Betapa seiring dengan perkembangan ekonomi Cina yang cukup pesat akhir-akhir ini, ada kekhawatiran bahwa postur pertahanan dan angkatan bersenjata Cina pun akan semakin canggih baik dari segi jumlah personil maupun peralatan militer.
Inilah sisi menarik yang bisa menjelaskan latarbelakang mengapa Angkatan Laut Amerika memantai secara cermat perkembangan dan gerak-gerak Angkatan Bersenjatan Cina., khususnya Angkatan Luat Cina di kawasan Laut Cina Selatan baru-baru ini. Betapa Amerika sangat khawatir dengan perkembangan pesat Angkatan Bersenjata Cina seiring dengan perkembangan ekonomi negara naga merah tersebut.
RRC boleh jadi memang sebuah model success story di Asia dari sebuah negara yang berhasil bangkit dari keterpurukan. Sekadar gambaran sekilas mengenai kekuatan ekonomi Cina, bisa dilihat dari anggaran pertahanan yang dikeluarkan pemerintah Cina. Pada awal 2006 misalnya, menurut informasi Cina telah mengeluarkan anggaran sebesar 35 miliar dollar Amerika atau sekitar Rp 560 triliun yang dialokasikan untuk membangun angkatan bersenjatanya.
Jelas ini merupakan salah satu indikasi yang membuktikan bahwa pertumbuhan ekonomi yang sekarang ini berkisar antara 9 sampai 11 persen, ternyata bukan isapan jempol belaka. Dan sekaligus merupakan bukti nyata bahwa pemerintah Cina telah berhasil menyejahterakan penduduknya yang satu miliar lebih.
Bukan itu saja. Menurut catatan, dengan pertumbuhan ekonomi Cina sekitar 11 persen terakhir, pemerintah Cina berhasil mengentaskan kemiskinan sekitar 200 juta penduduknya. Lagi-lagi, ini bukan sekadar isapan jempol belaka. Pada 2004, pendapatan per kapita penduduk Cina adalah 1290 dollar Amerika.
Membaca Ulang Samuel Huntington
Masih ingat buku karya Samuel Huntington bertajuk the Clash of Civilization? Ada yang menarik dalam buku tersebut berkaitan dengan kebangkitan Cina. Bahwa pada tahun 2010 mendatang, akan pecah perang terbuka antara Amerika versus Cina yang dipicu oleh serbuan Cina ke Vietnam.
Yang menarik dari skenario tersebut, Cina akan menjalin persekutuan strategis dengan negara-negara Islam seperti Saudi Arabia, Iran, dan Pakistan. Sedangkan Amerika seperti biasa akan bersekutu dengan negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa.
Bahkan dalam prediksi Huntington, Jepang yang selama ini bersekutu secara politik dan militer dengan Amerika, dalam perang bersenjata antara Amerika versus Cina tersebut, akan mengambil sikap netral yang tentunya akan menguntungkan Cina daripada Amerika.
Bagaimana dengan Indonesia? Nah di sini prediksi dan skenario yang dibayangkan Huntington ternyata cukup memberi prospek bagi Indonesia. Betapa tidak. Dalam perang antara Cina versus Amerika itu, akan muncul tiga negara sebagai the new emerging giant yaitu Indonesia, India dan Australia.
Karena itu, terlepas tepat tidaknya prediksi Huntingrton, kebangkitan Cina yang mencemaskan Amerika dan negara-negara Uni Eropa baik dari segi Ekonomi dan militer, kiranya Indonesia berkepentingan untuk memonitor secara intensif perkembangan situasi kebangkitan Cina, termasuk kemungkinan yang akan mejurus pada konflik militer AS-Cina.
Benarkan kebangkitan Cina memang layak dikhawatirkan banyak pihak? Semua pakar dan analis politik internasional memang bisa berbeda pendapat dalam soal ini. Tapi marilah kita mengutip Samuel Huntington dalam bukunya di halaman 314:
As China scores military succcess, Japan nervoulsy begins to bandwagon with China, shfting its position from formal neutrality to pro Chinese positive neutrality and then yielding to China’s demands and becoming a cobelligerent. Japanese forces occupy the remaining US bases in Japan and the US hastily evacuates its troops.”
Boleh jadi prediksi Huntington memang didasari oleh fantasi ketakutan dan paranoia daripada sebuah prediksi berdasar risk assessment analysis yang jernih dan dingin. Namun yang tersirat dari prediksi Huntington ini yang menarik. Bahwa ada semacam ketakutan alam bawah sadar yang tertanam di kalangan warga masyarakat Amerika, yang pada perkembangannya kemudian dijadikan dalih dan pembenaran bagi kelompok neo-konservatif di Amerika untuk menekankan perlunya kebijakan politik luar negeri Amerika yang berorientasi ekspansif dan agresif secara militer seperti yang dengan jelas diperagakan oleh mantan Presiden George w. Bush selama 8 tahun terakhir ini.
Entah karena memang terpengaruh oleh kekhawatiran akan adanya kebangkitan Cina yang bakal mengancam keberadaan Amerika sebagai negara adidaya atau memang sekadar memanfaatkan pemikiran dan prediksi Huntington untuk memperkuat Kompleks Industri Militer dari berbagai korporasi raksasa Amerika di bidang industri strategis pertahanan, nyatanya Tim Kepresidenan Amerika pada tahun 2002 kemudian merumuskan The National Security Strategy of the United States of America.
Doktrin Bush ini pada pokoknya memperingatkan tentang adanya bahaya dari Cina sebagai rival potensial Amerika di masa depan. “We are attentive to the possible renewal of old patterns of great power competition. Several great powers are now in the midst of internal transition—most importantly Russia, India and China. Begitu menurut doktrin yang terumuskan dalam strategi keamanan nasional Amerika yang disusun Tim Kepresidenan tersebut.
Posisi Strategis Indonesia
Bagaimana Indonesia menyikapi perkembangan situasi global seperti tersebut di atas? Sayangnya para calon presiden Indonesia 2009-2014 tak satupun yang memiliki blue print(Cetak Biru) yang jelas untuk mengantisipasi hal tersebut. Bahkan dalam menjabarkan dan mengaktualisasikan politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif menurut dinamika perkembangan global akhir-akhir ini, pun tidak ada yang mengagendakan isu tersebut secara serius dan mendalam.
Padahal Cina maupun Amerika secara khusus telah menempatkan Indonesia dalam prioritas politik luar negeri mereka. Cina di awal 2009 lalu, telah mencanangkan Indonesia masuk dalam kategori teratas dalam hubungan bilateral Cina-Indonesia. Artinya, Indonesia menjadi prioritas dan mendapat hak-hak istimewa dalam politik luar negeri Cina di tahun 2009 ini.
Tentu saja ini karena posisi strategis Indonesia secara geopolitik maupun geostrategis di kawasan Asia Tenggara pada khususnya dan Asia Pasifik pada umumnya.
Pada sisi lain, kunjungan Menteri Luar Negeri Amerika Hilary Clinton ke luar negeri, Indonesia menjadi negara kedua yang dikunjungi setelah Jepang. Berarti, Indonesia masih lebih mendapat prioritas tinggi dibandingkan Cina dan Korea Selatan.
Terlepas kedua negara adidaya tersebut memandang Indonesia sebagai sekutu strategis karena didorong oleh kekhawatiran terhadap prediksi Huntington atau tidak, namun Indonesia sudah seharusnya memandang perkembangan global ini secara aktif. Karena situasi yang kian menegang antara Amerika versus Cina, sebenarnya membuat harga tawar Indonesia di hadapan Cina dan Amerika menjadi sangat tinggi.
Maka dari itu, sudah saatnya isu kebangkitan Cina dibahas secara lebih intensif dan mendalam oleh seluruh kelompok-kelompok potensi bangsa tidak saja dari kalangan birokrasi pemerintahan, tapi juga kalangan masyarakat secara lebih luas. Selain daripada itu, masih terkait dengan isu kebangkitan Cina, kiranya penting juga untuk membahas secara khusus peran dari the Overseas China di kawasan Asia Pasifik, khususnya Asia Tenggara.
Dari berbagai telaah yang kami lakukan terhadap berbagai literatur maupun karya tulis yang membuat simulasi terjadinya perang Cina-AS, ternyata faktor keberadaan the Chinese Overseas, khususnya kelompok pengusaha Cina yang berskala raksasasa di Asia Pasifik, ternyata dipandang sebagaI faktor ancaman yang bisa menghambat dukungan politik dan militer dari negara-negara di Asia Tenggara. Filipina, Thailand dan Indonesia, yang 60 persen aset ekonominya dikuasai Cina, dalam berbagai simulasi para pakar dan wartawan senior di negara-negara barat, diprediksi akan menyulitkan Amerika dan Uni Eropa dalam menggalang persekutuan dengan negara tersebut.
Benar tidaknya prediksi tersebut, adalah soal lain. Namun hal ini mengisyaratkan betapa pentingnya membahas isu Overseas China, khususnya yang bergerak dalam bidang ekonomi dan bisnis.
Perlu Rumuskan Beberapa Agenda Strategis
Secara umum para stakeholders atau pemangku kepentingan dalam bidang politik luar negeri RI perlu berkumpul dan berdialog bersama merumuskan beberapa agenda strategis sebagai berikut :
- Mendapatkan gambaran yang sejelas-jelasnya mengenai posisi dan peran strategis yang bisa dimainkan Indonesia dalam menghadapi skenario global 2010.
- Memetakan masa depan global dengan mengidentifikasikan baik rencana strategis maupun scenario building yang disusun oleh negara-negara adidaya menjelang 2010, sehingga Indonesia sedini mungkin bisa mengenali keunggulan dan kelemahan dirinya sebagai salah satu pemain potensial dalam persaingan global mendatang.
- Menyosialisasikan isu-isu strategis berskala internasional sehingga masyarakat Indonesia mempunyai gambaran yang jelas mengenai konstalasi berbagai kekuatan berskala global baik berupa negara-bangsa maupun aktor-aktor non-negara.
- Mengidentifikasi dan menghimpun seluruh sumberdaya nasional untuk memberdayakan politik luar negeri kita.
Penulis adalah Direktur Eksekutif Global Future Institute dan Pakar Politik Internasional.