Ketika Jurnalistik Kian Tertepikan

Bagikan artikel ini

M Djoko Yuwono, Redaktur Senior Grup Pos Kota

(Tulisan ini merupakan materi yang disampaikan oleh Penulis pada Seminar Terbatas GFI dengan tema: Prospek Media Massa Nasional 2015: Peluang dan Hambatan pada Kamis, 28 Agustus 2014 di Jakarta)

Dunia kini semakin dihadapkan pada pergeseran nilai-nilai dari modern ke posmodernisme (posmo). Diduga ini terjadi akibat modernisme yang hanya membangun infrastruktur dan berproduksi, gagal menjawab sejumlah persoalan seperti kesenjangan sosial, ekonomi, politik, lingkungan hidup, dan sebagainya.

Robert Dunn (1993) menandai adanya pergeseran yang menyertai budaya massal di era posmo, yaitu dari produksi ke konsumsi; dari pencipta ke penerima, dari karya ke teks, dari seniman ke penikmat. Jurang pemisah antara penulis dan pembaca semakin ciut dan kini telah hilang karena mereka sudah setara, seiring dengan semakin meningkatnya kadar intelektual masyarakat. Semua orang adalah penulis, semua orang adalah pemain sebuah orkestrasi yang disebut masyarakat posmodernisme.

Dengan demikian, posmo menolak makna tunggal lantas menerima makna sementara. Dunia adalah sebuah ruang kosong yang akan diisi terus-menerus oleh pembaca. Kalau modernisme menganggap fakta bersifat riil yang diatur oleh kaidah tertentu yang bersifat universal, posmo menganggap fakta merupakan konstruksi atas realitas. Dengan demikian, era posmo adalah era perubahan dari keseriusan dan intelektualitas ke nilai-nilai permainan, populer; dari kedalaman ke kulit, dari universal ke partikular, dari persoalan hulu ke persoalan hilir.

Dari sisi itu pulalah kita akan bisa membaca kecenderungan pemberitaan media massa dewasa ini. Pendangkalan informasi bisa kita lihat sebagai kecenderungan umum yang dilakukan oleh media massa. Pemilihan berita-beritanya dilakukan atas pertimbangan mengganggu kepentingan pemilik modal atau tidak, sesuai kebutuhan pasar atau tidak.

Kekuatan media massa yang sejak abad ke-19 telah terbukti mampu mendikte audience-nya, dilihat oleh para pemilik modal sebagai kekuatan yang bisa mereka manfaatkan untuk kepentingan mereka. Di tengah iklim seperti itu, profesionalitas awak media diterjemahkan dalam pengertian profesionalitas yang berorientasi pada pemasukan uang. Ideologi jurnalisme yang netral, objektif, dan bersih dari opini semakin dipertanyakan, bergeser ke narasi-narasi kecil yang menyuarakan kepentingan kontemporer atas kendali pasar.
Di Indonesia, wartawan sebagai awak media yang menurut sejarahnya merupakan orang yang terlibat dalam perjuangan sejak era kolonial, dalam era revolusi fisik ikut menegakkan kemerdekaan bangsa ini, mengalami proses panjang dengan mimpi-mimpi buruknya untuk bisa menggunakan hak kebebasannya sebagai penyambung lidah rakyat, kini terjebak dalam situasi di luar jalur sejarahnya itu.

Kebebasan pers yang kini telah dinikmati tidak diorientasikan demi kepentingan sesuai dengan perjalanan sejarahnya itu, melainkan untuk kepentingan pragmatis yang temporer. Kebebasan justru membuat para awak media harus berjuang untuk bertahan hidup dalam kebebasannya.

Media massa, khususnya media cetak, kini harus “mengemis” kepada pembaca serta pemasang iklan untuk mempertahankan kehidupannya. Untuk itu, dilakukanlah kompromi-kompromi. Berita sudah tidak murni sebagai informasi innocent, melainkan sudah mengalami polesan promotif, baik dari pengusaha bahkan politisi dan merembes ke selebritas. Sisi lemah ini kemudian dijadikan alat oleh siapa pun, termasuk untuk membuat orang tak dikenal menjadi terkenal, bahkan untuk menjadikan mereka seolah sebagai “pahlawan”.

