiongkok sebagai kekuatan geopolitik baru yang sangat strategis, dan dapat menjadi solusi bagi permasalahan nasional dan pembentukan tatanan dunia multipolar yang lebih baik, kedua; kebangkitan Tiongkok merupakan ancaman terhadap stabilitas dunia dan perlu diantisipasi sebagai ancaman .

Menyikapi kondisi realitas dan persepsi bangsa-bangsa yang berkembang mengenai kebangkitan Tiongkok tersebut Indonesia kemudian merespon kebangkitan Tiongkok dengan menggunakan strategi hedging. Hedging yang dilaksanakan Indonesia terhadap Tiongkok menggunakan tiga bentuk pendekatan sekaligus yakni menjalankan strategi  engagement, enmeshing, dan soft balancing.

Indonesia menjalankan strategi hedging tersebut karena Pertama, Indonesia menganggap bahwa strategi hedging merupakan alternatif yang sangat ideal didalam merespon kebangkitan Tiongkok. Persepsi Indonesia tersebut berangkat dari kepentingan nasional, dan prinsip politik luar negeri bebas aktif yang menentang aliansi dengan salah satu kekuatan manapun. Sikap Indonesia tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah sikap yang secara prinsipil berupaya untuk tidak terjebak dalam permainan politik kekuasaan (power politics) dan berjuang untuk membentuk dan membangun arsitektur kawasan yang damai.

Kedua, strategi hedging Indonesia tersebut merupakan hasil pertimbangan yang matang terhadap kondisi nasional, serta berdasarkan kebutuhan dan kepentingan nasional yang murni untuk memainkan politik kepemimpinannya di kawasan dalam fora regional khusunya Asia Tenggara sebagai upaya perbaikan citra demokrasi dan kepemimpinan Indonesia dimata dunia internasional.

Bagi Indonesia, Tiongkok adalah bagian dari masalah sekaligus juga bagian dari solusi sehingga strategi hedging merupakan strategi yang tepat dengan tujuan untuk membujuk atau mengajak Tiongkok (termasuk Amerika Serikat) guna melakukan penyesuaian kebijakan melalui mekanisme negosiasi multilateral di dalam institusi multilateral untuk mendapatkan titik temu dari setiap kepentingan dan kebutuhan yang ada sehingga tidak terjadi rivalitas geopolitik atau konflik di kemudian hari.

Ketiga, Indonesia menggunakan strategi hedging terhadap Tiongkok dengan tujuan untuk mencegah potensi konflik antara kekuatan-kekuatan besar di kawasan terhadap Tiongkok. Hal ini bukan berarti Indonesia mendukung Tiongkok tetapi bahwa Indonesia menyadari bahwa stabilitas kawasan sangat penting bagi proses pembangunan negaranya dan negara-negara middle power atau negara-negara berkembang lainnya di kawasan Asia Tenggara pada khususnya.

Bagi Indonesia keteraturan kawasan merupakan hal yang esensial untuk mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia, sehingga bagi Indonesia jalan untuk mencapai stabilitas kawasan adalah menggunakan strategi hedging untuk mengajak Tiongkok (dan Amerika Serikat) untuk saling menghilangkan ketegangan akibat dari sikap prejudis antar negara di kawasan maupun antar dua negara superpower sehingga dapat memperkuat trust satu sama lain.

Keuntungan dari kebijakan hedging Indonesia adalah pada satu sisi Indonesia belum terjebak dalam polaritas antara dua kekuatan dunia yang masih dalam kompetisi mempertahankan dan menyaingi satu sama lain. Pada sisi lain, dengan strategi hedging, Indonesia berada dalam posisi strategis untuk mendapatkan keuntungan dari kedua negara misalkan dari kerja samanya dengan Tiongkok, Indonesia mendapatkan sejumlah kerja sama ekonomi, politik dan keamanan. Sedangkan kerjasama Amerika Serikat-Indonesia Indonesia dipercaya untuk mendapatkan hibah beberapa perlengkapan militer dan Indonesia juga masih menikmati peningkatan alokasi anggaran IMET rata rata sebesar 23% sejak pembatalan embargo di tahun 2005.

