Gerakan sosial yang hanya mampu mengganti kulitnya saja tanpa membedah isi dalamnya, tidak bisa disebut revolusi. Konsep revolusi itu harus tersistem dan tidak sebatas pengerahan gerakan massa semata, sebagaimana contoh revolusi Bolshevik yang dipimpin oleh Lenin dan revolusi sosialis Cina yang dipimpin oleh Sun Yat Sen. Kedua revolusi itu tidak saja berhasil menggulingkan sistem monarki, tapi juga mampu membangun tatanan pemerintahan dan sistem politik yang baru secara sistematis dan mandiri dengan konsep negara republik.
Dalam hal mobilisasi massa pun, gerakan revolusi haruslah bersifat kolektif. Artinya harus mampu merangkul semua elemen masyarakat, khususnya komponen masyarakat akar rumput. Bila kita bercontohkan revolusi Bolshevik yang di level akar rumputnya berhasil merangkul dan memadukan kaum buruh dengan kaum terpelajar. Dan revolusi sosialis Cina yang berhasil merangkul dan memadukan kaum tani dengan kaum terpelajar, yang kemudian diakomodir dalam mobilisasi massa secara terorganisir. Sedangkan reformasi 1998 lalu, bisa dikatakan hanya sebatas [merangkul]gerakan kaum terpelajar mahasiswa saja, tanpa melibatkan komponen akar rumput, yang gerakan itupun kemudian dimandulkan atau hanya dijadikan proxy bagi pihak-pihak berkepentingan waktu itu untuk sebatas mengganti person yang duduk di kursi kekuasaan. Sehingga gagal menyentuh isi sistemnya alias gagal direformasikan secara utuh.
Alih-alih berhasil membawa masuk hak-hak rakyat ke dalam pintu gerbang kemerdekaan, reformasi justru membuka kran-kran liberalisme di segala lini aspek negara yang justru semakin memarjinalkan hak-hak dan fungsi politik rakyat. Lebih ngenes lagi, lewat pintu reformasi lah, oligarkisme politik kini semakin tumbuh subur dan kian menjadi.
Sistem otonomi misalnya, yang pada masa awal reformasi digadang mampu menjadi resep penyetaraan atau jalan tengah bagi daerah-daerah tertinggal yang selama orde baru dikucilkan oleh sistem politik sentralistik, malah turut berperan membidani “demokrasi pragmatis” yang kental dengan politik transaksional. Alhasil, model demokrasi yang sesuai cita-cita reformasi ingin menghadirkan peran politik deliberatif untuk rakyat, justru dibajak oleh kelompok pemodal (oligarki) yang bertujuan meluaskan dan menguatkan kepentingan geo-ekonomi segelintir elit di daerah. Ruh reformasi pun semakin hari semakin bias orientasi. Ia kini justru menjadi perpanjangan tangan rantai feodalisme yang berbajukan demokrasi.