Konflik Laut Cina Selatan: Cermin Pergeseran Geopolitik Global (Bag-3/Habis)

Bagikan artikel ini

M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)

“Kebangkitan Islam” dan Tata Ulang Hegemoni

Dalam diskusi terbatas di Global Future Institute (GFI), Jakarta pimpinan Hendrajit terkuak data (3/4/2012), bahwa fenomena “Kebangkitan Islam” dimulai dari Jalur Sutra. Tidak bisa dielak, fakta-fakta kebangkitan tersebut memang ada, nyata dan kini tengah berada/berperan (existence).

Pertama adalah kekalahan demi kekalahan militer AS dan sekutu dalam perang Irak dan Afghanistan, meski media mainstream coba menutup-nutupi namun circumstance evidence (bukti keadaan) menjelaskan, betapa militer reguler dan tentara bayaran dari 42 negara (AS, NATO dan ISAF) berbekal senjata modern lagi canggih ternyata tidak mampu mengalahkan Taliban yang hanya berbekal senjata konvensional. Dalam konteks militer, Taliban masuk klasifikasi extremis, kelompok insurgent atau separatis sekelas pemberontak.

Di berbagai literatur jarang ditemui tentara profesional kalah melawan pemberontak. Dalam teori militer modern pun demikian, kalah jumlah dan kalah canggih peralatan tempur, identik kalah perang. Serangan militer Rusia ke Georgia 2008-an kemarin merupakan contoh nyata, tatkala kalah dalam hal pasukan dan peralatan maka Georgia harus rela diduduki oleh militer Rusia dalam tempo seminggu saja.

Ditariknya secara bertahap pasukan multi-nasional pimpinan AS dari Irak dan Afghanistan tanpa mampu mengkapling-kapling wilayah SDA kedua negara, merupakan fenomena uniq karena berdampak negatif terhadap sistem ekonomi dan keuangan bagi negara-negara yang terlibat invasi militer. Beredarnya “Video Tewasnya Osama”, disinyalir sebagai TANDA ditutupnya layar pagelaran War on Terror (WoT) sebab dianggap gagal. Ya, WoT justru mengakibatkan hancurnya sistem kapitalisme global!

Demikian pula Smart Power-nya Brzenky/Partai Demokrat melalui gerakan massa (Arab Spring) yang difasilitasi Central Applied Non Violence Strategic (CANVAS), anak organisasi National Endowment for Democracy (NED), LSM-nya Pentagon, ternyata cuma sebatas ganti rezim di Tunisia, Yaman dan Mesir. Oleh karena periode berikut justru rakyat ingin ganti sistem. Media-media memotret fenomena tersebut sebagai Revolusi Jilid II, istilah lain kebangkitan Islam.

Dan tampaknya, gerakan asimetris (non militer) AS dalam rangka “tata ulang” rezim di Jalur Sutra telah out of control atau lepas kendali. Rakyat mulai menyadari bahwa kemiskinan di negerinya diakibatkan sistem Barat yang berafiliasi dengan lembaga-lembaga keuangan global. Rezim utang yang ditawarkan IMF, Bank Dunia dan lainnya ternyata merupakan jerat ketergantungan bagi negara penghutang. Setidaknya “permainan utang” ini terkuak jelas dalam buku Confessions of an Economic Hit Man-John Perkins, bahwa kucuran pinjaman baik oleh IMF maupun negara kreditor bertujuan mencengkeram negara bersangkutan. Akhirnya penerima utang menjadi target lunak ketika IMF atau kreditor butuh hal-hal yang diinginkan, seperti pangkalan militer, kemudahan akses (perpanjangan kontak karya) atas eksplorasi SDA, suara di PBB, privatisasi, cabut subsidi, dan lain-lainnya. Inilah fakta-fakta kedua daripada kebangkitan Islam.