Seseorang yang tadinya bukan apa-apa tiba-tiba bisa meroket namanya di kancah politik, misalnya, lebih karena kemampuannya “mendekati” media massa untuk membangun citra dirinya. Ranah politik praktis di Indonesia dengan karakteristiknya yang ingar-bingar, tak memerlukan kedalaman berpikir, sangat membuka peluang hadirnya tokoh-tokoh dadakan seperti itu.

Media massa tak lagi sebagai media massa, melainkan media bisnis. Pilihan antara kepentingan bisnis dan kepentingan pemberitaan sesuai dengan kaidah jurnalistik pun menjadi bahan perdebatan panjang. Media massa kian menjadi tempat para “medialomania” menampang diri demi sebuah popularitas. Di sisi lain, media massa tak perlu berpikir apakah itu layak muat atau tidak, yang penting ada pemasukan keuangan.

Di sana terjadi simbiosis antarpihak, sesuatu yang dulu sama sekali tidak kita duga bisa terjadi. Tiga pilar komunikasi massa yaitu jurnalistik, iklan, dan hubungan masyarakat kini kian bergeser: jurnalistik tertepikan, iklan dan humas semakin dominan.

Fungsi propaganda itu pula yang terjadi pada Perang Teluk II, ketika AS mengontrak pakar humas Head and Shoulder Shampoo, yaitu Charlotte de Beers, berikut sejumlah kantor kehumasan lainnya untuk menangani isu perang tersebut. Mereka merekayasa peristiwa seolah-olah rakyat Irak menyambut kedatangan pasukan AS, padahal yang sebenarnya terjadi adalah orang-orang lokal itu dibayar untuk show perusahaan Public Relation (PR) yang disewa pemerintah Presiden George Bush.

Model seperti itu banyak terjadi di bidang apa saja dan di belahan bumi mana saja, bahwa performa lebih penting ketimbang substansi. Anehnya, itulah yang diterima sebagai kebenaran oleh publik. Oleh karena itu, ada benarnya juga kalau ada orang mengatakan bahwa tidak ada satu pun rumus ampuh yang berlaku universal untuk menjawab persoalan pers dewasa ini. Media massa boleh berbuat apa saja sepanjang ada audience yang mendukungnya. Itu sudah cukup, mengingat selera publik pun bersifat sementara, dapat berubah setiap saat.

Celakanya, nah ini, celakanya adalah ketika sajian pemberitaan [yang berbasis kehumasan]itu dirilis oleh pihak tertentu yang berpotensi menjadi ancaman bagi ketahanan nasional, sesuatu yang seharusnya menjadi komitmen seluruh komponen bangsa ini, termasuk media massa, untuk selalu mewaspadainya.

Di tengah kehidupan posmo dewasa ini, setidaknya ada tiga hal yang perlu mendapat perhatian:

1. ORIENTASI STATUS

Betapa banyak orang dengan sikap dan orientasi hidupnya cenderung mengutamakan status seperti pangkat, jabatan, posisi, dan sebagainya yang tidak berdasarkan prestasi kerja (non-achievement). Untuk menuju status yang diinginkan, seseorang menghalalkan segala cara. Hal ini sangat membuka peluang terjadinya gesekan-gesekan individu. Teman makan teman menjadi sesuatu yang tak ditabukan.

2. SENTIMEN PRIMORDIAL

Sentimen primordial ini bisa kita tengarai sebagai bentuk kesetiaan sejumlah orang terhadap ikatan asal-usul. Hal ini tergambar melalui sikap mendahulukan kesetiaan pada keluarga, kepada suku bangsa, kepada orang-orang sedaerah, kepada kelompok sekepercayaan agama, dengan mengabaikan kesetiaan kepada kepentingan bangsa. John Naisbitt (2000) menandai, semakin kita menjadi universal, tindakan kita semakin tribal (tradisional etnik). Dengan kata lain: think globally, act locally. Naisbiit juga menandai ada pergeseran peran pemerintah pusat ke daerah-daerah, dari sentralisasi menuju ke desentralisasi.

3. LOYALITAS PARTAI

Tidak jauh berbeda dengan kasus loyalitas primordoal, loyalitas partai adalah sikap yang mengutamakan kepentingan kelompok yang menjelma dalam bentuk kepentingan partai ketimbang kepentingan bangsa dan negara. Sikap seperti ini merusak efisiensi pekerjaan dalam administrasi negara, bahkan menimbulkan politisasi birokrasi.

