Mewadahi Keragaman Minat Penting Untuk Tumbuhnya Kreativitas dan Inovasi

Bagikan artikel ini

Dalam urusan baca buku, saya ini termasuk yang tidak tertib, serabutan. Lagi baca buku A, baru baca bab 4 dari keseluruhan 6 bab, sontak lihat ada buku baru yang menarik, buku yang lagi dibaca ditinggal dulu

Pas lagi baca ulang novel lama karya Henryk Sienkiewick bertajuk Quo Vadis, ihwal kekacauan politik Romawi jelang lengsernya Kaisar Nero, seperti keseret arus untuk berlabuh pada sebuah buku yang tiba saja menarik hati dari judulnya. The Range atau Keragaman, karya David Epstein. Mulanya tertarik karena rada confused sama David Epter, pakar politik yang bukunya termasuk wajib baca semasa kuliah dulu.

Namun pas baca riwayat singkat David Epstein, sang penulis buku, persis pesan utama dan spirit dari isi bukunya ini. Bahwa seringkali gonta ganti karir atau profesi, kalau kita selami lebih dalam, nggak selalu berarti hal yang negatif. Karena seringkali isyarat agar lebih giat dan mendalam lagi menggali bakat dirimu yang sesungguhnya. Dan begitu ketemu yang pas, karirmu bukan saja melesat, bahkan benar-benar sesuai dengan kepribadian dirimu sendiri.

Epstein sendiri mulanya kerja sebagai pegawai profesional pada sebuah perusahaan, tiba-tiba nggak betah, banting setir jadi wartawan investigasi, lantas menekuni isu lingkungan hidup.

Namun pada perkembangannya, mungkin awalnya didorong oleh wataknya sebagai wartawan investigasi dan terbiasa menelisik profil para tokoh sukses di berbagai bidang untuk tulisan feature-nya, kemudian secara jeli menaruh minat pada bidang yang banyak kalangan psikologi pun kerap menganggap bukan hal penting.

Pertama, orang-orang yang kelak jadi tokoh sukses dalam karir maupun bidang keahlian yang digelutinya mulai dari olahraga, kesenian, ilmu pengetahuan sampai ke dunia politik, memang orang-orang yang pada akhirnya berlabuh pada pengkhususan bidang. Namun uniknya, yang sebelum berlabuh pada pengkhususan bidang tersebut, seringkali melakukan apa yang diistilahkan Epstein, proses pencicipan.

Artinya, sebelum memantapkan dirinya pada pengkhususan bidang, dia menjalani dan mengalami dulu keragaman bidang. Singkat cerita, Epstein mau bilang bahwa orang yang sukses adalah seorang spesialis namun didukung wawasan dan pengalaman seorang generalis. Orang yang menguasai dan kompeten pada bidang khusus, namun menguasa keragaman bidang sebagai latar dan alasnya.

Dan orang model gini, tulis Epstein lebih lanjut, seringkali sejarah mengenangnya bukan sekadar ahli, melainkan seorang pencipta hal-hal baru di berbagai bidang.

Dalam dunia musik jazz, misalnya, di era jadul dulu terkenal dua musisi terkenal. Duke Ellington dan Jango Reinhard. Keduanya jarang yang pada tahu kalau mereka berdua nggak pernah bisa baca note balok, nggak pernah les musik. Namun Duke Ellington meski kelak terkenal sebagai pianis maut dalam dunia jazz, sebelum piano sempat mencicipi main gitar, biola bahkan banyo dan klarnet.

Leonardo da Vinci kalau nggak tahu latarbelakang hidupnya bisa-bisa jadi bingung, dia ini sebenarnya seniman atau ilmuwan sih, karena melukis bisa, merancang arsitektural bangunan bisa, malah ada yang bilang sempat mengimanjinasikan bikin pesawat terbang. Hanya saja, pada akhirnya, Davinci memilih pengkhususan bidang sebagai seniman lukis.

Sayangnya, kritik Epstein tentang sistem pendidikan di Amerika pun, rupanya sama sebangun dengan kritik saya pada sistem pendidikan dan persekolahan kita saat ini. Guru cuma memberi aturan ini dan itu dalam pengajarannya. Padahal dalam jangka panjang Epstein berkeyakinan yang dibutuhkan siswa pembelajar bukan aturan dalam belajar, tapi bagaimana caranya belajar dan caranya berpikir.

Tentu saja ini hanya salah satu contoh dari sekian banyak sosok yang sang penulis paparkan sebagai pembuktian tesis utama bukunya.

Pesan sentral Epstein yang kedua, juga tidak kalah penting. Meski tersirat, sang penulis mau bilang jangan kecil hati apalagi rendah diri, kalau dirimu sontak merasa kok perkembangan karir saya lambat, sementara mantan teman kosannya zaman kuliah dulu, sekarang sudah jadi ini dan jadi itu. Sebab bisa jadi, kodrat dirimu yang sejatinya harus jadi spesialis yang ditopang oleh keragaman bidang dan keahlian, kebetulan saja belum menemukan formatnya yang pas. Dengan kata lain, kalau minjam istilah guru ngaji saya, belum menemukan maqom-nya.