Fakta ketiga ialah keberanian (kecerobohan?) Moamar Gaddafi di Libya melawan hegemoni AS dan sekutu (NATO). Walau kini porak-poranda, kecerobohan Gaddafi menginspirasi negara-negara sekitarnya. Syria, Iran, Palestina dan lain-lain menjadi batu sandungan bagi Barat dalam upaya tata ulang dominasi di kawasan kaya minyak tersebut. Terutama Iran, betapa telah diembargo sekian dekade oleh Uncle Sam malah kemampuan ekonomi, teknologi bahkan postur militernya semakin dahsyat. Luar biasa. Tertembaknya pesawat tanpa awak milik AS di wilayah Iran merupakan bukti riil kemajuan teknologi militer Negeri Para Mullah. Bahkan sempat memunculkan fenomena di publik internasional bahwa “dunia tidak lagi percaya kemajuan teknologi Barat”, terutama teknologi perangnya!

Tesis Mackinder Dianggap Usang?

Kajian strategis Deep Stoat yang masih valid hingga kini soal politik global adalah “If you would understand world geopolitics today, follow the oil”. Ya, barang siapa ingin memahami geopolitik dunia harus mengikuti fluktuasi minyak. Itu asumsi yang mutlak dicermati dari dan kemana arah konflik itu bermula, bergerak serta berujung. Kendati sebelumnya, Halford Mackider di abad ke-19 telah mengklasifikasikan dunia ke dalam empat kawasan. Kawasan pertama adalah Heartland atau World Island. Ia mencakup Asia Tengah dan Timur Tengah; kawasan kedua disebut Marginal Lands. Meliputi Eropa Barat, Asia Selatan, sebagian Asia Tenggara dan sebagian daratan Cina; kawasan ketiga dinamai Desert mencakup Afrika Utara; dan kawasan terakhir dinamai Island or Outer Continents. Meliputi Benua Amerika, Afrika Selatan, Asia Tenggara dan Australia.

Inti tesis Mackinder menyebut, siapa menguasai Kawasan Heartland  atau “Jantung Dunia” (Timur Tengah dan Asia Tengah) yang memiliki kandungan SDA dan aneka ragam mineral, akan menuju “Global Imperium”. Menggiurkan. Pantas jika banyak negara di kawasan ini didera konflik-konflik (“ciptaan”) terus menerus. Conflict is protection oil flow and blockade somebody else oil flow. Itulah modus kuno kolonial sejak zaman bahula. Selalu menampilkan penyesatan (alih perhatian) agar tujuan utama mulus berjalan.

Dalam diskusi terbatas di GFI (4/5/2012) diperoleh pointers, bahwa tesis Mackinder kini tak lagi akurat. Terbukti dengan Smart Power-nya Brzenky melalui Arab Spring ternyata juga menggoyang Libya, Tunisia, Yaman dan negara-negara Afrika Utara lain yang nota bene bukan termasuk “Jantung Dunia” atau Heartland, tetapi hanya Kawasan Desert (Padang Pasir/Tandus). Saya justru melihat, AS dan sekutu tengah menerapkan asumsi dari Toni Cartalucci. Bunyi teorinya adalah: “Matikan Timur Tengah, anda mematikan Cina dan Rusia, maka anda akan menguasai dunia”. Sekilas tentang Cartalucci, ia adalah Research Assosciate di Central for Research on Globalization (CRG), Kanada.

