Mencermati dualisme (kepemimpinan) yang dianggap sebagai biang kekisruhan di Batam, memang cukup relevan terkait berkurangnya dinamika sosial, budaya, pariwisata dan berimplikasi atas (turunnya) pertumbuhan ekonomi di sana, kendati tidak menutup kemungkinan terdapat faktor-faktor lain.
Secara konsekuensi, dualisme di atas berimpact adanya hal-hal “serba dua” baik kewenangan, tata ruang, perizinan, aset, dan lain-lain.
Bergulirnya “isu ex officio,” dimana Kepala Badan Pengelola (BP) Batam akan dirangkap oleh Wali Kota Batam cukup mengusik beberapa elit politik dan stakeholders.
Tak kurang, Firman Soebagyo, anggota Komisi II DPR RI menyebut, bahwa keputusan pemerintah bepotensi menabrak sejumlah aturan, antara lain UU 17/2003 tentang Keuangan Negara, UU 1/2004 tentang Perbendaraan Negara, UU 23/2014 tentang Pemerintah Daerah, dan PP 23/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum.
Sedang poin inti UU yang ditabrak adalah, selain larangan perangkapan jabatan Walikota, juga akan terjadi kerancuan pelaksanaan UU Perbendaharaan dan Pengelolaan Keuangan Negara, dan lain-lain.
Hal ini dinilai berbahaya sebab dikhawatirkan ada penyalahgunaan kewenangan secara sistematis dan terstrukur. KPK pun tampaknya tidak sepakat dengan rencana peleburan kepemimpinan di Batam,
“Wali Kota itu pejabat negara, sehingga Tidak boleh rangkap jabatan dan bertentangan dengan UU” (7/1/19), demikian rilis KPK ketika menerima audensi Ketua Kadin Batam dan dewan pakar Kadin Kepri.
Jika dicermati secara jeli, selama ini, kajian atas kekisruhan dimaksud hanya berputar-putar di atas permukaan. Menyoal aspek hukum, misalnya, atau dari sisi kelembagaan, ataupun perihal kewenangan, dan seterusnya.
Polemik cuma berkisar hal yang tersurat namun abai terhadap hal-hal tersirat di bawah permukaan.
Nah, tulisan ini mencoba membaca kekisruhan BP Batam sisi geopolitik.
Ada asumsi berkembang di dunia (geo) politik, bahwa konflik lokal bagian dari konflik global. Artinya, konflik jenis apapun di daerah dan/atau negara tertentu, bukanlah faktor tunggal yang berdiri sendiri, tetapi merupakan seting dari kepentingan-kepentingan para adidaya atau permainan geopolitik global.
Apalagi wilayah konflik tersebut tergolong “jalur basah”. Disinyalir ada invisible hands meremot dari kejauhan.
Demikian juga isu dualisme dan konflik di Batam, diyakini tak boleh lepas dari asumsi di atas yakni bagian dari skenario konflik global antar-adidaya terkait kepentingan mereka. Mengapa demikian, jika menelusuri sisi sejarah Otorita Batam —embrio BP Batam— ia adalah perwujudan mimpi BJ Habibie agar Batam mampu menjadi kompetitor (pelabuhan) Singapura.
Tentu saja, cita-cita Habibie merupakan mimpi buruk bagi Lee Kuan Yeuw, PM Singapura saat itu, oleh karena “jantung” hidup dan denyut nadi Singapura sangat tergantung pada jasa pelabuhan.
Skenario yang dikawatirkan Lee, jika Batam bersolek sesuai keinginan pasar, niscaya nafas Singapura bakal tersengal-sengal.
Inilah narasi peperangan geopolitik. Bahwa geliat ekonomi Batam tempo doeloe pernah mencapai 14% dipastikan membuat risau PM Lee. Dan geopolitik menduga kuat, bahwa kejatuhan Habibie karena pidato pertanggung jawabannya ditolak MPR dipastikan ada campur tangan Singapura akibat Lee terusik dengan geliat ekonomi Batam.
Menurut data, penurunan ekonomi Batam dimulai justru sejak berlaku otonomi daerah. Adanya pemerintah kota (Pemkot) Batam mengakibatkan dualisme dan tumpang tindìh di sana-sini.
Kondisi ini yang membuat para investor gerah. Hengkang satu persatu. Betapa kenyamanan, keamanan, koordinasi antar-lembaga, pusat dan daerah, khususnya kepastian hukum dalam berinvestasi –‘akibat dualisme— menjadi terabaikan.
Contohnya, BP Batam memungut uang wajib otorita (UWTO) di satu sisi, sedang Pemkot Batam juga mengutip uang pajak bumi dan bangunan (PBB) di sisi lain. Itu baru satu aspek masih banyak aspek lainnya yang “serba dua” atau double.
Itulah wajah dualisme yang timbul di permukaan. Maka pantas saja bila ekonomi Batam pernah jatuh hingga ke titik nadir (sekitar 1,5%).
Dengan demikian, kepemimpinan dan pengelola BP Batam mutlak harus sosok yang memiliki kapasitas terutama memahami seluk beluk ekonomi makro, fiskal dan moneter, wawasan global serta jaringan internasional, bukan sekedar sosok lokal yang kurang memiliki kapasitas dari partai politik lokal. Selain tak punya kapasitas, bila dijabat orang politik akan sarat kepentingan.
Isu ex officio adalah penurunan derajad kapasitas kepemimpinan yang dipastikan membuat Batam kian terpuruk.
(bersambung ke bagian 2)
M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future institute (GFI)