Keliru Kalau Pertentangan Sunni-Syiah Dibawa ke Indonesia

Bagikan artikel ini

Tim Redaksi The Global Review

Pengamat politik Otjih Sewandarijatun berpendapat, Kebijaksanaan Pemerintah untuk merelokasi masyarakat pemeluk Syiah di Sampang Madura agar mereka bisa hidup normal, meskipun merupakan kelompok minoritas, bukanlah berarti Pemerintah mendukung aliran Syiah berkembang di Indonesia. Mereka memang tidak boleh dimusuhi karena meskipun berbeda penafsiran  tentang beberapa ritual dalam ibadah dan tradisi, tetapi mereka adalah pemeluk agama Islam seperti diajarkan Nabi Muhammad dan dianut oleh kelompok Sunni.

Bahkan ada yang mengatakan tidak ada alasan   golongan Sunni memusuhi golongan Syiah, karena kedua-duanya sama pemeluk agama Islam seperti diajarkan Nabi Muhammad. Pemerintah tidak ingin melakukan intervensi terhadap tafsir agama Islam yang muncul khususnya dengan adanya golongan Sunni dengan golongan Syiah, tetapi sebagai akibat pengelompokan tersebut memunculkan masalah mayoritas dan minoritas, maka Pemerintah merasa berkewajiban mengatur keberadaannya sebagai WNI.

Lebih lanjut kata Otjih Sewandarijatun,  ada dugaan pertentangan antara Syiah dengan kelompok Sunni di Indonesia yang berkembang saat ini hanyalah pengaruh situasi di negara lain misalnya Irak dan Iran, yang sebenarnya tidak murni karena berbeda aliran dalam menjalankan Islam, tetapi ada faktor suku dan kedaerahan terlibat didalamnya.

“Sedangkan di Indonesia masalah ras dan suku bukan permasalahan hidup bersama di wilayah RI. Oleh karenanya jelas keliru kalau ekspresi pertentangan antara golongan Sunni dan Syiah dibawa ke Indonesia,” tambah pengamat lulusan Universitas Udayana Bali ini.

Oleh sebab itu, urai Otjih, Pemerintah yang diwakili Kementerian Agama yang dikelola oleh golongan mayoritas non Syiah (Sunni) mempunyai sikap menolerir golongan minoritas Syiah untuh hidup normal sebagai manusia dalam lingkungan WNI, dan memberikan penyuluhan bahwa Sunni dan Syiah adalah sama secara garis besar dan  tidak ada hal-hal yang secara prinsipil dipertentangkan.

Menurutnya, sikap inilah yang dilapangan ada kemungkinan mengalami distorsi melarang masyarakat Syiah melaksanakan kepercayaannya dan memaksa mereka melakukan kepercayaan agama Islam seperti aliran Sunni.

Sebelumnya, Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto mengatakan, pemerintah pusat tidak pernah memerintahkan jajaran pemerintah Sampang, Madura, Jawa Timur, untuk memaksakan keyakinan terhadap warga Syiah di Sampang. Djoko menyarankan warga Syiah menolak jika ada pemaksaan keyakinan.

Menanggapi pernyataan Menko Polhukam ini, pengamat politik lainnya, Datuak Alat Tjumano menyatakan, pernyataan tersebut meskipun benar tetapi berlebihan, sehingga dikhawatirkan bisa menjadi benih untuk terjadinya kembali pertentangan antara golongan Sunni dengan kelompok minoritas Syiah di Sampang, karena seolah-olah Pemerintah  melakukan intervensi terhadap masalah Sunni dan Syiah, sedangkan sebenarnya yang dilindungi pemerintah adalah harkat mereka sebagai manusia.

“Pemerintah tidak mempuyai kepentingan untuk melarang atau memaksa sekelompok masyarakat menganut Syiah atau Sunni. Keduanya mempunyai kedaulatan masing-masing dalam hal keagamannya, tanpa ikut campur Pemerintah, tetapi Pemerintah mengatur lokasi dimana bisa hidup sebagai WNI,” urai pengamat dari Padang, Sumatera Barat ini.

Datuak mengingatkan bahwa relokasi kelompok Syiah di Sampang merupakan realisasi hasil kunjungan kerja Presiden SBY ke Jawa Timur awal Agustus 2013),  yang pelaksanaannya diserahkan kepada Menko Polhukam dan Menko Kesra dibantu Menteri-Menteri terkait.

“Sehingga karena status ini, Menko Polhukam Djoko Suyanto memberikan petunjuk-petunjuknya melalui pendapatnya yang dimuat media massa pada 14 Agustus 2013 yang lalu,” urai pengamat Lembaga Analisa Politik dan Demokrasi ini.

Research Associate Global Future Institute M Arief Pranoto mengingatkan bahwa relokasi warga Syiah dari Jawa Timur, harus dipandang sebagai rangkaian dari skenario asing yang menggulirkan isu pertentangan Sunni-Syiah, lalu kemudian dikembangkan menjadi satu tema yaitu: Relokasi Warga Syiah.

“Saya yakin dengan melakukan serangkaian studi dan kajian sebelumnya, bahwa setiap pola konflik seperti ini muncul, bisa dipastikan ada kandungan sumber daya alam yang melimpah di daerah yang dilanda konflik tersebut. Baik konflik antar aliran di dalam Islam, atau konflik antar suku seperti beberapa waktu lalu terjadi antara warga Lampung dan warga asal Bali.”
Masuk akal. Karena tak lama kemudian, warga Bali pun direlokasi.

Jadi memang benarlah kesimpulan dari seluruh diskusi ini. Betapa konflik Sunni-Syiah di Indonesia itu sejatinya tidak murni persoalan perbedaan antar aliran di dalam Islam. Karena secara prinsip sama.

Yang harus jadi kewaspadaan semua elemen bangsa dengan belajar dari kasus Sampang-Madura, ternyata perseteruan Sunny-Syiah pun berpotensi juga untuk melibatkan faktor suku dan rasa kedaerahan dalam konflik semacam ini.

Seperti saran M Arief Pranoto dan Global Future Institute pada umumnya, jangan terpancing untuk sekadar mengatasi dan menangani masalah di sektor hilir, namun kenalilah akar soal dengan mengenali masalah di sektor hulu. (TGR)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com