Analisis Kecil Asymmetric Warfare
Bila dipandang dari sudut geopolitik, semakin lama posisi Covid-19 bukan lagi soal pandemi an sich, tetapi lebih mirip komoditas unggulan semacam minyak, misalnya, atau emas, gas, nikel dan seterusnya. Kenapa demikian, karena bicara Covid-19 kini 90% cenderung politis, sedang 10%-nya justru tentang teknis pandemi itu sendiri. Mirip apa yang dikatakan oleh Guilford terkait dunia perminyakan: “When it comes to oil, 90% is about politics, and 10% is about oil itself“.
Di akar rumput, meski sayup-sayup namun tercium sinyalir ada tawar menawar status kematian. Namun entah benar atau cuma hoax, misalnya, ingin si mayat berstatus sewajarnya, atau mau “dicovid”-kan? Nah, ada bargaining, terdapat kompensasi. Semoga bau sinyalir ini adalah hoax.
Di dunia (geo) politik praktis pun hampir serupa. Covid-19 dapat dijadikan alat pemukul lawan politik pada satu sisi, tetapi bisa dijadikan modus “sembunyi” dari kegaduhan politik praktis di sisi lain.
Asymmetric warfare atau peperangan asimetris (nirmiliter) yang berpola isu-tema/agenda-skema (ITS) mengajarkan, bahwa isu yang ditebar ke publik untuk membentuk opini. Di tahap ini, peran media sangat vital pengaruhnya; kemudian agenda alias tema digulirkan guna menggiring persepsi publik melalui opini yang telah terbentuk; dan terakhir, skema pun ditancapkan untuk dijalani oleh publik. Dan pada tahap ini, lagi-lagi selain peran media begitu penting, juga warga seakan tidak memiliki pilihan. Jadi, seperti fetakompli (fait accompli), publik kudu menerima “skema” apa adanya.
Kalau membuka kembali pointers diskusi 2019-an pada awal penyebaran Covid-19 di Wuhan dulu, secara asymmetric war — Covid-19 itu hanya “isu” belaka. Hanya pintu pembuka. Sedang “agenda” lanjut usai isu ditebar ialah lockdown, atau ketakutan warga dan seterusnya. Inilah (tema) industri kepanikan yang mutlak ditelan publik tanpa kritik, tanpa selidik. Lantas, apa ujud “skema” sesuai pola asymmetric war di atas? Tak lain adalah larisnya masker, contohnya, atau lakunya hand sanitizer, hazmat, ventilator, maraknya bisnis online/virtual dan banyak lagi.
Yang diperebutkan oleh para adidaya dan adikuasa cq kartel farmasi masing-masing sebab nilai (geo) ekonomi paling besar ialah vaksin. Iya, vaksin merupakan skema utama dalam perang asimetris bertopik pandemi. Meskipun ada pula utang —selaku ‘komoditas politik’— diperebutkan oleh lembaga dan institusi keuangan global. Kenapa begitu, bahwa utang merupakan alat kendali terhadap negara-negara yang terdampak pandemi. Tesis John Adams (1735-1826) tampaknya terbukti: “Ada dua cara untuk menaklukkan suatu bangsa. Pertama dengan pedang, kedua melalui utang”.
Sekali lagi, apabila dibanding unsur geoekonomi lainnya, nilai ekonomi vaksin sangat menggiurkan karena profitnya fantastis. Selain kontribusi finansial dari bermiliar penduduk bumi nantinya, konon ada chip yang hendak diselipkan ke tubuh melalui vaksin guna mengkontrol populasi manusia. Namun sekali lagi, itu bahasan tahun 2019-an. Isu lama. Kenapa? Karena semakin ke sini, skenario depopulasi terkuak di publik yang konon di-endorse oleh salah satu non-state actor bidang farmasi. Publik mulai memahami hal itu. Dan barang kali skenario tersebut sudah tutup layar. Kenapa demikian, selain muncul kontra depopulasi, faktor geoekonomi yang fantastis menyebabkan beberapa negara melakukan riset, lalu berlomba menciptakan vaksin anticorona. Tak kurang, beberapa negara seperti Rusia, Jerman, Cina, Amerika (AS) dan seterusnya bahkan Indonesia sendiri, menciptakan baik itu vaksin, contohnya, alat-alat deteksi virus/rapid test, maupun sekedar empon-empon guna menambah daya imunitas tubuh, tracing dan mengantisipasi Covid-19. Singkat kata, skenario pertama (depopulasi) dinilai gagal karena vaksin tidak dimonopoli oleh satu kartel farmasi.
Balik lagi ke diskusi 2019-an tentang siapa pembuat dan penyebar Covid-19, sampai saat ini belum terkuak. Masih debatable. Perang narasi antara Cina versus AS hingga kini menyisakan kecurigaan bahwa si pencipta Covid-19 itu antara dua adidaya yang masih saling tuduh. Saling melempar narasi.
Terkait judul di atas, dengan munculnya gejala strain baru corona — maka jika fenomena tersebut ditelaah dari perspektif asymmetric warfare, maka pertanyaan selidik yang muncul adalah:
1) apakah vaksin yang kini beredar masih relevan untuk mengantisipasi varian (strain) baru corona virus;
2) secara perang asimetris, virus strain baru tentu kembali berstatus “isu”. Lantas, kelak apa ujud “agenda” dan “skema”?
Di Bumi Pertiwi ini, masih banyak kembang sore dan bunga-bunga sedap malam ..
M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments