Kita Tak Punya Kultur Golput

Bagikan artikel ini

Rubby Karno, Pengurus DPP Syarikat Islam. Produser P.T.Karnos Film

Golput,  sebenarnya tak “dikenal” oleh demokrasi.  Ada kontradiksi antara keduanya, Golput – alias golongan putih – mendorong orang menjadi kaum yang pasif tak terlibat, atau menyepelekan hak partisipasinya, sementara demokrasi merupakan sebuah sistem yang memberi “ruang hidup” pada hak politik seorang warga negara.

Kontradiksi ini sering dipelesetkan dengan mengatakan bahwa memilih dan tidak memilih merupakan hak yang dijamin dalam demokrasi. Sekilas pintas, pikiran seperti ini  ada benarnya. Tapi  jika ditelaaah lebih dalam lagi, secara substansial  tidaklah demikian. Sebab inti dari demokrasi adalah partisipasi, sementara golput sebaliknya, menarik diri dari sikap partisipatif. Bahkan ia tergolong aktif untuk memperjuangkan kepasifan politik.  Jadi tetap kontradiktif.

Dalam perjalanannya,  banyak kalangan tidak mengkaitkan relevansi jumlah pemilih  pemilu dengan kualitas atau legitimasi pemilu itu sendiri. Logika ini ditarik dengan mempertimbangkan bahwa partisipasi masyarakat negara maju untuk memilih, relatif tidak segegap gempita pemilu di negara kita. Dan keadaan seperti itu ternyata  tak masalah. Fakta ini, sekilas pintas  memang benar adanya.

Data umum memperlihatkan bahwa pemilu di Amerika, kendati gaungnya mendunia, rata rata, hanya menyedot partisipasi  setengah warganya. Pemilu terakhir di sejumlah negara ‘besar”, rata rata juga berkisar pada angka itu. Lihat saja di Inggris yang hanya 66%, lalu Jepang (59,3%), India (58,2%), Kanada (61%), Prancis (59,98%), dan Amerika Serikat (57,50%). Toh dengan angka  partisipasi yang ketar ketir seperti ini, negara berjalan seperti lazimnya, tak ada masalah apa apa. Kemakmurannya tetap bergulir.

Jadi mengapa harus menakutkan Golput? Sejumlah pengamat negara maju, lalu banyak memberi perhatian pada kualitas pemilu, bukan kuantitasnya. Sekilas pintas, pandangan ini juga bisa dimengerti. Tapi, apalah artinya sebuah pemilu jika ternyata  rakyatnya tak syur untuk berpatisipasi? Ini harusnya menjadi pertanyaaan besar. Demokrasi sesungguhnya ruang yang memberi martabat bagi keterlibatan  rakyatnya. Buat kita yang berkultur Indonesia, tidak menggunakan hak atau mengabaikan hak, bukanlah sesuatu yang biasa.

Maka mengukur baju, sebaiknya memang tidak di badan “bangsa” lain. Kultur dan tradisi barat taklah sama dengan kultur dan kepribadian kita. Hatta kultur dan budaya masyarakat Timur lainnya, seperti Jepang dan Singapore pun, tak sama dengan kita.  Tidak menggunakan hak dalam kultur masyarakat kita bisa dibaca sebagai hal yang sederhana.  Bennnedict Anderson, dalam kajiannya mengenai kultur jawa, menggambarkan dengan baik, bagaimana cara protes orang jawa terhadap pemimpinnya. Mereka tidak melabrak sang pemimpin, atau apalagi melakukan perlawanan fisik. Mereka cukup berdiri di depan keraton dan diam menjemur diri. Raja paham sikap itu. Itulah cara protes.

Kultur politik kita kurang lebihnya juga demikian. Tidak memilih menjadi bukan sekedar menggunakan hak untuk tidak memilih, tapi lebih dari itu bisa bermakna banyak. Mulai dari bermakna apatis, tidak peduli sampai dengan bermakna perlawanan. Mengapa demikian, karena  sesungguhnya kultur politik kita adalah kultur  partisipan. Bahkan kita memahami partisipasi sebagai bentuk kepedulian tertinggi. Wujud kepedulian dalam kultur masyarakat Indonesia adalah keterlibatan.  Bahkan dalam banyak hal, kepedulian menjadi sekaligus identik dengan pengorbanan. Sehingga tingkat partisipasi cenderung menjadi ukuran bagi sebuah dukungan. Baik itu dukungan terhadap figur, partai, terhadap sistem maupun terhadap negara.

Sejarah Golput muncul di Indonesia sebagai bentuk kecurigaaan sejumlah anak muda waktu itu terhadap  berbagai manipulasi politik. Mereka lalu menggerakkan protes tadi dengan cara tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu. Awalnya, ide itu digulirkan untuk memprotes pelaksanaan Pemilu 1971.  Pemilihan Umum pertama di era Orde Baru, yang diikuti oleh 10 partai politik, jauh lebih sedikit daripada Pemilu 1955 yang diikuti 172 partai politik.

Tapi sekarang,  segalanya sudah berubah. Era reformasi sudah mendorong transparansi jujur adil dengan sedemikian rupa. Bahkan demokrasi  sudah kita junjung sebagai forum bangsa untuk menggerakkan Indonesia  dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Ini moment penting. Maka sungguh bijak bestari jika 9 April besok kita manfaatkan hak kita. Sekali mencoblos, berarti kita sudah berpartisipasi untuk kemaslahatan bangsa ke depan. Selamat memilih.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com