Sukmadji Indro Tjahyono
Dalam rentang sejarah panjang, revolusi telah dicoba diredam sedemikian rupa. Di Inggris hak untuk revolusi dipertukarkan dengan kewajiban membayar ganti rugi bagi rezim yang melakukan penindasan publik dan tindakan inkonstitusional.
Berbagai konstitusi sedikit demi sedikit menggerus hak revolusi berhubung adanya efek mendestabilisasi dan tidak adanya jaminan akan berhasil. Masyarakat moderen kemudian diberi ilusi tentang sistem demokrasi bahwa pemerintah yang sewenang-wenang bisa digulingkan oleh suara terbanyak.
Konstitusi beberapa negara bagian Amerika, Maryland (1776) dan Hampshire (1784), mulai memberi syarat-syarat berat dalam melaksanakan hak revolusi. Beberapa negara bagian lain (Virginia dan Pennsylvania) mengijinkan hak revolusi hanya jika pemerintah sudah dipandang tidak layak dan revolusi merupakan satu-satunya jalan yang paling kondusif.
Dengan demikian seolah-olah ”hak rakyat untuk melalukan perubahan (revolusi)” telah terkandung dalam sistem politik demokrasi. Menurut teori negara moderen, jika ingin mereformasi pemerintahan, masyarakat melalui wakilnya dapat mengubah konstitusi, melakukan pemakzulan (impeachment), menggunakan hukum, dan mempengaruhi media massa.
Hak tradisional untuk melakukan revolusi ditukar secara licik dengan konsep kosong bahwa hak asasi manusia dilindungi oleh hukum. Semua ini hanyalah muslihat busuk karena semua pelaksanaan hak-hak politik sebenarnya sangat ditentukan oleh bidang lain yakni bidang ekonomi.
Konstitusi negara hanya mengatur politik, tetapi sedikit yang berbicara mengenai hak-hak ekonomi rakyat yang harus dijamin oleh sistem yang adil. Padahal pelaksanaan hak-hak ekonomi tersebut dibutuhkan oleh kegiatan rakyat untuk menuntut dan mendesakkan agar hak-hak itu dipenuhi oleh pihak lain (negara).
Kegiatan itu bisa terlaksana jika rakyat memiliki kemampuan ekonomi yang kuat dan secara kolektif didukung oleh kesamaan dalam basis material atau basis ekonominya. Jika tidak, maka yang dapat memperoleh manfaat dari hak tersebut hanya orang-orang kaya yang punya modal (finansial) untuk memperjuangkan hak dan kepentingannya.
Saat ini terbukti bahwa pemerintah tidak bisa dikendalikan dan dijatuhkan oleh suara terbanyak. Yang terjadi adalah justru uang yang menentukan suara terbanyak melalui praktek-praktek politik uang (money politic).
Karena itu jika tidak ada upaya menyamakan basis ekonomi rakyat (affirmative action) misalnya dengan membangun sistem keamanan sosial (social security system) yang memberikan berbagai jaminan social (jaminan kemahalan, jaminan pendidikan, jaminan rumah, jaminan pengangguran, jaminan hari tua, dll), maka rakyat tidak pernah memiliki kekuatan minimal untuk memperjuangkan haknya.
Sebagai kelompok, masyarakat juga harus mendapatkan peluang yang sama dalam usaha, berkarir, dan mencapai peningkatan kesejahteraan. Tidak hanya itu, persaingan usaha dan praktek-praktek berusaha yang adil dan bermoral perlu diwujudkan. Pemerintah seharusnya membangun insentif sosial agar jalan dan pilihan hidup yang benar dan beradab makin menguat.
Apa yang kita lihat saat ini, sejak pemerintahan ini menganut asas neolib, hal-hal yang disebut di atas tidak pernah dilakukan. Demokrasi politik adalah ilusi, dan suara terbanyak hanya dijadikan legitimasi untuk melanjutkan kekuasaan yang korup dan tiranik.
Jika rakyat tidak lagi mampu “menjatuhkan” pemerintahan yang zalim, maka tesis atau pendapat bahwa “revolusi perlu diganti dengan sistem politik demokrasi” dengan sendirinya gagal dan batal. Dalam struktur kekuasaan yang masif dan monolit, ketika modal, militer/polisi, birokrasi, dan sistem keuangan sudah dikonsolidasi untuk mendukung kekuatan jahat yang absolut; maka hanya revolusilah jawabannya.
Tanpa melaksanakan hak atau tugas revolusi dalam kontek hubungan antara rakyat versus negara, maka negara akan menjelma menjadi penindas yang sempurna entah sampai kapan. Karena itu saatnya kembali ke khitah perlunya rakyat memiliki dan melakukan hak atau tugas revolusi kembali sebagaimana konstitusi negara pada awalnya telah mencantumkannya!