Telaah Kecil Asymmetric War
Sampailah pada simpulan tulisan ini. Simpulan bukanlah ringkasan, bukan pula abstraksi — tapi penulis menarik benang hikmah atas diskusi-diskusi dan memetik “pointers” pada pembahasan sebelumnya.
Adapun simpulan tersebut antara lain sebagai berikut:
Pertama: UUD 1945 hasil empat kali amandemen (1999 – 2002) disebut “UUD Palsu”, oleh karena menggunakan nama/terminologi yang sama dengan UUD yang lahir pada 18 Agustus 1945, namun isinya jauh berbeda;
Kedua: Muncul beberapa istilah yang mengilustrasikan amandemen dan praktik UUD Palsu di era reformasi, antara lain: 1) konstitusi banci; 2) silent revolution; 3) kudeta konstitusi; 4) pendurhakaan terhadap “founding fathers“: 5) pengkhianatan UUD 1945 dan seterusnya;
Ketiga: Sebagai lembaga tertinggi pemegang kedaulatan rakyat, di era reformasi — MPR berubah menjadi lembaga tinggi setingkat presiden (eksekutif), MA (yudikatif) dan DPR (legislatif);
Keempat: Ada tiga hal prinsip di UUD 1945 asli akhirnya hilang diganti hal baru dan berpotensi membahayakan kedaulatan serta eksistensi NKRI, yaitu:
1. Kedaulatan telah berpindah dari rakyat ke partai politik;
2. Imigran bisa menjadi presiden;
3. Sistem ekonomi menjadi liberal;
Kelima: Hak bicara diubah menjadi hak suara (one man one vote);
Keenam: Praktik UUD Palsu memunculkan kecenderungan bahwa presiden menjalankan politiknya sendiri, bukan melaksanakan mandat politik rakyat (GBHN);
Ketujuh: (Asumsi) Korupsi di Indonesia diciptakan oleh sistem politik;
Kedelapan: Komisi Konstitusi yang berwenang mengkaji ulang praktik UUD 1945 hasil amandemen — dimandulkan. Dan hasil kaji ulang komisi tersebut (pimpinan Prof Sri Sumantri) tidak disampaikan ke publik;
Kesembilan: Mosi Integral Natsir tahun 1950 adalah preseden atas kembalinya bangsa dan negara ini ke UUD 1945 asli, dimana sebelumnya memakai UUD RIS.
Hingga hari ini, masih berkembang anggapan negatif di publik bahwa kembali ke UUD asli yang lahir 18 Agustus 1945 — identik dengan balik lagi ke sistem Orba yang otoriter. Itu persepsi keliru yang mutlak harus diluruskan bersama.
Bahwa praktik konstitusi dimanapun, tidak berlangsung di ruang hampa. Adanya perubahan, penyesuaian dan penyempurnaan (amandemen) itu keniscayaan. Dan ujud amandemen bukanlah dengan cara mengubah naskah asli, tetapi (materi) penyempurnaan diletakkan pada adendum tanpa mengubah teks asli.
Sesuai judul telaah ini, apapun isu amandemen UUD 1945 — entah penyempurnaan ke-5, ke-6, ke-7 dan lain-lain yang bertujuan untuk penyesuaian, penyempurnaan atau menampung aspirasi zaman, itu hal yang lumrah dan sah-sah saja — asalkan tidak mengubah naskah asli. Dan materi amandemen, ujudnya adalah adendum.
Tampaknya, tugas besar dan mulia bagi para anggota MPR masa bhakti 2019-2024 adalah mengembalikan dulu konstitusi republik ini ke UUD yang lahir pada 18 Agustus 1945, setelah itu baru dilakukan penyempurnaan dan penyesuaian (amandemen) sesuai dengan aspirasi dan tuntutan zaman.
Pepatah konfusius menyatakan: “Benih bertumbuh tanpa suara, tetapi sebuah pohon rubuh menimbulkan kebisingan besar. Kehancuran memiliki suara, tetapi penciptaan hanya keheningan. Ini adalah kekuatan diam. Tumbuh diam-diam”.
Merujuk pepatah di atas, sesungguhnya — kudeta konstitusi, pengkhianatan UUD 1945, silent revolution, atau apapun istilah atas pendurhakaan terhadap “founding fathers“, ia berlangsung senyap. Tanpa kegaduhan. Dan itulah kekuatan hening. “Diam-diam”.
Kelak, bila masanya tiba dan segenap bangsa ini terbangun serta tersadar (diri) bahwa selama ini telah jauh tersesat akibat praktik UUD Palsu, maka upaya balik ke “titik nol kilometer” atau kembali ke UUD asli yang lahir 18 Agustus 1945 akan menimbulkan kegaduhan luar biasa. Dan “bunyi”-nya pasti menggelegar laksana pohon tumbang!
M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments