Trump “Kalah” di Arena KTT NATO di London

Bagikan artikel ini

The North Atlantic Treaty Organization (NATO) baru saja melaksanakan KTT di London. Selama dua hari pelaksaan KTT, nyiyiran dan cibiran terkait perhelatan tersebut yang menengarai adanya krisis dalam tubuh NATO pun bermunculan. Bahkan Presiden Trump membatalkan Konferensi Pers yang dijadwalkan di akhir KTT. Dalam satu kesempatan selama konferensi itu, Trump ​​mengisyaratkan adanya suasana yang penuh konflik antara dan di antara mitra NATO, bahwa perbedaan pendapat mereka tidak boleh diekspos lebih lanjut melalui acara media.

Pertama-tama, Presiden Prancis Emmanuel Macron pada permulaan Konferensi mendeklarasikan NATO sebagai “otak mati”. Atas pernyataan itu, Trump menyebut Macron sudah bersikap ‘tidak hormat’. Trump lebih banyak mengkritik Macron dan mereka yang menyatakan keraguan tentang pembenaran NATO atas segala sepak terjangnya lebih lanjut.

Bahkan Trump meninggalkan konferense sebelum acara tersebut berakhir. Sebagian mengatakan, kepergiannya sejak dini berkaitan dengan permintaannya kepada anggota NATO Eropa untuk meningkatkan anggaran militer mereka hingga setidaknya 2% dari PDB. Sayang, permintaan Trump ditanggapi dingin dan tidak mendapatkan banyak tepuk tangan dari para peserta konferensi yang hadir.

Sepertinya perhelatan itu menjadi arena pertarungan Trump dan ternyata dia mengalami kekalahan. Belum lagi NATO – dan tentu saja, boneka NATO Trump, Jens Stoltenberg, pemimpin NATO terlama dalam sejarah baru-baru ini (sejak 2014 sampai sekarang).

 

Orang bertanya-tanya, Stoltenberg, seorang politisi karir Norwegia, harus memiliki otak sendiri – mengapa ia berjuang untuk tujuan yang tidak jelas? Dia, Stoltenberg, tahu bahwa Rusia dan Cina bukan musuh barat. Bahwa kedua negara adidaya tersebut dijadikan “musuh” yang sengaja diciptakan oleh Washington, karena imperium AS selalu membutuhkan musuh agar bisa terus menghasut dan menciptakan perang dan konflik, yang ujungnya hanya demi miliaran keuntungannya dari Kompleks Industri Persenjataan-Militer.

Sekaranglah era di mana banyak negara membungkuk ke dunia neo-fasis, yang sebenarnya memberi ancaman dan bahaya bagi terwujudnya perdamaian dunia. Dalam terang neo-fasis, membunuh itu baik selama melayani kepentingan bisnis dan sebenarnya membunuh menjadi bisnis tunggal terbesar di dunia barat saat ini. Lihat bagaimana semuanya digadaikan hanya demi bisnis, alih-alih untuk mensejahterakan warganya.

Bisa Anda bayangkan? NATO telah melembagakan pembunuhan sebagai normal baru. Pernahkah Anda memikirkan hal itu? Lihat saja bagaimana untuk mempertahankan ‘perang abadi melawan teror’ yang menopang ekonomi AS, kita dikondisikan dengan serangan teror ‘palsu’ yang tujuannya terus menghidupkan rasa takut dan tidak aman, selain juga memastikan mengalirnya jual beli persenjataan, yang tentu saja memastikan produksi senjata terus berjalan.

Selain itu, publik juga dipertontonkan dengan adanya aksi pelecehan terhadap polisi dan militer, kebrutalan dan penindasan yang meningkat sampai sebagian msyarakat dunia berada di bawah kendali militer total. Semua itu terjadi secara otomatis dan by-design. Bahkan, orang-orang karena takut dengan bendera palsu yang terus dilancarkan justru malah menjadikan mereka tunduk dan tidak bisa mengelak.Sebaliknya, yang dikutuk malah dijadikan sebagai “algojo” atau “polisi” untuk mengawasi mereka. Maka di situlah kita, warga dunia, akan berakhir.

Lihat saja misalnya kasus pembunuh pisau London Bridge baru-baru ini, seperti kebanyakan pembunuh teroris “acak” lainnya di seluruh dunia, ia tampaknya diketahui oleh polisi, dibebaskan lebih awal karena perilaku yang baik – dan, terlepas dari kenyataan bahwa ia ditundukkan oleh orang-orang yang lewat di jembatan, dibuat tak bergerak di trotoar, karenanya tidak ada bahaya lagi bagi siapa pun, seperti yang ditunjukkan foto, ia terbunuh, ditembak mati oleh polisi. Mengapa? Agar dia tidak bisa bicara dan mengungkapkan motif di balik aksinya tersebut.

Itu terjadi pada hampir semua pembunuh teroris ‘acak’. Mereka dibungkam. Sepertinya tidak ada yang bertanya-tanya mengapa? Mengapa mereka tidak ditahan, diinterogasi dan diadili sebagaimana mestinya di ‘negara hukum’. Itulah sedikit potret bagaimana barat juga turut andi dalam “drama” perang melawan terorisme.

Sudarto Murtaufiq, peneliti senior Global Futute Institute

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com