Kedekatan Soeharto dan Sukarno Menyatukan Energi kedua bapak bangsa untuk masa depan Indonesia

Bagikan artikel ini
 PRIHANDOYO KUSWANTO
Presiden Soeharto dikesankan memiliki hubungan buruk dengan Presiden Soekarno. Padahal sesungguhnya keduanya memiliki kedekatan dan ikatan batin yang kuat. Presiden Soeharto mewujudkan semangat berdikari yang sering didengungkan Presiden Soekarno melalui agenda dan program tinggal landas. Presiden Soeharto bahkan mengantarkan Indonesia menjadi macan Asia. (Galeri Soeharto.co)
Hubungan Presiden Soekarno-Presiden Soeharto seringkali ditafsirkan berhadapan secara diametral tanpa menengok kesamaan visi kenusantaraan diantara keduanya. Secara mikro memang terjadi sejumlah perbedaan pandangan, namun tetap dibalut oleh kesamaan visi sebuah keinginan kuat untuk memandu bangsanya keluar dari jepitan dua kekuatan raksasa dunia kala itu, yaitu Blok Barat dan Blok Timur. Mayjen Soeharto (pada masa transisi itu pangkatnya masih Mayjen) memahami cara pandang dan maksud-maksud Presiden Soekarno berkenaan dengan kemesraannya dengan Blok Timur untuk membebaskan Irian Barat, sehingga tidak melakukan perlawanan frontal terhadap kebijakan itu. Presiden Soekarno juga memahami cara pandang dan tindakan Mayjen Soeharto terhadap bahaya atas manuvernya (manuver Presiden Soekarno) menggandeng PKI.
Transisi kepemimpinan Indonesia dari Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto yang diwarnai munculnya Supersemar juga sering dipandang sebagai bentuk pembangkangan Mayjen Soeharto kepada Presiden Soekarno. Namun apabila dicermati secara mendalam, proses-proses itu sebenarnya atas dukungan penuh Presiden Soekarno dengan tetap mempertahankan sikap menduanya. PKI Secara eksternal ia melakukan megaphone diplomacy, dengan menampakkan pembelaan dan dukungannya mempertahankan status hukum PKI. Ia juga tetap membuka saluran-saluran komunikasi dengan tokoh-tokoh PKI dan melindungi para pengurusnya. Sedangkan secara internal ia memberi dukungan legal-formal atas langkah-langkah Mayjen Soeharto menertibkan keamanan dan pembubaran PKI beserta ormas-ormasnya. Dukungan legal-formal itu dapat kita ketahui secara jelas dari peristiwa-peristiwa berikut:
Pada tanggal 2 Oktober 1965, Presiden tetap memberikan kepercayaan kepada Mayjen Soeharto untuk memulihkan ketertiban dan keamanan paska kudeta, selain tetap mempertahankan Mayjen Pranoto Reksosamodro (calon usulan PKI) menjadi caretaker TNI AD. Dua perintah dalam satu struktur komando itu jelas menempatkan Mayjen Pranoto hanya sebatas figuran. Presiden Soekarno memahami betul kompetensi kemiliteran dan penguasaan Mayjen Soeharto atas kendali pasukan. Ia paham bagaimana karakter Mayjen Soeharto yang tidak bisa dihalangi ketika bimbingan keyakinannya telah menuntun untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Namun atas semua keteguhan sikap Mayjen Soeharto, Presiden Soekarno juga paham tidak pernah ada catatan sejarah perilaku/tindakan Mayjen Soeharto hendak melukai/melawan dirinya, sebagaimana sejumlah kasus pembangkangan para perwira. Mayjen Soeharto merupakan sosok prajurit profesional, loyalis presiden, yang menggagalkan kudeta terhadap Presiden Soekarno dalam peristiwa yang dikenal dengan peristiwa 3 Juli 1946, aktor Serangan Umum 1 Maret 1949 sehingga mengembalikan harga diri Indonesia dalam diplomasi internasional, mediator rujuknya kembali Panglima Jenderal Soedirman dengan Presiden Soekarno dan Pengalima Operasi Mandala. Atas kontribusi Soeharto mudalah eksistensi Presiden Seokarno membawa kemegahan Indonesia bisa berjalalan. Presiden Soekarno sepertinya sudah mengkalkulasi dualisme kepemimpinan militer pada tanggal itu akan dengan mudah diatasi Mayjen Soeharto.