Menafsir asumsi peneliti CRG di atas, intinya: barang siapa ingin menguasai dunia maka (Langkah I) harus menguasai dahulu Timur Tengah. Ini salah satu Kawasan Heartland yang dirujuk oleh Mackinder. Bila Langkah I sukses maka automaticlyberakibat “mati”-nya Cina dan Rusia (Langkah II). Hasilnya menguasai dunia! Itu benang merahnya.  Tak boleh dipungkiri memang, cengkraman Paman Sam atas enam negara Timur Tengah (Saudi Arabia, Kuwait, Bahrain, EUA, Oman, Qatar) melalui Dewan Kerjasama Teluk (GCC) semenjak 1979-an terbukti unggul, terkait dominasi minyak dunia. Ya, GCC merupakan “pabrik dolar” terbesar dunia bagi AS, oleh sebab hampir semua transaksi minyak diendap dulu di The Fed, sang pencetak dolar. Pertanyaan: Kenapa Rusia dan Cina tidak juga “mati” bahkan sekarang justru semakin menggeliat kendati sebagian Timur Tengah dalam cengkeraman AS? Seberapa besar sich ketergantungan Cina dan Rusia terhadap Timur Tengah, dan kenapa musti “mati” jika mereka dikuasai negara lain? Tidak dijelaskan oleh Cartalucci.

Agaknya ia lupa, bahwa Rusia kini sudah Autarky (negara swasembada) seperti halnya Kanada. Artinya kecil sekali tingkat ketergantungan terhadap negara lain. Justru Cina yang masih tergantung impor. Maka menafsir asumsi tadi, hipotesa penulis semata-mata karena skema energi sebagai kunci utama setiap manuver apapun, terutama militer. Ya, Asia Tengah dan Timur Tengah (Heartland) adalah basis produsen minyak dunia, meskipun pada  perkembangan selanjutnya banyak negara di Afrika Utara, Amerika Latin dan Rusia telah menjadi net oil exporter.

Alasan lain penyebab berubahnya geopolitik dari Jantung Dunia ke Laut Cina Selatan, selain banyaknya “faktor kesulitan” pada Langkah I (kuasai Timur Tengah) seperti terus melawannya Bashar al Assad di Syria, penjegalan veto dua adidaya –Cina dan Rusia– di forum PBB untuk resolusi ala NATO yang memporak-porandakan Libya kemarin dan lain-lain. Selain itu roadshow Ahmadinejad, Presiden Iran mencari sekutu baru di Amerika Latin, bahkan berencana masuk menjadi anggota Shanghai Cooperation Organization (SCO) sungguh merisaukan Barat. Sekilas perihal SCO bermula kerjasama ekonomi antara Cina-Rusia, namun kini cenderung mengarah pada pakta pertahanan antar negara-negara anggota dalam rangka mengimbangi hegemoni NATO di dunia.

Kembali ke Cartalucci, secara fisik AS sedang menerapkan (Langkah II): mematikan Cina dan Rusia. Sudah barang tentu motif pun tidak jauh dari The Power of Oil, doktrin keramat elit AS dalam penguasaan minyak di jagad ini. Perkembangan terakhir memang tak bisa dielak, bahwa skema distribusi energi (minyak) global kini berpindah ke Laut Cina Selatan, bahkan konon 80% impor Cina melalui perairan tersebut. Perhatikan kajian strategis Deep Stoat di atas!

Dalam Langkah II tersebut tersirat hasrat Washington merebut New Road Silk (Jalur Sutra Baru) yang terdiri atas Laut Cina Selatan – Selat Malaka – Laut Andaman – Teluk Benggal dan lainnya hingga melenggang ke Lautan Hindia. Ingat doktrin Alfred Mahan yang hingga kini tetap disakralkan oleh AL-nya: “Barangsiapa menguasai Lautan Hindia, maka ia menjadi kunci dalam percaturan dunia”. Pantas!

Leon Panetta: Dukung ASEAN “Bertindak Seragam”

Data GFI terdahulu, terutama catatan “Perang Asia Timur Raya” (10/01/2012), sudah meramal pergeseran Perang Dunia III dari Timur Tengah ke Laut Cina Selatan. Adapun inti alasannya meliputi:

(1) Peristiwa fenomenal awal 2012-an adalah “gerakan menolak US Dollar” yang diprakarsai Cina-Jepang. Perusahaan kedua negara sepakat mengkonversi mata uang masing-masing tanpa lebih dulu mengkonversi ke dolar AS. Ini mencengangkan dunia. Prakiraan GFI 2012 menyebut: bahwa sikap kedua negara tadi akan menimbulkan gelombang imitasi. Ditiru oleh banyak negara baik akibat efek langsung maupun tidak langsung, ataupun karena snawball process alami. Dengan kata lain, jika publik internasional serempak menolak dolar niscaya timbul “Tsunami Dolar”, dimana dolar kembali ke negeri asal menjadi tumpukan kertas-kertas tidak berharga. Inilah awal kiamat bagi Amerika kelak!

