Kebijakan Luar Negeri Presiden Trump yang Kontradiktif dan Saling Bertentangan Tentang Eropa dan Rusia

Bagikan artikel ini

Sumber artikel:

Mixed Messages and Confusion in U.S. Policy Regarding Europe and Russia

Presiden AS Donald Trump melancarkan sebuah manuver yang cukup bijaksana dan masuk akal dengan mengajukan usul agar Rusia dimasukkan ke dalam negara-negara yang tergabung dalam GT-7. Yaitu Kanada, Prancis, Jerman, Itali, Inggris, Jepang dan Amerika Serikat. Ketujuh negara tersebut saat ini tergolong negara-negara ekonomi maju.

Ketujuh negara tersebut memandan dirinya sebagai community of value dalam menegakkan kebebasan, hak-hak asasi manusia, demokrasi dan kepastian hukum, kesejahteraan dan pembangunan yang berkelanjutan.

Maka itu tepatlah kiranya untuk merangkul Rusia. Namun Inggris yang selama ini secara gigih menentang Rusia, nampaknya akan memveto usulan Amerika untuk memasukkan Rusia. Namun seperti manuver-manuver Trump sebelumnya yang membawa implikasi pada konstelasi global, selalu dibuat tanpa terlebih dahulu berkonsultasi dengan negara-negara sekutu tradisional AS.  Trump selalu mengabaikan prosedur diplomatik yang konvensional.

Begitupun terkait dengan Rusia, manuver Trump nampaknya mencerminkan kebijakan AS untuk menjalin kerjasama yang bersahabat dengan negara beruang merah itu. Baik di bidang perdagangan maupun kerjasama-kerjasama lainnya. Padahal pada 11 Juni 2020 lalu, kongres mengeluarkan undang-undang yang akan mengenakan sanksi terhadap keterlibatan pembangunan pipanisasi gas Rusia-Jerman Nord Stream 2 gas pipeline. Yang merupakan langkah yang lebih intensif berkaitan dengan kebijakan sanksi yang telah disetujui Trump pada 2019 lalu.

Kebijakan sanksi terhadap pipanisasi gas Rusia-Jerman yang ditrapkan Trump, juga dilakukan tanpa konsultasi dulu baik dengan Jerman maupun Rusia. Sehingga sempat mengundang kemarahan menteri perekonomian Jerman Peter Almaier bahwa sanksi AS tersebut selain bertentangan dengan hukum internasional, juga sama sekali tidak memberi kontribusi positif kea rah kerjasama internasional.

Pernyataan menteri perekonomian Jerman tersebut bertepatan dengan berita yang dilansir the New York Times bahwa pemerintah AS akan mengurangi personil militer AS di Jerman sebanyak 25 persen. Dalam mengeluarkan mengeluarkan kebijakan inipun, Washington tidak berkonsultasi dengan Perdana Menteri Jerman Angela Markel. Atau Sekretaris Jenderal NATO ens Stoltenberg.

Menteri Luar Negeri Jerman Heiko Maas, juga mengatakan bahwa baik kementerian luar negeri maupun Pentagon belum pernah menginformasikan hal tersebut, bahwa masalah ini harus dibicarakan terlebih dahulu. Apalagi saat ini ada sekitar 20 senjata nuklir yang  masih disimpan di pangkalan angkatan udara Bachel di Jerman.

Dan keputusan Trump untuk menarik pasukannya dari Jerman tidak ada kaitan dengan perlunya memikirkan ulang relevansi kehadiran militer AS di NATO maupun untuk memperbarui kerjasama internasional dalam kerangka NATO sebagai pakta pertahanan Atlantik Utara.

Penarikan mundur pasukan AS dari Jerman kabarnya dipicu oleh kemarahan Washington terhadap kegagalan Jerman dalam pengeluaran belanja militer Jerman. Namun sebagaimana dilansir oleh the Guardian, Jerman sama sekali tidak punya utang pada NATO maupun AS sebagaimana klaim Presiden Trump.

Sampai sejauh ini belum ada kajian mengenai dampak buruk dari berbagai kebijakan yang dikeluarkan Trump. Yang jelas ini merupakan beban berat bagi para pembayar pajak di Amerika. Selain itu menarik mundur pasukan AS dari Jerman sebanyak 9500 oran bukan perkara mudah. Mengingat hal ini juga berkaitan dengan penyediaan fasilitas militer dalam jumlah yang cukup massif begitu personil militer tersebut kembali ke AS. Begitu pula dampak ekonomi dari berbagai komunitas di Jerman ketika pasukan yang selama ini beroperasi di Jerman pulang kembali ke AS. Agaknya ini merupakan hal paling akhir yang dipikirkan Trump.

Dalam mengeluarkan kebijakan luar negerinya Trump seringkali dipandang labil, inkonsisten, suka main gertak, namun faktanya Trump punya karakteristik khas dalam memberi arah kebijakan luar negerinya.

Kadang menggertak AS akan keluar dari keanggotaannya di NATO kalau negara-negara anggota lainnya tidak ikutan bayar iuran keanggotaan. Lantas apa artinya kebijakan AS itu bagi Eropa maupun Rusia? Sementara NATO harus tetap fokus untuk bersikap agresif terhadap Rusia dengan menempatkan pasukan militernya secara agresif di Eropa Timur? Tak seorangpun yang tahu karena Presiden Trump selalu mengirim pesan yang sangat membingungkan.

Pada 15 Juni lalu, AS dan Polandia terlibat perundingan cukup intensif ihwal rencana peningkatan jumlah pasukan AS di Polandia. Namun tak ada yang tahu baik di NATO maupun di Eropa yang tahu persis bagaimana perkembangan tindak-lanjut dari rencana tersebut.

Sebagaimana dinyatakan oleh NATO, peningkatan jumlah pasukan maupun pesawat tempur di sepanjang daerah perbatasan Rusia merupakan pasukan multinasional yang ada di Estonia, Latvia, Lithuania dan Polandia. Pasukan tempur multinasional ini dipimpin oleh Inggris, Kanada, Jerman dan Amerika Serikat. Sebagai pasukan multinasional yang siap tempur sekaligus mempertunjukkan persekutuan Atlantik yang cukup solid.

Namun sadarkah Trump bahwa dia akan semakin memperbesar kehadiran militernya dengan memindahkannya dari Jerman ke Polandia? Kunjungan Presiden Polandia ke Washington pada 24 Juni lalu memang cukup menjanjikan. Kedua negara sepakat untuk meningkatkan kerjasama di bidang pertahanan, perdagangan, energi, dan keamanan telekomunikasi.

Namun tetap saja dalam kebijakan luar negeri, Trump selalu mengirim pesan yang saling bertentangan kepada Eropa maupun Rusia terkait Polandia. Padahal Polandia dipandang sebagai negara Eropa Timur yang paling pro AS. Sehingga berpotensi menciptakan kebingungan yang membahayakan.

Dan berbagai kebijakan luar negeri Trump yang kerap sangat membingungkan dan serta mengirim pesan yang saling bertentangan dan kontradiktif, pada perkembangannya sama sekali tidak menciptakan prakondisi untuk mewujudkan kembali kebesaran Amerika atau seperti slogan Trump selama kampanye: to make America great again.

Brian Cloughley, veteran angkatan darat Inggris dan Australia, pernah menjadi Atase Militer di Pakistan, dan  wakil ketua Misi militer Perserikatan Bangsa-Bangsa di Kashmir.  

 

 

 

 

 

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com