Yang Tersirat di Balik Konflik Budaya Indonesia-Malaysia

Bagikan artikel ini

Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)

Hubungan Indonesia-Malaysia memang cukup genting akhir-akhir ini. Karena memasuki wilayah sensitif: Kekayaan dan warisan Budaya kita sebagai bangsa diklaim milik Malaysia. Belum selesai kontroversi mengenai Lagu Rasa Sayange yang diklaim milik Malaysia tantangan Negara Jiran tersebut agar Indonesia membuktikan memang pemilik lagu tersebut, masalah pakaian khas Indonesia Batik pun juga menjadi ajang kontroversi kedua Negara.

Anehnya, pemerintah Indonesia dalam hal ini Direktorat Jenderal Nilai Budaya Seni dan Film Departemen Kebudayaan dan Pariwisata menyatakan tak akan menegur.  Pasalnya, budaya Indonesia adalah budaya bersama dan  banyak warga Indonesia yang tinggal di Malaysia mewariskan budaya kepada generasi berikutnya. Hal senada juga diungkapkan Departemen Luar Negeri Indonesia.

Tentu saja pandangan pejabat teras Departemen Pariwisata tersebut sangat lah naïf dan tidak menghayati betul betapa vitalnya warisan seni dan budaya bangsa kita untuk tetap kita pertahankan. Tidak saja demi kebanggaan bangsa, namun sekaligus menjadi jembatan bagi generasi muda untuk tetap menjalin komunikasi dengan para leluhur dan sejarah masa silam bangsa kita berabad-abad yang lalu.

Dan untuk menjembatani masa lalu dan masa kini, warisan seni dan budaya yang menjadi bagian dari keanekaragaman bangsa kita, sudah seharusnya kita pertahankan dengan penuh kebanggaan. Apalagi ketika menghadapi kenyataan Negara tetangga kita Malaysia, justru menjadi pihak yang secara terang-terangan mengklaim beberapa warisan seni-budaya kita sebagai miliknya.

Kedua, pemerintah kita yang dalam hal ini adalah Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni dan Film Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, ternyata tidak cukup peka dalam membaca yang tersirat di balik konflik budaya Indonesia dan Malaysia.

Seharusnya para pejabat pemerintahan Indonesia menyadari sepenuhnya melalui berbagai kejadian sejarah bangsa Indonesia di masa lalu, bahwa Indonesia dan Malaysia sebenarnya memendam konflik laten di balik semboyan dan slogan Malaysia sebagai Negara Serumpun.

Benarkah kedua Negara merupakan Negara serumpun? Bagi sebagian besar saudara-saudara kita yang berasal dari Sumetara Barat, Sumatera Selatan, Sumatera Utara dan Bugis-Sulawesi Selatan, bisa jadi slogan serumpun memang ada dasar sejarahnya.
Namun bagi saudara-saudara kita dari Jawa, slogan Negara serumpun sebenarnya sangat tidak tepat. Justru slogan tersebut bisa memicu ledakan dan sentimen antar Negara mengingat sejarahnya di masa lalu.

Dalam konsep Negara Nusantara, yang dalam versi Muhammad Yamin, Tan Malaka maupun Sukarno, sebenarnya mencakup juga beberapa bagian yang sekarang termasuk dalam kawasan Asia Tenggara seperti Malaysia, Kamboja, Singapore dan Thailand.

Sejarah mencatat bahwa Negara Nusantara dengan ruang lingkup kekuasaan yang meliputi Negara-negara yang sekarang tergabung dalam ASEAN, sebenarnya pernah nyata-nyata ada di bawah kendali Kerajaan Majapahit, khususnya ketika Mahapatih Gajah Mada menjadi tokoh sentral di dalam lingkar kekuasaan Kerajaan Majapahit.

Karena itu, slogan Negara serumpun sama sekali tidak tepat ketika ditujukan untuk menciptakan hubungan yang bersifat khusus antar kedua Negara. Sejak berdirinya Malaysia pun, Indonesia melalui Bung Karno telah menentang karena di belakang Malaysia ada satu kekuatan imperialisme yang tidak kalah berbahayanya dibanding Amerika yaitu Kerajaan Inggris Raya.

Meski akhirnya hubungan Indonesia-Malaysia membaik menyusul berkuasanya Jenderal Suharto menggantikan Sukarno dan berdirinya ASEAN sebagai perhimpunan bangsa-bangsa Asia Tenggara, Indonesia tetap menganggap Malaysia sebagai musuh potensial.

Karena itu, pemerintah Indonesia tidak boleh anggap remeh konflik laten kita dengan Malaysia. Masalah seperti klaim tarian pendet dari Bali atau Reog sebagai warisan seni-budaya Jawa Timur, kiranya harus disikapi dengan penuh kesungguh-sungguhan. Dan secepatnya menjalin komunikasi melalui saluran diplomatik resmi maupun menggunakan diplomasi publik.

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com