Maka berbagai cara diyakini ditempuh oleh AS guna menghentikan gerakan menolak dolar, bila perlu memakai kekuatan militer. Irak misalnya, ketika Saddam Hussein berkoar hendak mengganti dolar dengan euro pada setiap transaksi minyak dan cadangan devisa negara, maka seketika negeri 1001 malam itu diserbu AS dan sekutu dengan beragam dalih. Libya mungkin contoh kedua, utang Barat atas minyak Libya sebesar US$ 200 milyar membuat Gaddafi “ceroboh” mengira NATO tidak akan menyerangnya. Ketika ia mencetak uang emas (dirham) lalu mengumumkan bahwa setiap transaski minyak dan utang Barat harus dibayar dirham, bukan uang kertas (dolar) seperti lazimnya. Gaddafi mengancam, jika utang tidak dibayar dirham (emas) maka konsesi minyak Barat yang habis 2012 diberikan kepada Rusia dan Cina. Seketika Libya dihajar dengan bom oleh NATO pimpinan AS. Itulah sekilas utang dibayar bom! (Baca: Perampok Internasional dan Kisah Utang Dibayar Bom, di www.theglobal-review.com).

Data lain yang tak kalah penting adalah utang asing AS terbesar justru dari Cina sejumlah US$ 1,107 triliun dan Jepang sebesar US$ 1,038 triliun (CNBC, Kamis, 2/2/2012). Mungkin kini sudah bertambah? Silahkan apabila ada data terbaru.

(2) Kawasan Heartland serta Selat Hormuz pada khususnya ialah “pabrik dolar” bagi AS karena transaksi minyak di Teluk masih memakai US Dollar. Bandingkan dengan beberapa negara yang sudah mencampakkan dolar dalam setiap transaksi, seperti Iran misalnya, atau Rusia, India dan beberapa negara Amerika Latin. Maka menyalakan api perang di kawasan tersebut, bagi AS identik menghancurkan dapur sendiri. Ya, Hormuz merupakan selat utama bagi delapan negara produsen minyak di Teluk Persia (Arab Saudi, UEA, Qatar, Bahrain, Oman, Kuwait, Irak dan Iran). Dan hampir setiap 10 menit kapal-kapal tanker berlayar membawa 40% minyak dunia, atau sekitar 90% ekspor minyak dari negara-negara tadi. Apa jadinya bila perang meletus di basis produksi dan distribusi minyak dunia?

Menurut Prof Michel Cossudovsky, pendiri CRG, Kanada, jika benar meletus PD III di Jalur Sutra maka seluruh Timur Tengah/Asia Tengah akan masuk ke dalam suatu kebakaran besar. Pertanyaan siapa yang bakal hancur adalah masing-masing pihak bertikai, bahkan mengimbas ke seluruh dunia. Harga minyak bakalan melambung diikuti harga-harga barang dan jasa!

Selaras dua alasan di atas, hipotesa Uncle Sam tengah menerapkan Langkah II Cartalucci seperti gayung bersambut karena AS selain ingin secepatnya membangun sistem pertahanan rudal di Asia guna melawan manuver Korea Utara, kemungkinan justru ditujukan kepada Cina. Ia juga mendukung pembentukan ASEAN Security Community tahun 2015. Menteri Pertahanan (Menhan) AS, Leon Panetta menegaskan akan memperluas pengaturan militer di Asia Tenggara dan Samudera Hindia, termasuk peningkatan kerja sama dengan Australia dan menempatkan kapal-kapal perang di Singapura. Bahkan berjanji menggeser 60% armada tempur AS di Asia Pasifik. Kepada para Menhan ASEAN, Panetta mendukung “tindakan seragam” dan menyusun kerangka aksi yang berkekuatan hukum terkait Laut Cina Selatan. Itulah yang sedang terjadi.