Jadi seluruh sikap hedging Indonesia sesungguhnya berorientasi untuk mendapatkan kedudukan (positioning) yang baik dengan semua negara tetapi juga untuk menciptakan bargaining position politik yang penting sebagai negara middle power di antara minor dan super power sehingga memudahkan Indonesia untuk memperoleh dukungan secara positif dalam proses pembangunan dan peningkatan secara menyeluruh seluruh elemen kekuatan nasional, secara khusus ekonomi dan militer.

Saran

Sebagai sebuah strategi yang  digunakan dalam rangka mencegah konflik, dalam pandangan saya strategi hedging yang digunakan sekarang ini harus bisa diikuti dengan penguatan kekuatan baru di bawah poros Indonesia sendiri sehingga jika terbangun kembali dua blok dibawah Amerika Serikat atau Tiongkok, Indonesia lebih aktif untuk membangun tatanan baru yang lebih baik.

Indonesia tidak boleh terbawa dalam persaingan tetapi tidak hanya berpikir untuk memperoleh keuntungan dari kedua pihak. Sebaliknya, yang perlu ditekankan oleh Indonesia adalah komitmen, konsisten untuk menjamin seluruh pihak baik Tiongkok maupun Amerika Serikat untuk berkomitmen pada prinsip-prinsip hidup bersama dengan penekanan yang lebih pada non proliferasi nuklir sebagai upaya untuk menjadikan kawasan ASEAN dan Asia serta dunia bebas dari ancaman nuklir.

Terkait dengan rekomendasi penelitian selanjutnya penulis merekomendasikan untuk dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai isu penggunakaan strategi soft power Tiongkok terhadap Indonesia sebagai upaya untuk memahami faktor-faktor yang mempengaruhi Tiongkok sebagai rising power melunak. Berkaitan dengan hal itu maka sebagai rekomendasi kebijakan, menurut hemat penulis Indonesia sebagai sebuah negara berdaulat perlu memikirkan peta arsitektur kawasan ASEAN untuk sampai tahun 2030 dan kemudian untuk sampai tahun 2050 dengan orientasi pada tatanan hukum.

DAFTAR REFERENSI

Alexandra, Lina and Tobias Basuki. (2014) “Democracy, Human rights and Indonesia’s foreign policy under Yudhoyono,” The Indosian Quarterly, Vol. 42. No. 3-4 CSIS Jakarta.

Dorruci Ettore, Gabor Pula dan Daniel Santabarbara, (2013) “China’s Economic Growth and Balancing,” Occasional Paper Series, European Central Bank Euro Sistem, No.142.

Fiori, A., dan Passeri A,  (2013) “Hedging in Search of a New Age of Non-Alignment: Myanmar Between China and the U.S.” Konferensi SISP. 12-14 September 2013. Diakses dari http://www.sisp.it/files/papers/2013/andrea-passeri-1531.pdf.

 Goh, Evelyn. (2006) “Understanding “hedging” in Asia-Pacific Security.” PacNet  43 Agustus  31.

Goh, Evelyn. (2005) “Meeting the China Challenge: the US in Southeast Asian Regional Security Strategies.” Policy Studies monograph No. 16 Washinton DC: East-West Center Washinton.

Goh, Evelyn. (2005) “Great powers and Southeast Asian Regional Security Strategies: Omni-Enmeshment, Balancing and Hierarchical Order.” Institu of Defence Strategic Studies, Nanyang  Technological University No. 84. Singapura IDSS. Juli.

Gitosardjono, S. Sukamdani. (2006) Dinamika Hubungan Indonesia-Tiongkok Di Era Kebangkitan Asia. Lembaga Kerjasama Ekonomi, Sosial dan Budaya Indonesia-Tiongkok, PT. Putra Perkasa Cahaya Bunda Jakarta.

Girsang, Lily Gracia Aritta. (2010) “Multilateral Diplomacy: An Examination on Institutional Effectiveness,” Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional Vol. 6, No. 2. September.

Medeiros, Evan S. (2005) “Strategic Hedging and the Future of Asia‐Pacific Stability.” The Washington Quarterly Vol. 29, No. 1.

Rosyidin, Mohamad. (2012) “Globalisasi dan Paradoks Kepentingan Nasional Indonesia: Million Friends, Zero Enemy.”  Analisis CSIS Vol. 41, No. 3.

Sempa, Francis P. (2002) Geopolitics: from the Cold War to the 21st Century. Transaction Publishers.

SIPRI  (2013) SIPRI Year Book 2014 “Defense Budget,” (Stockholm, 2014) dan “The Military Balance 2013: Washington.

