Sjamsoeir Arfie, wartawan Senior dan Pengamat Sosial, Kontributor theglobal-review.com
Marwan Sutan Palindih alias Marwono Brotokoesomo turun dari tempat tidur, ia menoleh ke jam dinding, jarum jam menunjuk angka 04.15 WIB. Ia melangkah ke jendela, membukaya lebar-lebar.
“Tubuh isterimu yang tergolek seperti bayi usai mandi akan jadi tontonan gratis penghuni asrama mahasiswa yang berseberangan dengan rumah kita, lihat jendela rumah mereka pun terbuka,” kata isteri Marwono protes.
“Mulai pagi ini saya ingin hidup dalam serba asli, kesejukan ruangan hendaknya bukan karena AC tapi oleh semelir angin alamiah, seperti Subuh ini, konon kabarnya yang berembus adalah angin dari Surga,“ ucap Marwono.
“Nggak mungkin pada zaman ultra modern ini kita bisa hidup dalam serba asli, mungkin selama 24 jam kita hidup bersama produk palsu atau produk asli tapi palsu,“ ucap isteri Marwono dari balik selimut.
Selama 24 jam hidup bersama produk palsu atau asli tapi palsu, kalimat ini telah puluhan kali diucapkan isterinya, Marwono ingin membuktikan.
Usai Sembahyang Subuh di sebuah masjid Marwono bersama tiga temannya masuk ke sebuah warung kopi, mereka memesan teh dan kopi manis.
“Rasa kopi manisnya koq agak lain!? kata Marwono setelah keluar dari warung.
”Manisnya bukan berasal dari gula asli melainkan dari gula buatan, gula palsu yakni Sakarin,“ kata teman Marwono.
Sebelum berangkat kerja Marwono membaca suratkabar berbahasa Inggris, di atas pangkuannya tergeletak sebuah Kamus Bahasa Inggris-Indonesia.
“Jangan-jangan kamus itu bukan asli tapi palsu, coba teliti bisa saja ia hasil fotocopy yang dikerjakan dengan rapi, covernya discanning,“ kata isteri lelaki itu.
Ia teliti hasil cetakan kamus itu, belum puas diambilnya sebuah kaca pembesar.
“Astaghfirullah, ternyata hasil foto copy, palsu,“ ucap Marwono.
Lelaki itu mengambil radio 4 band, merk terkenal, ingin mendengar berita pagi, di sudut ruangan tamu dipajang sebuah pesawat televisi 29 inc, juga merk kesohor. Dari lemari Marwono mengambil kotak berisi peralatan tukang, obeng dan sebagainya. Tutup belakang pesawat radio dan pesawat telivisi ia buka.
“Betul juga kata teman-temanku, pesawat radio dan televisi ini buatan Negara A tapi komponennya bikinan beberapa Negara, ada made in Taiwan, Korea Selatan dan Thailand, artinya asli tapi palsu,“ tutur Marwono usai mengamati komponen pesawat radio dan televisi.
Mendekati pukul 07.00 WIB Marwono bersama isteri masuk ke mobil mereka, di perjalanan lelaki itu membelokkan mobil ke sebuah SBPU yang sepi kendaraan, jarak 200 meter dari sana kendaraan bermotor antri di sebuah SBPU.
“Mas, kenapa di SBPU yang kita lewati tadi sepi kendaraan, tapi di SBPU seberangnya antri?,“ tanya Marwono pada seorang sopir Angkot ketika lampu jalan berwarna merah.
“Bapak Telmi juga nampaknya, SBPU yang sepi itu sudah terkenal memakai meteran palsu, untuk setiap pembelian 10 liter berkurang sebanyak setengah liter,“ menerangkan sopir Angkot.
Sebelum mengantar isterinya ke kantor perempuan itu, Marwono mengajak isterinya untuk makan pagi di sebuah Restoran Padang, restoran itu masih sepi, pemiliknya seorang lelaki tua bermata sipit.
“Jangan-jangan ini restoran Padang palsu,?“ bisik isteri Marwono ke telinga suaminya.
“Ngkoh, ini restoran milik sendiri?, “ tanya Marwono.
“Hai ya, berdua bersama isteri!,” jawab lelaki gaek itu dari balik meja kasir.
“Ngkoh berasal dari Padang mana? Padang Kota, Belakang Padang, Padang Bay, Padang Panjang, Padang Ilalang atau Padang Bulan?,” tanya Marwono.
“Owe dari Padang Bulan,“ kata lelaki Tionghok itu.
“Sekampung dong dengan Seniman MH. Ainun Najib?,” tanya Marwono.
Lelaki tua itu mengangguk.