Kesimpulan

Sesuai judul dan uraian-uraian di atas, point utama simpulan dalam tulisan sederhana ini adalah: Bahwa benar ada peralihan geopolitik global dari Jalur Sutra menuju Laut Cina Selatan. Ibarat arak-arakan sebongkah awan, ia bergerak perlahan namun pasti. Slow but sure. Sedang pointers lain yang mengiringi adalah sebagai berikut:

Pertama: Tema sentral atau “pembenaran ideologis” –meminjam istilah Jean Bricmott– yang ditebar oleh Barat bukan lagi soal kemiskinan dan korupsi yang dijadikan bahan gerakan massa (Arab Spring) di Tunisia, Yaman dan Mesir. Atau masalah demokrasi dan kejahatan kemanusiaan sebagaimana dituduhkan kepada Suriah dan Libya. Tidak pula masalah isue nuklir guna memprovokasi dunia untuk menggoyang Iran, dan lainnya. Ya, isu pokok soal konflik Laut Cina Selatan kini bertemakan “sengketa perbatasan”. Inilah titik kritis (achilles) yang menjadi isue pergerakan para adidaya karena mudah diletuskan menjadi konflik terbuka dalam rangka merebut skema baru dominasi, meraih hegemoni dan bahkan mungkin “tata ulang” kekuasaan di tingkat global.

Kedua: Aktor-aktor dalam pagelaran tak lagi antara Iran dkk versus AS dan aliansi, tetapi berubah antara Cina Cs melawan AS dan sekutunya. Sedang yang dimaksud dengan istilah “sekutu Uncle Sam” bukanlah melulu kelompok Barat, kemungkinan “sekutu” dimaksud justru dari kalangan negara-negara Asia yang selama ini masuk ranah orbitnya, terutama para Commonwealth,  jajaran negara persemakmuran ex jajahan Inggris. Itulah garis besar mapping konflik di Laut Cina Selatan nantinya.

Ketiga: Anjuran “tindakan seragam” sesuai dukungan Panetta kepada Menhan se-ASEAN boleh dimaknai provokatif. Artinya agar negara-negara yang tengah bersengketa masalah perbatasan silahkan bersatu “mengeroyok” Cina, dan AS selaku “Polisi Dunia” akan mem-back up dengan kekuatan 60% armada laut di perairan. Jangan khawatir, sistem pertahanan rudal pun tengah dipersiapkan. Itulah bacaan tersirat arahan “tindakan seragam” ASEAN di Laut Cina Selatan. Kata Pepe Escobar, politik praktis itu bukan apa yang tersurat, melainkan apa yang tersirat (2007).

Keempat: Bagi AS dan sekutu, perpindahan lokasi konflik dari Jalur Sutra ke Laut Cina Selatan seperti mengulang modus kolonialisme sewaktu mengeroyok Libya secara militer (berbekal Resolusi PBB No 1973 tentang No Fly Zone) yakni “Utang Dibayar Bom”. Artinya utang AS kepada Cina sebesar US$ 1,107 triliun, bakal bernasib sama dengan utang Barat kepada Libya. Entah siapa pemenang dalam pertempuran kelak, niscaya tidak akan terbayar atau dikemplang!

Silahkan saudara-saudara mencermati. Matursuwun.

* Referensi dari berbagai sumber, terutama di Web Global Future Institute (GFI), Jakarta, Central for Research on Globalization (CRG), Kanada, Iran Radio/IRIB, dan diskusi-dikusi terbatas di GFI dan di Forum Diskusi Kepentingan Nasional RI (KENARI), Jakarta.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com