Alam bawah sadar kedua bangsa, Indonesia dan Malaysia, nampaknya memang sulit untuk hidup rukun dan damai. Kedua Negara seakan ditakdirkan untuk berkonflik sepanjang masa.
Mau Bukti? Simak saja beberapa pengunaan istilah seperti Indon, sampai konflik Ambalat, klaim seni-budaya serta isu TKI/TKW. Ketidakadilan dan kemiskinan akut yang membelit rakyat Indonesia menjadi salah satu faktor yang mendorong negara-negara lain, termasuk Malaysia, bersikap melecehkan.
Pengamat sosial Edi Suharto PhD menyebut bahwa sikap Malaysia yang berkali-kali melecehkan kedaulatan dan martabat bangsa Indonesia, tidak lepas dari kemakmuran yang dialami rakyat negeri jiran itu. Benar juga. Orang kaya memang berkecenderungan memandang rendah orang-orang yang lebih miskin dan tidak berpendidikan.
Bahkan tanpa disadari, Malaysia sebenarnya sedang memprovokasi semakin meningkatkanya eskalasi konfliknya dengan Indonesia. Sikapnya yang sombong dan meremehkan Indonesia, tentu saja telah memancing kemarahan beberapa elemen ultra nasionalis di tanah air.
Misalnya, sikap angkuh Malaysia dalam soal Ambalat maupun persoalan tenaga kerja Indonesia misalnya, telah mendorong organisasi Benteng Demokrasi Rakyat (Bendera) untuk memberangkatkan 1.500 relawan ke Malaysia. Langkah ini beralasan untuk mempertahankan kedaulatan dan martabat bangsa. Sekaligus melindungi setiap warga negara Indonesia yang berada di Malaysia.
Tentu saja hal ini baru pada taraf gertakan dan tidak benar-benar akan menjalankan niatnya, namun kejadian ini setidaknya mengindikasikan bahwa kasus konflik kedua Negara bisa melebar dan menciptakan instabilitas politik di kawasan Asia Tenggara.
Koordinator Bendera, Mustar Bona Ventura, merujuk Sekretaris Nasional Central Bureau (NCB)-Indonesia Brigjen Pol Halba Rubis Nugroho, mengatakan, setiap hari, satu WNI meninggal di Malaysia.
“Dalam tiga tahun terakhir, 1.421 WNI tewas di Malaysia karena penyiksaan dan pembunuhan. Hal itu tidak bisa didiamkan. Bendera pasti akan turun tangan dengan atau tanpa izin,” ujar Mustar di Jakarta, Kamis (8/10).
Pihak Bendera tidak gentar walau Dewan Keamanan Nasional Malaysia telah menyiagakan keamanan di setiap perbatasan untuk menghadapi kedatangan relawan Bendera.
Mereka tetap akan memberangkatkan relawan sesuai jadwal. Pemberangkatan relawan berjumlah 1.500 ini dilakukan secara bertahap melalui jalur masuk yang tidak pernah akan diduga Malaysia. Bisa melalui jalur udara, darat, dan laut. Tapi menurutnya tidak akan dijelaskan secara rinci.
Pemberangkatan pertama dilakukan pada 9 Oktober. Pada waktu itu, Bendera akan memberangkatkan 200 relawan, dan diperkirakan sampai ke Malaysia pada 14 Oktober 2009.
Pemberangkatan berikutnya, 125 relawan pada 11 Oktober, 125 relawan lainnya pada 15 Oktober, 600 relawan pada 17 dan 19 Oktober, dan 400 relawan pada 22 Oktober. Pemberangkatan terakhir pada 25 Oktober, yaitu 50 tim medis.
Menanggapi langkah Bendera mengirim relawan ke negeri jiran itu, juru bicara Kelompok Pakar (Eminent Person Group/EPG) Indonesia-Malaysia Musni Umar mengatakan, tidak ada gunanya mengobarkan perang dengan Malaysia. “Betapapun kita marah harus selalu mendahulukan akal sehat. Tidak ada gunanya mengobarkan perang,” katanya.
EPG Indonesia dan Malaysia yang masing-masing beranggotakan tujuh pakar dibentuk pada pertengahan 2008 untuk mengkaji hubungan kedua negara secara keseluruhan, dan mempelajari masalah-masalah yang belakangan ini timbul antara Indonesia dan Malaysia.
Anggota EPG Indonesia terdiri atas Try Sutrisno, Quraish Shihab, Des Alwi, Musni Umar, Pudentia MPSS dan Wahyuni Bahar. Perutusan Malaysia beranggota Tun Musa Hitam, Tan Sri Dato Seri Mohd Zahidi Haji Zainuddin, Tan Sri Khoo Kay Kim, Tan Sri Abdul Halim Ali, Tan Sri Amar Haji Hamid Bugo, Datuk Syed Ali Tawfik Al-Attas, dan Datuk Seri Panglima Joseph Pairin Kitingan.
Sementara sosiolog UI Imam Prasodjo menilai dari keseluruhan performa, salah satunya masalah gizi buruk yang menjadi bahan pelecehan terhadap kehormatan dan harga diri Indonesia oleh negara lain.
Mulai dari pesawat militer yang rusak dan sering jatuh, kebakaran hutan yang terus terjadi hingga gizi buruk, semuanya membuat negara pada posisi buruk. Pada akhirnya negara tetangga pun menyepelekan RI.
Padahal dibandingkan Malaysia, Indonesia lebih kaya sumber daya alam dan sumber daya manusia. Namun, Indonesia kurang mempromosikan keunggulan tersebut, dan justru tertutup dengan citra negatif.
Semua permasalahan yang timbul antara masyarakat Indonesia dan Malaysia terutama dipicu oleh kesalahpahaman belaka. Jalan diplomasi harus didahulukan, bukan konfrontasi, keributan dan benturan. Agar kedua bangsa tak saling merugi.
Bahkan dengan belajar dari kejadian pada 1965, bukan tidak mungkin ada sekelompok orang yang akan memanfaatkan suasana genting Indonesia-Malaysia untuk menciptakan situasi vakum kekuasaan di Jakarta, sehingga bisa menciptakan pergeseran kekuasaan dengan menggunakan dalih adanya konflik dengan Malaysia untuk memunculkan kembali militerisme dan sebuah kekuatan militer untuk berkuasa kembali di Indonesia.
Kalau skenario ini memang ada, maka sebenarnya beberapa elemen di Jakarta dan Kuala Lumpur sebenarnya sedang “bermain mata” alias bersekonggkol untuk melakukan reposisi di Negara mereka masing-masing.