Kemungkinan Tertundanya Pemilihan Presiden dan Rapuhnya Koalisi Lintas Partai Melawan SBY

Bagikan artikel ini

Hendrajit

Yang biasa berpikir mapan dan serba terencana nampaknya bakal frustrasi di Indonesia. Karena segalanya tidak sesuai dengan jadwal yang sudah ditetapkan.

Tapi jika ini terjadi dalam penyelenggaraaan pemilu, nampaknya bisa menjadi bahaya besar bagi proses demokrasi di Indonesia. Betapa tidak. Hingga kini penghitungan suara secara manual oleh KPU masih berlangsung. Sedemikian lambatnya proses penghitungan suara tersebut, sehingga  memunculkan spekulasi, jangan-jangan KPU tidak bisa menetapkan hasil penghitungan sesuai deadline.

“Kalau tidak ada hasil penghitungan suara akhir atau penetapan hasil belum final, maka sesuai UU tidak bisa menetapkan capres,” ujar pakar otonomi daerah Ryaas Rasyid kepada wartawan saat keluar dari kediaman JK, Jl Ki Mangun Sarkoro, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (29/4/2009).

Analisis Ryaas Rasyid yang mantan Menteri Otonomi Daerah semasa kepresidenan Abdurrahman Wahid tersebut memang cukup masuk akal juga. Itu sebabnya dalam beberapa minggu belakangan ini, semakin menguat berbagai gelombang protes agar Pemilihan Umum Legislatif sebaiknya diulang saja. Atau ada juga yang mendesak supaya seluruh partai-partai politik, termasuk Golkar dan PDIP, bersepakat memboikot pemilihan presiden. Dengan kata lain, mempersilahkan SBY sebagai incumbent President untuk maju sendirian sebagai calon presiden tanpa ada saingan.

Berbagai elemen masyarakat, termasuk eksponen aktivis 1998 yang dari elemen Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta (FKSMJ), Senin 20 April lalu sempat mendesak dihentikannnya tabulasi penghitungan suara. Mendesak diadakannya pemilu ulang atau boikot pemilihan presiden.

Bahkan lebih jauh lagi, eksponen mahasiswa 1998 mendesak agar selama proses pemilu legislatif maupun pemilihan presiden, SBY dan Jusuf Kalla dinon-aktifkan sebagai presiden dan wakil presiden. Karena dianggap tidak netral.

Dan sebagai konsekwensi dari non-aktifnya presiden dan wakil presiden, triumvirat Menteri Dalam Negeri, Menteri Pertahanaan dan Menteri Luar Negeri.

Dan kecemasan banyak kalangan terhadap lambatnya penghitungan suara KPU, tentu saja semakin memperkuat deligitmasi terhadap penyelenggaraan Pemilu yang menjadi tanggungjawab pemerintahan SBY.

Dan Ryass Rasyid punya pandangan dan analisis yang kian membenarkan penilaian umum masyrakat. Dalam pandangan Ryaas, menurut aturan hukum KPU tidak boleh melanjutkan tahapan-tahapan capres sebelum seluruh proses penghitungan Pemilihan Legislatif selesai.

Hal itu untuk membuat jelas perolehan partai-partai yang ingin mengajukan capres dengan syarat minimal 20 persen suara dan 25 persen kursi. “Kalau dipaksakan juga KPU melanggar UU,” jelas pria yang sekaligus Ketua Umum Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK) ini.

Oleh karenanya, lanjut Ryaas, koalisi yang saat ini kencang dilakukan oleh beberapa parpol bukan lah koalisi yang sifatnya permanen. Namun masih merupakan spekulasi-spekulasi berdasarkan hasil perhitungan cepat (quick count).

“Koalisi hari ini bisa dibilang koalisi yang prematur, kenapa? Karena penghitungannya berdasarkan hasil quick count,” demikian kesimpulan Rasyid.

Menurut UU Pemilu, KPU harus menetapkan hasil Pileg secara nasional paling lambat 30 hari sejak pemungutan suara, artinya tanggal 9 Mei. Namun melihat proses di kabupaten dan provinsi yang cenderung lamban dan terlambat, ada kekhawatiran penetapan hasil nasional juga terlambat.

Skenario Terburuk

Dari kisruh pelaksanaan Pemilihan Legislatif ini, mau tidak mau memicu adanya desakan berbagai elemen masyarakat agar seluruh partai-partai besar maupun kecil menghentikan upaya-upaya menuju koalisi lintas partai.

“Bagi saya ini merupakan suatu paradox. Pada satu sisi partai-partai yang kalah di pemilu legislatif beramai-ramai menghujat dan menolak national quick count yang diselenggarakan berbagai lembaga survey. Namun partai-partai sibuk membangun koalisi atas dasar hasil penghitungan suara quick count,” begitu komentar Giat Wahyudi, wartawan senior dan pemrakarsa Komite Nasional Indonesia (KNI) kepada theglobal-review.com Rabu (29/04).

Namun kenyataannya berbagai partai tetap membangun koalisi lintas partai. Bahkan Golkar, PDIP, Gerindra, Hanura, PPP, kemarin malam bersepakat untuk membangun sebuah koalisi besar. Koalisi besar seperti apa, sayangnya Sekretaris Jenderal Golkar Sumarsono dan Sekretaris Jenderal PDIP Pramono Anung mengelak berkomentar lebih jauh. Apalagi ketika ditanya soal siapa yang disepakati sebagai calon presiden dan wakil presiden.

Ismu Rahardjo, salah seorang yang dekat dengan kalangan dalam PDIP secara sinis menilai gagasan koalisi besar tersebut hanya untuk menutupi gagalnya partai-partai tersebut untuk mencapai suatu kesepakatan strategis.

Ada benarnya juga pandangan seperti itu. Karena terbukti bahwa pertemuan antara Megawati dan Ketua Dewan Pembina Gerindra Prabowo Subianto yang semula akan bertemu Selasa 28 April kemarin, ternyata batal dilakukan.

Ini semakin memperkuat spekulasi bahwa Mega dan Prabowo sama-sama bersikeras untuk tetap menjadi calon presiden. Seperti kata Ismu Rahardjo, sepertinya partai-partai tersebut bersepakat untuk menghadang SBY agar tidak terpilih lagi, tapi mereka tidak tahu bagaimana caranya. Ya, aneh juga memang.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com