Sebab begitu hal itu kamu ketemukan, karirmu bukan saja melesat lagi, bahkan teman-teman seangkatanmu yang sudah duluan sukses itu, malah terkesan biasa-biasa saja.

Dalam kaitan untuk memperkuat pandangannya, Epstein cerita tentang Mark Zuckerberg. Juragannya Facebook yang kita semua sekarang berteman ini. Mark yang pada waktu itu berusia 22 tahun dan sudah melegenda, cenderung memilih calon-calon CEO perusahaan-perusahaan rintinsan baru, yang usianya antara 45-50 tahun lebih.

Menurut Zuckerberg, dia nggak terlalu yakin eksekutif-eksekutif muda usia 30-an tahun punya gagasan-gagasan dan pikiran-pikiran terobosan, namun dia yakin yang usiannya 45-50 tahunan besar kemungkinan punya gagasan-gagsan brilian dan out of the box. Tentu saja keyakinan Zuckerberg dengan bertumpu pada anggapan bahwa orang-orang yang berusia 45-50-an itu orang-orang yang Epstein sebut telah mampu menemukan karir dan keahlian yang pas dan cocok dengan kepribadiannya.

Sebab orang-orang yang masuk kategori gambaran dari Epstein maupun Zuckerberg tadi, biasanya orang-orang yang tidak diperbudak oleh pengkhususan bidang lingkup keahliannya saja. Melainkan membuka diri terhadap keragaman bidang dan keahlian lainnya.

Ketika merenungkan aspek kedua ini, saya jadi ingat Adolf Hitler, yang kelak jadi pemimpin nomor satu Jerman pada Perang Dunia II. Sewaktu lulus SMA, dia membangkang arahan ayahnya untuk jadi pegawai PNS. Ekstremnya dia bilang, lebih baik gue miskin dan kelaparan daripada jadi PNS.

Tapi rupanya kelak bukan soal PNS-nya itu yang dia nggak sreg, tapi di bawah sadarnya dia nggak mau kerja bidang yang dia tidak suka, kalau hanya buat nyari uang saja.

Setelah dia pindah ke Wina Austria, dan mencoba jadi pelukis tapi gagal, dia mending luntang lantung daripada kerja kasar. Lagi-lagi di sini dia berpikir kayak waktu masih di Bavaria dulu. Pikirnya waktu itu, kalau cuma kerja di restoran, kerja jadi kuli bangunan, sebenarnya bisa saja, dan pasti dapat duit. Tapi nyatanya dia mending makan sekali sehari, kadang-kadang, cuma minum air atau sekerat roti, daripada kerja-kerja yang menurutnya nggak merasa sreg.

Hitler tentu saja sebuah contoh ekstrem yang tidak patut ditiru, namun ini sebuah gambaran orang yang mencari apa bidang dan karir yang pas untuk berlabuh. Boleh jadi karena tekad dan keinginannya yang kuat seperti itu, akhirnya Hitler menemukan formatnya yang pas.

Saat meletusnya perang dunia I, Hitler masuk ketentaraan. Begitu perang berakhir, dinas ketentaraan berlanjut ke tugas-tugas nir-militer. Antara lain mematai-matainya partai-partai yang dipandang pemerintah Jerman berpotensi revolusioner. Akhirnya, saat mematai-matai partai, para kader partai malah ngajak dia ikut gabung ke partainya.

Dan di tangan Hitler, yang sejak zaman miskin gila baca buku aneka macam bidang mulai dari sejarah, biografi, sampai yang berat-berat macam filsafat, akhirnya bukan saja menjadi pemimpin penting di jajaran pengurus partai. Bahkan berhasil membesarkan partai yang semula partai gurem jadi partai besar, seperti yang kelak kita kenal dengan nama NAZI.

Hitler lepas dari reputasi buruknya sebagai pemimpin fasisme Jerman, merupakan satu diantara contoh keberhasilan seorang spesialis yang berwawasan keragaman bidang dan keahlian. Kebetulan maqom yang kebetulan dia temukan dan pas buat kepribadianya adalah sebagai Politisi.

Ketiga, berpikirlah di luar pengalaman. Sebab seringkali pengalaman berulang yang dialami para spesialis yang semata bertumpu pada pengkhususan bidang, sama sekali tidak membantu saat skenario tidak sesuai rancangan awal. Atau ketika menghadapi situasi atau masalah yang tidak sesuai dengan aturan yang melekat pada bidang khusus yang dia pelajari dulu.

Rasanya buku ini bukan saja patut dibaca oleh kalangan milenial yang sebentar lagi lulus kuliah dan mengejar karir, bahkan cocok buat para pensiunan baik sipil, militer maupun polisi, yang di masa pensiunnya, berkeinginan menempuh karirnya yang berikutnya. Atau mencari pengkhususan bidang baru untuk berlabuh.

Hendrajit, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com