Shambaugh, L. David. (2004) “China Engages Asia: Reshaping the Regional Order,” International Security 29, No. 3.

Walt, Stephen M. (1985) “Alliance Formation and the Balance of World Power.” International security Vol. 9. No.4.

Wibowo, I. & Syamsul Hadi (edit.), (2009) Merangkul Cina. Hubungan Indonesia-Cina Pasca  Soeharto (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

http://www.globalsecurity.org. World’s Top 15 Military Spenders 2013, Global Security.

 

End Notes

[1] David L. Shambaugh, “China Engages Asia: Reshaping the Regional Order,” International Security 29, No. 3 (2004), hlm. 64.

[2]Evelyn Goh, “Understanding “Hedging” in Asia-Pacific Security,” PacNet. 43 Pacific forum  Honolulu Hawai (Agustus, 31 2006), hln. 1. diakses pada 23 September 2014 pukul 06.00 dari http://csis.org/files/media/csis/pubs/pac0643.pdf.

[3]A. Fiori, “Hedging in Search of a New Age of Non-Alignment: Myanmar between China and the U.S.,” (disampaikan pada Konferensi SISP, University of Bologna dan University of Cagliari, 2-14 September, 2013), hlm. 8. Diakses pada 23 September 2014, pukul 07.00 dari http://www.sisp.it/files/papers/2013/andrea-passeri-1531.pdf.

[4] Evan S. Medeiros, “Strategic Hedging and the Future of Asia‐Pacific Stability.” The Washington Quarterly 29, no. 1 (2005): 145-167.

[5]Evelyn Goh, “Meeting the China Challenge: The U.S. in Southeast Asian Security Strategies,” Policy Studies Monograph  No. 16 (Washington, DC: East-West Center Washington, 2005), hlm. viii.

[6]Evelyn Goh, “Great powers and Shoutheast Asian  Regional Security Strategies: Omni-Enmesment, Balancing, and Hirarchical Order”, Institute of Defence Strategic Studies Nanyang Technological University No. 84. (Singapura: IDSS, Juli 2005), hlm. 120-121.

[7]Sukamdani S. Gitosardjono, Dinamika Hubungan Indonesia-Tiongkok di Era Kebangkitan  Asia, Lembaga Kerjasama Ekonomi, Sosial dan Budaya Indonesia–China, (Jakarta: PT. Putra Perkasa Cahaya Bunda, 2006), hlm. 72.

[8] Francis P. Sempa, Geopolitics from the Cold War to the 21st Century, (New Jersey: Transaction, 2002), hlm. 21.

[9]Stephen M. Walt, “Alliance Formation and the Balance of World Power”, International Security, Vol. 9/4. (1985), hlm. 3-43.

[10]Ettore Dorruci, Gabor Pula dan Daniel Santabarbara, “China’s Economic Growth and Balancing,” Occasional Paper Series, European Central Bank Euro Sistem, No.142. (2013), hlm.  11.

[11] Sukamdani, Gitosardjono, Dinamika Hubungan Indonesia-Tiongkok di Era Kebangkitan  Asia, Op.cit., hlm. 106.

[12]Defense Budget,” SIPRI Year Book 2014, (Stockholm, 2014) dan “The Military Balance 2013: (Washington, 2013). Diakses tanggal 21 November 2014, Pkl. 02:05 WIB.

[13]World’s Top 15 Military Spenders 2013, Global Security, diakses pada 22 November 2014 pukul 08.41 dari www.globalsecurity.org.

[14]Aritta Gracia Lily Girsang, “Multilateral Diplomacy: an Examination on Institutional Effectiveness,” Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional Vol.6/2 (2010), hlm. 1.

[15]Wibowo, I. & Syamsul Hadi (edit.), Merangkul Cina. Hubungan Indonesia-Cina Pasca  Soeharto (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009). hlm.  107.

[16] Lina Alexandra and Tobias Basuki, “Democracy, Human rights and Indonesia’s foreign policy under Yudhoyono,” The Indosian Quarterly, Vol.42.No.3-4 CSIS (Jakarta, 2014), hlm. 183.

[17]Mohamad Rosyidin, “Globalisasi dan Paradoks Kepentingan Nasional Indonesia: Million Friends, Zero enemy”,  Analisis CSIS, Vol. 41/3, (2012), hlm. 400.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com