Bersumber dari ketiga hal itulah, setidaknya, isu-isu sosial politik akan terus bergulir sebagai sajian pemberitaan media massa ke depan. Bukan tidak mungkin, dalam percaturan politik global, ketika media massa telah dijadikan alat propaganda untuk kepentingan menyerang negara lain, isu disebar dan media massa –atas nama kebebasan–melahapnya sebagai sajian berita yang dianggap layak jual.

Mengingat hal-hal tersebut di atas maka ada beberapa catatan yang perlu kita garisbawahi:

  1. Mengingat permasalahan bangsa dan negara tak hanya berkait dengan persoalan ekonomi namun juga ada faktor sosio-kultural, maka awak media massa perlu mencermati dan mendalami nilai-nilai sosio-kultural yang ada di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk.
  2. Peran media massa sudah diambil alih oleh public relation, karena filosofi dasar jurnalisme yaitu menyampaikan informasi secara objektif, bersih, apa adanya sudah tergerus oleh berbagai kepentingan temporer (tegasnya lagi kolaborasi antara politisi dan pemilik modal). Public relation lebih mudah dipakai untuk memengaruhi publik, karena memang tugas utamanya membangun citra, memperbaiki kesan, dll.
  3. Di era digital-global peran pers semakin mati, kalah dibandingkan dengan peran media sosial yang memiliki keunggulan teknis dan tidak terikat pada “aturan-aturan” formal. Semua orang adalah penulis dan penyebar informasi. Media massa sebagai agen perubahan yang mengemban tugas sebagai penyampai informasi, pendidikan, dan hiburan telah tergeser oleh institusi lainnya, lebih tegasnya oleh individu-individu. Dengan segala peralatan (gadget) yang serba canggih, cepat, spektakuler, setiap individu bisa menjadi segalanya. Ia menjadi penulis, penerbit, penyalur sekaligus pembaca atau konsumennya.
  4. Pola hubungan sosial individu akan menjadi jaring komunikasi efektif. Jaring-jaring itu perlu ada jala utama yang mampu memengaruhi pesan-pesan atau narasi besarnya. Adanya kecenderungan perubahan pola komunikasi massa ini membuat para pemangku kepentingan tidak bisa lagi hanya mengandalkan jurnalisme tradisional yang sudah tercemar, sehingga perlu ada pola baru. Hal ini pulalah yang sekarang terlihat, terutama dalam pileg dan pilpres tempo hari, ketika masing-masing pendukung caleg maupun capres mampu membangun pola komunikasinya sendiri. Mereka terdiri atas kelompok-kelompok otonom yang memiliki kepentingan atau ideologi sama dan menyelenggarakan komunikasi sendiri. Sedangkan mereka yang tidak seaspirasi akan menyingkir membantuk cluster-cluster baru, komunitas demi komunitas.

Cluster-cluster ini ke depan tampaknya perlu mendapatkan satu narasi besar guna kepentingan bangsa dan negara. Ini lebih strategis dalam upaya membangun komuniasi massa untuk mendukung tetap terjaganya keutuhan NKRI. Kita perlu memikirkan pola itu. Belum ada formula manjur, memang, mengingat perubahan begitu cepat termasuk perubahan “ideologi” dan kepentingan-kepentingan pada masing-masing cluster. Tetapi, pola hubungan sosial individu ini bisa kita baca akan menjadi jaring komunikasi massa yang efektif, sehingga perlu ada jala utama untuk mengorkestrasi pesan-pesan atau narasi besarnya. Kita perlu memikirkan secara bersama-sama seperti apa konstruksi jala utama itu, dengan mempertimbangkan mobilitas atau pergerakan/pergeseran/perubahan yang sangat cepat sakarang. Ketika peran jurnalistik kian tertepikan, barangkali perlu ada rembug lebih luas lagi dengan tidak lagi menempatkan pers sebagai agen atau peran utama, mengingat semua peran itu [dalam bahasa pesimistik]sudah berlalu.

Demikian sekadar pengantar untuk diskusi kita kali ini, terima kasih atas perhatiannya.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com