Konflik Bersenjata Azerbaijan-Armenia Dalam Perspektif Strategis Geopolitik Kaukasus Selatan

Bagikan artikel ini

Konflik bersenjata antara Armenia dan Azerbaijan yang berlokasi geografis Kaukasus Selatan, nampaknya justru menjadi momentum buat Rusia dan Turki untuk menjalin kerjasama yang lebih strategis ke depan.

Pada 29 Desember lalu, berlangsung pertemuan antara Menteri Luar Negeri Turki  Mevlüt Çavuşoğlu dan Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov. Hasilnya, tercipta gencatan senjata antara Armenia dan Azerbaijan di Nagorno-Karabakh.

Sengketa militer antara Armenia dan Azerbaijan sebenarnya sudah cukup lama berlangsung. Yang jadi hulu penyebab konflik kedua negara pecahan Uni Soviet itu adalah klaim Azerbaijan yang memandang wilayah yang dikuasai Armenia itu sebagai wilayah kedaulatannya. Sehingga pertikaian bersenjata kedua negara pecahan Soviet itu sudah berlangsung sejak 1980an dan awal 1990-an. Pada 1994, kedua negara tersebut berhasil dipaksa gencatan senjata.

Sekadar informasi, Nagorno-Karabakh adalah bagian dari Azerbaijan, tapi mayoritas penduduk wilayah itu berlatar belakang etnis Armenia.

Gambaran peta perjanjian damai antara Azerbaijan dengan Armenia.

Lantas, apa kaitan Turki dan Rusia dalam konflik bersenjata yang sempat meletus lagi beberapa waktu berselang? Turki memiliki hubungan dekat dengan Azerbaijan, sedangkan Rusia bersekutu dengan Armenia, walau menariknya kemudian, Rusia sebenarnya juga berhubungan baik dengan Azerbaijan. Dengan demikianm, pertemuan antara Menlu Turki dan Menlu Rusia merupakan hal yang cukup logis untuk memprakarsai perdamaian.

Sepertinya baik Turki maupun Rusia sama-sama menyadari nilai strategis geopolitik kawassan Kaukasus ini. Kaukasus merupakan wilayah pegunungan yang penting dan punya nilai  strategis di kawasan Eropa Tenggara.

Bisa jadi yang jadi pemicu konflik saat ini tak lepas dari aspek kesejarahannya ketika Nagorno-Karabakh yang merupakan wilayah mayoritas etnis Armenia namun pada prakteknya berada di bawah kendali otoritas politik Azerbaijan.

Ketika Uni Soviet runtuh pada akhir 1980an, parlemen regional di Nagorno-Karabakh secara resmi memilih bergabung ke Armenia. Di sinilah bermula saling klaim antara Armenia dan Azerbaijan. Azerbaijan kala itu berupaya menekan gerakan yang menghendaki Nagorno-Karabakh menjadi bagian Armenia. Di sisi lain, Armenia mendukung kelompok yang ingin gabung dengan Armenia.

Sedemikian rupa strategisnya wilayah geografis Kaukusus sehingga pertikaian bersenjata Armenia dan Azerbaijan melibatkan beberapa negara besar sebagai pemrakarsa perdamaian. Misalnya yang pernah dibentuk pada 1992 atas prakarsa Prancis, Rusia dan Amerika Serikat. Yaitu Organisasi untuk Keamanan dan Kerja Sama di Eropa (OSCE) Minsk Group.

Konflik Azerbaijan-Armenia memicu protes publik di kedua negara.

Adapun Turki sendiri, terlepas dari statusnya sebagai salah satu negara anggota NATO, merupakan negara pertama yang mengakui kemerdekaan Azerbaijan pada tahun 1991.

Sekadar kilas balik sejarah, mari kita cermati nilai strategis wilayah Kaukasus Selatan. Ketika Uni Soviet runtuh pada 1991, beberapa Republik yang semula berada dalam kedaulatan nasional Soviet, kemudian memerdekakan diri di Kaukasus selatan. Antara lain Georgia, Armenia, dan Azerbaijan.

Kesadaran geopolitik terhadap nilai strategis Kaukasus Selatan ini, khususnya dalam besarnya kekayaan sumberdaya alam di bidang minyak dan gas alam, baik di dalam bumi maupun di dasar laut Kaspia. Sehingga mendorong ide membangun  jaringan pipa yang melintasi Kaukasus selatan untuk membawa sumber daya alam tersebut ke pasar Eropa.

Ada masa ketika Kaukasus merupakan titik persinggahan antara Eropa dan Asia; Jalur  Sutra yang lama melalui kawasan tersebut.  Tanah yang terbentang sepanjang 1.200 kilometer antara Laut Hitam dan Laut Kaspia.

Terbangunnya jaringan rel kereta api pada 2012 yang terentang mulai dari Baku, ibukota Azerbaijan, lalu ke Tbilisi di Georgia, kemudian terus ke Kars, kota pusat perdagangan Turki di ujung barat daya Kaukasus, nampaknya jadi pertaruhan geopolitik yang cukup vital bukan saja bagi Azerbaijan, Georgia dan Armenia. Bahkan bagi Rusia dan Turki.

Kedekatan Turki yang nampaknya belakangan semakin intensif ke negara-negara Eropa di kawasan Timur, nampakya tidak lepas dari kaitannya dengan keikusertaannya dalam pembangunan jaringan   pipa Baku-Tbilisi-Ceyhan (BTC)—yang mulai dioperasikan pada 2005 untuk mengalirkan minyak dari Baku ke kota pelabuhan Turki, Ceyhan di tepian Laut Mediterania—rel kereta api BTK adalah hasil aliansi antara Turki, Georgia, dan Azerbaijan.

Maka di sinilah momentum itu tiba. Konflik bersenjata Armenia-Azerbaijan sepertinya bakal semakin mempererat kerjasama strategis antara Turki dan Rusia. Meskipun Menlu Turki secara diplomatis menyatakan bahwa kerjasama Turki-Rusia sama sekali bukan merupakan alternatif terhadap NATO maupun Uni Eropa.

Menurut pandangan saya, justru tren global inilah yang dikhawatirkan AS maupun Uni Eropa. Apalagi kekuatan-kekautan korporasi global baik di Amerika maupun Eropa Barat. Potensi terbentuknya alianasi strategis bersifat regional antara Eropa dan Asia. Dalam skema ini, Rusia maupun Turki merupakan kedua pemain kunci yang amat menentukan.

Hendrajit, pengkaji geopolitik Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com