Membaca yang Samar dari yang Tersamar dalam Konstelasi Global

Bagikan artikel ini

Kontemplasi Kecil (filsafat) Geopolitik

“Orang hidup itu senang dengan barang-barang samar (rahasia) tetapi ada. Jika ada, siapakah dia? Hati ini menjawab bukan ini, bukan itu. Tak lain dan tak bukan ialah Dia Yang Menciptakan Kehidupan. Yang Menghidupi lagi Memangku Kehidupan” (Ki Jogo Kali, 2010).

Ada asumsi yang terbilang baru di ranah analis geopolitik, bahwa sebuah clue atau petunjuk, kerap kali bukannya petunjuk guna mengungkap “sesuatu” agar yang samar (di masa depan) menjadi jelas serta terang benderang (di masa kini), sehingga gilirannya memudahkan untuk menyikapi atau bagaimana cara mengantisipasi.

Dalam kajian ini, justru clue tersebut kian menyembunyikan atau semakin menyamarkan sesuatu atas sesuatu di masa depan. Ini cukup unik. Selain terdapat strategi penyesatan (deception) tingkat tinggi bila dibanding strategi penyesatan (sebelumnya) yang lazim, trik-triknya juga berbeda.

Lalu, bagaimana contoh riil narasi penyesatan lazimnya?

Untuk hal itu, Pepe Escobar memberi isyarat dimana inti poin narasinya begini: “Ketika Bush Jr menyatakan ada rezim tirani, misalnya, terdapat pemerintah tidak demokratis, atau ada Islam radikal di negara X, misalnya, itu artinya di negara tersebut terdapat emas, minyak dan gas bumi dalam jumlah signifikan.” Siap-siap saja diinvasi kecuali negara tersebut mau bekerja sama. Itulah strategi deception yang lazim. Contoh lagi, seperti thanks to krupuk, thanks the bakso, the nasi goreng etc, kata Obama sewaktu berkunjung di Indonesia dulu. Itu juga deception lazimnya. Terlihat wajar bagi yang kurang paham. Tapi yang memprihatinkan, publik Indonesia justru gegap bertepuk tangan atas “pecaplokan” geoekonomi negerinya atas nama apapun. Ya, all warfare is deception, kata Sun Tzu.

Nah, isu pandemi bertajuk Covid-19 ini, jika beranjak dari model deception tingkat tinggi di atas —bukan deception lazim— sepertinya publik mulai dipaksa berselancar pada gelobang new normal alias tatanan kehidupan baru yang serba virtual, jaga jarak fisik, hindari kerumunan dan seterusnya. Tidak ada masalah di tengah pandemi merebak. Namun jika menyelam lebih dalam, publik seperti digiring dan/atau tergiring pada sebuah agenda dimana era tersebut seakan buah penyelaraskan antara kondisi faktual saat ini (masa pandemi) dengan trend perilaku publik berbasis teknologi informasi (IT) di era revolusi industri 4.0, namun publik tak menyadari karena “dipaksa” oleh sebuah keprotokolan. Dan bila hal itu diyakini menjadi nilai dalam praktik keseharian masyarakat justru kelak ia mampu mencabut manusia dari akar keseharian yang selama ini dilakukan selaku makhluk sosial, misalnya, silahturahmi secara fisik dan budaya offline dan seterusnya. Lebih jauh lagi, selain bisa mengikis (ritual) daya religi berbagai agama —ini tengah berlangsung— juga akan mengubah budaya yang sudah mengakar, menjadi peradaban baru yang belum melembaga. Inilah yang disebut “titik kritis” peradaban, dimana kebiasaan lama mulai ditinggalkan oleh masyarakat namun peradaban baru belum sepenuhnya melembaga. Publik dibuat panik dan gagap dalam menjalani hidup serta kehidupan.

Berbagai kajian mensinyalir, bahwa ada upaya senyap segelintir elit global guna menggeser peradaban offline menjadi virtual atau online dengan segala implikasi ( – ) dan kontribusi ( + )-nya.

Di sini mulai terbaca hidden agenda atas clue tersebut bahwa “new normal” yang mulai diinternalisasi ke publik. Ia diasumsikan sebagai kelanjutan dan penebalan globalisasi, sedang konsep globalisasi itu sendiri mulai ditolak oleh publik melalui sebuah retorika, “Untuk apa dibentuk negara, jika semua ruang dan (gerak) dinamika terutama aspek ekonomi dan sosial budaya harus diseragamkan atau  distandarisasi melalui protokol globalisasi?”

Retorikanya, adakah ini ulah segelintir elit globalis yang disebut dengan istilah non-state actor sebagaimana sinyalir geopolitik pasca Perang Dingin?

Perlahan mulai terkuak — bahwa Covid-19 dan segala konsekuensi keprotokolan ala WHO, bukanlah clue guna membuat terang sesuatu yang samar di masa depan —kondisi pasca pandemi— tetapi  clue tersebut justru  menyembunyikan hal yang samar-samar. Artinya, ketika kelak terjadi perubahan secara radikal dalam tata kehidupan masyarakat global (new normal) maka hal itu dianggap logis dan wajar.

Inilah bentuk clue atau petunjuk, tetapi clue tersebut justru kian menyembunyikan hidden agenda (tujuan utama) itu sendiri.  Siapa (sektor) pemenang dalam pertarungan senyap di era new normal nantinya?

Apabila mengurai samar dari yang tersamar secara riil, seyogianya mesti dipetakan terlebih dahulu antara mana sektor punya potensial winners dan siapa potensial losers akibat isu Covid. Nah, untuk materi ini akan dibahas dalam tulisan tersendiri.

Sementara itu dulu. Terima kasih.

M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com