Kepemimpinan Di Era Simulakra

Bagikan artikel ini
Telaah Kecil atas Politisasi Kepemimpinan
Semenjak UUD 1945 diamandemen empat kali (1999-2002), maka sejak itu pula tolok ukur dan parameter pemilihan pemimpin —Pilpres contohnya, atau Pilkada, dan lain-lain— termasuk gaya kepemimpinan di Indonesia bergeser serta berubah secara signifikan.
Misalnya, apa?
Bahwa basis integritas, moral, dan intelektualitas yang menjadi prasyarat sebuah kepemimpinan (publik) yang kerap diajarkan di pelbagai pendidikan, lembaga pelatihan, dan kursus-kursus — kendati praktiknya dahulu juga sulit mencari role model kecuali pada segelintir orang/kalangan, semakin ke sini justru jarang dijumpai.
Kepemimpinan efektif tinggal narasi tanpa eksekusi serta nihil implementasi. Ajaran leluhur ing ngarsa sung tulada, ing madya mbangun karsa, tut wuri handayani, apalagi — ia cuma slogan tanpa aplikasi. Hanya ditempel di dinding-dinding sekolahan.
Apa hendak dikata. Akibat perkembangan situasi, parameter di atas telah diganti/berganti dengan tolok popularitas dan ukuran elektabilitas bagi siapapun yang ingin menjadi pemimpin. Asas merit system dan teori kompetensi (skill, knowledge, attitude) hanya ‘omon-omon’ belaka. Tolok ukurnya kini seperti mengerucut pada satu kredo: “Banyak-banyakan suara!”. Tak lebih. Siapa mampu meraih suara signifikan, dia akan ‘jadi’. Apapun caranya. Ini konsekuensi logis.
Pada gilirannya, industri dan praktik pencitraan tumbuh berkembang sebagai ‘peradaban baru’ yang mau tidak mau, suka atau tidak suka mesti diterima publik tanpa kritik.
‘Era Simulakra’-nya Baudrillard yang dulu dianggap utopis, di awang-awang, kini nyata terjadi di Indonesia. Terutama sejak 2004-an, kali pertama digelar Pilpres Langsung (one man one vote). “Orang-orang hidup dalam realitas semu”. Lebih parah lagi, sebagian warga justru tidak mampu membedakan mana realitas, mana citra alias pencitraan. Kenapa? Sebab, “sistem”-nya memang mengajak begitu.
Kalau boleh mengistilahkan —uraian di atas— itulah ‘Politisasi Kepemimpinan’. Ya. Kepemimpinan sebagai ilmu dan seni, tampaknya hanya berkelindan di antara bangku-bangku pendidikan saja.
Jadi, siapapun sosok terpilih menjadi pemimpin (publik) di era simulakra ini, ia tak menggambarkan sosok sebenarnya. Bukan realitas asli. Oleh karena, yang dipilih rakyat hanya citra si kandidat, bukan ideologi, tak pula visi misi. Sekali lagi, kenapa demikian? Itu tadi. Semua akibat ‘sistem politik’ yang sekarang dianut bangsa ini.
Pertanyaan selidik muncul, “Sistem politik mana yang menyebabkan politisasi kepemimpinan?”
Ya. Sumber kegaduhan sudah jelas yaitu UUD NRI 1945 hasil amandemen (1999 – 2002) yang mengubah konstitusi kita menjadi individualis, liberal lagi kapitalistik. Ini bertolak belakang dengan local wisdom leluhur yang penuh toleransi, mengkedepankan musyawarah mufakat, guyub, tepo seliro, dan lainnya.
Lebih mengerucut lagi sebenarnya di Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945. Itu tuk (sumber awal)-nya. Ini adalah pasal tambahan/setelah UUD diamandemen. Artinya, partai politik (Parpol) merupakan pemegang saham satu – satunya di republik ini. Bukan rakyat, bukan pula yang lainnya.
Melalui pasal tadi (6A ayat 2), dan terutama ketika status MPR selaku Lembaga Tertinggi Negara diturunkan menjadi Lembaga Tinggi, maka Kedaulatan Rakyat telah hilang dibajak oleh Parpol. Yang ada sekarang justru Kedaulatan Parpol. Lebih tragis lagi, ‘korea-korea’ di DPR —kata Bambang Pacul, politisi PDI-P— sangat taat lagi bergantung pada Ketua Umum Parpol masing – masing. Kalau mereka tidak patuh, alamat di-recall dan/atau diganti melalui mekanisme PAW. Pergantian antarwaktu.
Betapa miris. Nasib 270-an juta warga hanya dikendalikan oleh 9 Ketua Parpol. Segelintir elit politik. Dan konon katanya, mereka juga ‘bersinergi’ dengan 9 Naga dkk. Inilah yang menurut Jeffry Winters disebut dengan istilah oligarki. Entah oligarki politik ataupun oligarki ekonomi.
Bagaimana cara mitigasi kegaduhan berkala setiap lima tahunan, dan mencegah terulangnya politisasi kepemimpinan di Pilpres 2029 mendatang?
Kunci jawabannya ialah: 1) kembalikan Kedaulatan Rakyat ke tangan rakyat; 2) MPR kembali menjadi Lembaga Tertinggi Negara; 3) bangkitkan dan berdayakan Utusan Daerah dan Utusan Golongan di MPR secara bottom up process/dari bawah. Bukan ditunjuk oleh Presiden; 4) DPR diisi dari perwakilan perorangan, tidak melulu keterwakilan Parpol saja; 5) kembali ke UUD 1945 Naskah Asli melalui ‘teknik adendum’. Artinya, hal-hal yang dinilai baik dari hasil amandemen (1999-2002) tetap dipertahankan, bahkan dikuatkan dan disempurnakan, namun diletak pada lampiran/adendum. Sehingga Naskah Asli UUD 1945 rumusan the Founding Fathers tetap utuh/orisinal; dan 6) Pilpres digelar di MPR selaku Lembaga Tertinggi Negara.
Demikian adanya, demikian sebaiknya.
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com