“Isteri Ngkoh asal Padang mana,“ kembali Marwono bertanya.
“Padang Bay, waktu muda ia pernah bertetangga dengan orang Padang dan belajar bikin masakan Padang dari mereka,“ kembali tua Tiongkok itu bicara.
Isteri Marwono ketawa, kata dia,” Padang Bulan di Jawa Timur, sedangkan Padang Bay berada di Bali, kita sedang menikmati Masakan Padang Palsu,“
Di kantor Marwono sempat marah besar, mesin fotocopy dan printer macet, tehnisi langganan mereka karena ingin untung besar memasangkan tinta palsu. Lusinan surat yang dikirim lewat Kantor Pos dikembalikan, pesuruh kantor rupanya menempelkan Prangko Palsu (bekas) pada sampul surat.
Sambil melayangkan pandang dari lantai ke 29 kantornya Marwono mengamati langit Jakarta, warnanya kekuning-kuningan campur biru. Udara kota Jakarta sudah tidak murni tapi sudah berbaur dengan udara palsu berbentuk asap kenalpot kendaraan bermotor, asap cerobong industri dan gas beracun lainnya.
Menjelang Maghrib Marwono dan isteri tiba di rumah mereka. Sebelum mandi sore isteri lelaki itu duduk di depan cermin, lalu membuka bulu mata palsu, melepas rambut palsu, karet busa pembesar buah dada dan pinggul, korset peramping perut dan pinggang, terakhir membersihkan make up, lalu masuk kamar mandi. Penampilan serba palsunya telah ia tanggalkan.
Marwono sendiri membuka kemeja, dasi, kaus dalam, kasus kaki dan sebagainya, semuanya dari merk terkenal luar negeri.
“Lihat, ini ada 5 macam sabun mandi, dibeli mulai dari warung, mini market dan supermarker, setelah dipakai 2 hingga tiga kali aroma parfumnya hilang, dan ketika dipotong di dalamnya berwarna sama, palsu kan?,” kata isteri Marwono.
“Parfume dan peralatan make up mu kemungkinan juga palsu ! “ kata lelaki itu.
“Kata teman-teman banyak dari pakaian pria dan wanita merk kenamaan bukan impor langsung dari perusahaan pemilik merk, namun buatan Indonesia atas dasar lisensi, resminya asli tapi palsu,” lanjut Marwono.
Marwono meneguk sebotol air mineral.
“Konon kabarnya air minum mineral itu banyak yang palsu, “ kata isteri lelaki itu.
“Arloji ini bagaimana?,” tanya Marwono sembari memegang arlojinya dan arloji milik isterinya.
“Saya pernah membaca di sebuah suratkabar bahwa sekitar 85 % arloji merk terkenal yang beredar di Jakarta dan kota besar lainnya merupakan arloji palsu,” ucap isteri Marwono.
“Uda, eh Mas, kamu ini asli atau palsu kah?,” tanya isteri lelaki itu.
“ Di ijazah SD nama lengkapmu tertulis Marwan bin Ibrahim Sutan Palindih, lahir 22 Agustus 1972 di Bukit Tinggi, pada Ijazah SMA namamu adalah Marwono Brotokoesomo, lahir 18 Maret 1974 di Solo, kamu ini siapa sih, Marwan atau Marwono palsu?,“ kata isteri lelaki itu ketawa.
“Orangnya sama, setelah usia 9 tahun saya diangkat anak oleh Pak Brotokoesomo dan dibuatkan akte kelahiran seperti yang kamu baca.
“Jadi kita tidak dapat melepaskan diri dari produk palsu atau asli tapi palsu. Sehari-hari kita sendiri tampil dalam sosok palsu, bicara palsu. Perusahaan, toko, pengusaha atau pedagang untuk mendapatkan untung besar sering mencampurkan produk palsu ke dalam produk asli, stempel pada surat keterangan dan kwitansi dipakai untuk menjadikan produk palsu menjadi produk asli!,” kata Marwono, mereka berdua ketawa, mungkin mengetawakan diri sendiri.
”Sekitar 20 tahun lalu ada sebuah perusahaan rekaman piringan hitam dan kaset memalsukan produk mereka sendiri dan perusahaan lain, dijual sebagai produk bajakan, mereka untung besar karena tidak membayar pajak, honor penyanyi, pencipta dan sebagainya,” ucap isteri lelaki itu.
Dan sejak itu Marwono mulai beranggapan hampir semua produk yang dia pakai selama 24 jam, mulai dari tempat tidur, kasur, arloji, cincin, ponsel dan masih banyak lagi, kemungkinan merupakan produk palsu atau asli tapi palsu.