Pada tanggal 14 Oktober 1965 —kurang dua minggu sejak kudeta PKI— Presiden mengangkat Mayjen Soeharto sebagai Men/Pangad definitif menggantikan Mayjen Pranoto Reksosamodro. Tindakan ini semakin menambah sikap mendua Presiden dimana secara terbuka —melalui statemen-statemennya— membela PKI, namun secara bersamaan menyerahkan kendali TNI AD kepada Mayjen Soeharto, sosok yang sejak awal tidak sejalan dan bahkan antipati terhadap PKI.
Pada tanggal 1 November 1965 (1 bulan sejak kudeta PKI), Presiden mengangkat Mayjen Soeharto sebagai Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib). Keputusan itu disusul dengan pembentukan Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) pada tanggal 6 Desember 1965. Secara jelas Presiden menunjukkan sikapnya menyetujui gagasan Mayjen Soeharto untuk melakukan pembersihan terhadap pelaku G 30 S/PKI beserta jaringannya.
Pada tanggal 4 Desember 1965, Presiden Soekarno memenuhi saran TNI AD untuk membentuk Mahmilub dan memberi wewenang kepada Mayjen Soeharto sebagai Perwira Penyerah Perkara (Papera).
Presiden menerbitkan Surat Perintah pada tanggal 11 Maret 1966 (Supersemar) yang isinya memerintahkan Mayjen Soeharto/Menpangad, dengan atas nama Presiden/ Penglima Tertinggi/ Pemimpin Besar Revolusi untuk “mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Pimpinan Presiden/ Panglima Tertinggi/ Pemimpin Besar Revolusi/ Mandataris MPRS demi keutuhan bangsa dan Negara Republik Indonesia dan melaksanakan dengan pasti segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi”. Penerbitan Surat Perintah tersebut secara jelas memberikan keleluasaan cukup besar kepada orang yang sudah diketahui Presiden sangat tidak bersahabat dengan PKI beserta orang-orang yang terlibat dalam peristiwa G 30 S/PKI.
Ketika Surat Perintah tersebut dimanfaatkan Mayjen Soeharto untuk membubarkan PKI beserta ormas-ormasnya serta menjadikannya sebagai partai terlarang, Presiden tidak melakukan tindakan yang berarti secara hukum untuk menggagalkannya. Atas desakan Soebandrio yang pro PKI, Presiden marah-marah dan menyatakan bahwa maksud Surat Perintah tersebut hanya dalam lingkup teknis militer dan bukan tindakan politis. Namun payung hukum yang kemudian dipergunakan untuk menertibkan tindakan Mayjen Soeharto, berupa Penetapan Presiden (tanggal 13 Maret 1966) yang isinya: “…memerintahkan Mayjen Soeharto untuk kembali kepada Pelaksanaan Surat Perintah Presiden/ Panglima tertinggi/ Mandataris MPRS/ Pemimpin Besar Revolusi dengan arti, melaksanakan secara teknis saja dan tidak mengambil dan melaksanakan keputusan di luar bidang teknis”. Penpres tersebut secara mudah dapat dipahami tidak memiliki implikasi hukum sama sekali untuk menghapus tindakan Mayjen Soeharto membubarkan PKI. Terkecuali jika melalui surat perintah yang sama, Presiden menyatakan mencabut keputusan pemegang mandat (Mayjen Soeharto) membubarkan PKI dan menyatakan membatalkan pembubaran PKI beserta ormas-ormasnya. Tindakan Mayjen Soeharto bahkan disahkan oleh MPRS berdasarkan TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966.
Presiden hanya berwacana dan melakukan statemen yang bernada simpati terhadap PKI, namun tidak mengeluarkan keputusan hukum untuk menghentikan langkah-langkah Mayjen Soeharto melakukan pengejaran terhadap pelaku G 30 S/PKI beserta jaringan-jaringannya. Presiden dengan kekuasaan yang masih dimilikinya sangat memungkinkan mengganti Mayjen Soeharto sebagai Men/Pangad atau mencabut penugasan-penugasannya sebagai Pangkopkamtib dan Penyerah Perkara dalam Mahmilub jika tidak menyetujui langkah-langkahnya.
Kedekatan antara Presiden Soekarno-Mayjen Soeharto dalam peristiwa G.30.S/PKI dan pergeseran kekuasaan dalam peristiwa setelahnya, hanya bisa dijelaskan dalam perspektif penyelamatan bangsanya dari perangkap ancaman Blok Barat maupun Blok Timur. Peristiwa G 30 S/PKI menyadarkan Presiden Soekarno jika Blok Timur tidak lagi sesuai skenarionya untuk dimanfaatkan melawan Blok Barat, karena telah terbukti menikam dirinya sendiri. Namun untuk segera meninggalkan Blok Timur, ia akan menjumpai kenyataan posisi Indonesia tinggal sendirian dalam panggung internasional. Selama ini pijakan diplomasinya dibangun atas tumpuan dukungan negara-negara Blok Timur. Sedangkan meminta dukungan barat merupakan kemustahilan mengingat dalam beberapa tahun sebelumnya telah ia tempatkan sebagai musuh besar dengan menikamnya berkali-kali (seperti keluar dari PBB, gagasan Nefos dan kampanye melawan Amerika maupun Inggris).
Sikap Presiden Soekarno terlihat jelas dari dialektikanya dengan Mayjen Soeharto mengenai pembubaran PKI sebagai jalan keluar terciptanya stabilitas bangsa. Mayjen Soeharto menyatakan rakyat akan mendukungnya 100% jika Presiden mengambil langkah seperti peristiwa Madiun, dengan membubarkan PKI. Presiden Soekarno menyatakan hal itu tidak mungkin, mengingat ia telah mempromosikan Nasakom sebagai pilar gerakan Non Blok. Mayjen Soeharto kemudian menyediakan dirinya sebagai bamper untuk menghilangkan kom-nya, sementara Presiden Soekarno mendukung dari jauh saja. Dialektika itu membawa pada sesi mengharukan dimana Presiden Soekarno menanyakan hendak diperlakukan seperti apa dirinya nanti. Mayjen Soeharto menjawabnya dengan menyatakan hendak mikul duwur mendem jero (melindungi pimpinan yang dihormatinya itu)[1].
Setelah melihat kesungguhan upaya Mayjen Soeharto, Presiden kemudian “melimbungkan diri” dengan mengambil resiko melawan arus besar tuntutan masyarakat untuk tidak membubarkan PKI, sambil melihat kemampuan Mayjen Soeharto mengendalikan keadaan. Ia tetap membangun komunikasi dengan tokoh-tokoh PKI —dan memberikan harapan bahwa melalui dirinya eksistensi PKI tetap bisa dipertahankan— namun pada saat bersamaan membekali Mayjen Soeharto dengan instrumen legal-formal agar arah perjalanan bangsa memperoleh pijakan baru[2]. Oleh karena itu dalam perspektif ini dapat dimaklumi penolakan Presiden Soekarno terhadap dukungan sejumlah satuan ketentaraan yang bermasud membela dirinya melawan kebijakan Mayjen Soeharto. Tentu saja mind games yang dilancarkan Presiden Soekarno-Mayjen Soeharto tidak bisa mudah ditangkap oleh kalangan pembantu-pembantunya, karena fokus masing-masing pada urusan mikro/teknis. Mereka hanya bisa menjelaskan fakta-fakta mikro dan tidak pada aspek strategi makro kebangsaan.
Begitu pula dengan sikap Mayjen Soeharto yang mendua terhadap eksistensi Presiden. Berdasarkan Ketetapan No. 33 MPRS Presiden Soekarno “dilucuti” dari semua kekuasaan eksekutifnya dan seorang pejabat Presiden diangkat untuk menggantikannya. Selanjutnya diserahkan kepada Presiden baru untuk memutuskan pengambilan tindakan hukum kepada mantan Presiden Soekarno atas tuduhan keterlibatannya dalam G 30 S/PKI. Namun pada malam setelah dilantik MPRS sebagai Pejabat Presiden, Mayjen Soeharto membuat pernyataan mengejutkan melalui TVRI yang menyatakan bahwa untuk sementara waktu menganggap Soekarno sebagai Presiden, walaupun tanpa memiliki kekuasaan eksekutif sama sekali. Ia beralasan bahwa berdasarkan kesaksian tim dokter di bawah sumpah, kesehatan mantan Presiden Soekarno sedang memburuk. Ia meminta pengertian rakyat untuk membiarkan dirinya memperlakukan Soekarno sebagai Presiden[3].
Sayangnya, perspektif makro relasi Soekarno-Soeharto kurang memperoleh pencermatan, sehingga keduanya sering dijadikan komoditas untuk tujuan pragmatis-politis. Presiden Soeharto dituding tidak memperlakukan mantan Presiden Seokarno secara baik dan bahkan membuatnya menderita setelah tidak lagi menjabat sebagai Presiden. Tuduhan itu menyangkut aspek-aspek mikro seperti pemindahan mantan Presiden Soekarno dari Istana Bogor ke Wisma Yaso, pengasingan dari kolega-kolega terdekat dan pengingkaran wasiat tempat peristirahatan sewaktu meninggal. Tudingan itu dimanfaatkan untuk menyudutkan Presiden Soeharto sekaligus menarik simpati pendukung mantan Presiden Soekarno agar dapat dimobilisasi sebagai pendukung agenda politiknya.
Pemindahan mantan Presiden Soekarno dari Istana Bogor ke Wisma Yaso merupakan tindakan logis, mengingat konstruksi Indonesia merdeka bukan lagi sebuah kerajaan yang menyatukan asset publik dengan pribadi. Istana merupakan asset publik dan bukan milik Presiden Soekarno secara pribadi, sehingga setelah tidak menjabat lagi, dirinya juga harus meninggalkan Istana Bogor. Mengenai pemakaman di Blitar, publik banyak yang tidak paham bahwa Presiden Soeharto dibuat sulit adanya dua surat wasiat Presiden Soekarno yang menyatakan ingin dimakamkan bersama salah satu istrinya. Salah satu istri memiliki satu surat wasiat, sedangkan istri yang lain juga memiliki surat wasiat yang sama. Secara diplomatis Presiden Soeharto kemudian mengarahkan agar Presiden Soekarno dimakamkan di dekat makam ibunya.
Berkaitan dengan sterilisasi terhadap orang-orang atau pembantu terdekatnya lebih banyak dilatarbelakangi alasan keamanan. Peristiwa Halim —dimana Presiden Soekarno menolak mengikuti skenario G 30 S/PKI— dan ketidak sungguhannya mempertahankan status hukum PKI telah membuat kecewa kader-kader PKI. Tidak mustahil koordinasinya dengan negara-negara Blok Timur, khususnya RRC akan mendorong agen-agen komunis untuk melakukan tindakan yang membahayakan jiwa mantan Presiden Soekarno. Sterilisasi dari orang-orang terdekatnya dimaksudkan untuk membentengi dari kemungkinan masuknya ancaman yang dilakukan dengan memanfaatkan orang-orang terdekatnya. Informasi yang diperoleh dari orang-orang terdekat dapat saja menjadi telaah untuk membuat skenario menghabisi mantan Presiden Soekarno. Apabila menengok kebelakang, sakit parahnya Presiden sebelum kudeta juga dimungkinkan karena dikelilingi dokter-dokter yang tidak steril (dokter RRC).
Kelak setelah menjabat sebagai Presiden, Mayjen Soeharto memenuhi janjinya kepada Presiden Soekarno untuk menjaga kelangsungan rekonstruksi peradaban nusantara dengan membangun citra positif Indonesia dalam pentas internasional. Asean dan Gerakan Non Blok dikelola secara konsisten untuk tidak berada dalam kendali Blok Barat maupun Blok Timur. Ia galang konsensus nasional untuk kembali kepada Pancasila dan UUD 1945 serta mengarahkan seluruh rakyat untuk membangun sendi-sendi perekonomian bangsa. Sejak itulah agenda tinggal landas dilancarkan dalam rangka melanjutkan cita-cita berdikari yang gelorakan Presiden Soekarno.
Referensi
[1] Lihat Wejangan Presiden Soeharto kepada para peserta sarasehan pembekalan  bagi calon anggota DPR RI Periode 1997-2002 di Istana negara tanggal 9 agustus 1997, hal 29-31
[2] Mungkin juga untuk mengantisipasi pembalikan Negara-negara Blok Timur jika sewaktu-waktu langkah Mayjen Soeharto   mengalami kegagalan.
[3] Lihat Julius Pour, Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan dan Petualang, (Jakarta: PT. Gramedia, 2010), hlm 345.
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com