Konflik Rusia-Ukraina Momentum Pergeseran Tren Global dari Hegemoni Unipolar ala AS ke Kerjasama Multipolar

Bagikan artikel ini

Ada banyak segi dari aksi militer Rusia ke Ukraina yang terlalu naif dan sederhana jika langsung menghakimi negeri beruang merah tersebut sebagai agresi. Apalagi sebagai serangan terhadap integritas teritorial negara lain.

Tak kurang dari pakar hukum internasional Dr Hikmahanto Juwana dalam keterangan persnya baru-baru ini, secara kategoris membedakan secara substansial pasal 2 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa terkait kasus ini.

Menurut Hikmahanto, sepertinya ada yang tidak sinkron antara pernyataan Presiden pada tanggal 24 Februari yang menyerukan dihentikannya perang, dengan langkah kebijakan Kementerian Luar Negeri RI yang diambil sebagai dasar keputusan menyikapi Resolusi Majelis Umum PBB.

Rapat darurat Dewan Keamanan PBB Jumat, (25/2/2022) membahas Rusia dan Ukraina. (REUTERS/CARLO ALLEGRI)

Jika arahan Presiden Jokowi kepada Kemlu dengan merujuk pada Pasal 2 ayat 3 Piagam PBB yang mewajibkan suatu negara untuk menyelesaikan sengketa mereka secara damai sehingga tidak membahayakan perdamaian dan keamanan internasional, maka sikap Indonesia seharusnya berada di barisan 5 negara lain yang menentang Resolusi Majelis Umum PBB, atau setidaknya berada di jajaran 35 negara yang mengambil sikap Abstain. Bukannya berada di barisan 141 negara yang mendukung Resolusi PBB, sehingga praktis Indonesia berada di kubu AS dan NATO.

Para diplomat kemlu yang berada di forum PBB, bertentangan dengan isyarat yang disampaikan Presiden Jokowi, justru merujuk pada pasal 2 ayat 4 Piagam PBB yang mewajibkan suatu negara agar menahan diri dari penggunaan kekerasan(perang) dalam hubungan internasional terhadap integritas wilayah negara lain.

Karena Kemlu dan para diplomat kita di PBB entah dengan alasan apa, nampaknya lebih merujuk pada pasal 2 ayat 4, maka sikap pemerintah Indonesia kemudian masuk dalam skema kepentingan AS dan NATO, mengecam serangan militer Rusia ke Ukraina sebagai agresi.

Mungkin gambar senja, langit dan alam

Andrew Sheng dalam sebuah artikelnya di situs the Star, dengan mengutip pakar Hubungan Internasional asal AS John Mearsheimer, menulis bahwa ekspansi AS dan NATO itulah yang memicu rasa tidak aman Rusia. Semakin agresif AS dan NATO untuk mempersenjatai Ukraina, Rusia semakin merasa terancam dan merasa tidak aman.

Baca: Is Ukraine a metaverse nightmare?

Dalam perspektif seperti itu, saya setuju dengan Dr Hikmahanto bahwa aksi militer Rusia ke Ukraina lebih relevan masuk dalam kerangka pasal 2 ayat 3 Piagam PBB. Artinya, Indonesia seharusnya memandang kasus Ukraina yang berujung pada aksi militer Rusia, sejatinya merupakan respons terhadap manuver AS dan NATO di negara tetangga yang berbatasan langsung dengan Rusia. Sehingga dalam menyikapi Resolusi Majelis Umum PBB, Indonesia seharusnya merujuk pada pasal 2 ayat 3, sehingga tidak menghakimi aksi militer Rusia ke Ukraina sebagai aggressor. Melainkan lebih mengedepankan pentingnya mencegah perang dan menghindari cara-cara kekerasan demi untuk menciptakan perdamaian dan keamanan internasional. Seraya pada saat yang sama ikut serta memprakarsai langkah-langkah diplomatik untuk menyelesaikan konflik Rusia-Ukraina ke meja perundingan. Namun jangan sampai larut dalam skema kepentingan strategis AS dan NATO.

Sebab seperti ditulis oleh Andrew Sheng, secara esensial Rusia menginginkan Ukraina berfungsi sebagai buffer zone atau daerah penyanggah yang netral seperti Austria, yang mana tidak memihak pada kepentingan AS dan NATO, namun tetap membuka diri dalam kerjasama perdagangan dengan negara-negara lain.

Sayangnya, media-media arus utama di Barat seperti stasiun tv CNN dan BBC, nampaknya mengambil sudut pandang yang menempatkan Presiden Putin dan Rusia sebagai pihak antagonist. Bahkan lebih buruk lagi, kedua media arus utama Barat tersebut bertumpu pada prasangka dan antipati pada Putin dan Rusia terkait masalah Ukraina.

Namun demikian, ada suara dari perspektif yang berbeda dan cenderung melawan arus pemberitaan media-media arus utama seperti BBC dan CNN. Salah satunya, muncul dari media berpengaruh sayap kanan AS, Fox News. Dalam sebuah acara yang diasuk Tucker Carlson Tonight, Tucker melontarkan sebuah pertanyaan serius mengapa rakyat Amerika harus membenci Putin? Dan andaikan sampai meletus perang AS vs Rusia untuk urusan Ukraina ini, haruskah biaya perang ditanggung rakyat Amerika?

Kalau kita renungkan, pertanyaan serius yang dilontarkan Tucker masuk akal dan menggugah kesadaran masyarakat umum Amerika. Bahkan satu lagi pertanyaan Tucker yang cukup menohok: Adakah landasan moral para elit partai Demokrat untuk sedemikian rupa membenci Putin sehingga mengabaikan gambaran besarnya yang jauh lebih mengkhawatirkan, yaitu biaya perang yang harus ditanggung oleh rakyat Amerika?

Apakah rakyat Amerika bersedia untuk terlibat dalam perang musim dingin menghadapi Rusia? Kedua, apakah rakyat AS bersedia menanggung beban kenaikan harga gas ketika harga minyak semakin meningkat di atas 100 dolar AS per barrel?

Mungkin gambar luar ruangan

Selain itu, sanksi ekonomi dari Uni Eropa saya kira tidak akan efektif, karena negara-negara di Eropa tidak akan mau menanggung resiko terhentinya pasokan gas dari Rusia. Mengingat fakta bahwa 35 persen pasokan gas ke Eropa, berasal dari Rusia.

Lantas satu soal lagi. Apakah Ukraina sejatinya termasuk negara demokratis? Lagi-lagi merujuk pada buku karya Tucker Carlson bertajuk Ship of fools: How a Selfish Ruling Class is Bringing America to the Brink of Revolution. Pada intinya Carlson mengatakan bahwa kaum konservatif di Amerika hanya berpikir bagaimana melayani kepentingan segelintir kelompok elitnya, daripada memikirkan nasib berbagai lapisan masyarakat yang lebih luas.

Oleh karena watak kaum konservatif Amerika yang seperti itu, khususnya kaum kapitalis global berbasis korporasi, maka pada dekade 2020an ini konflik berskala global akan semakin meningkat eskalasinya, sehingga membawa implikasi terciptanya Proxy War pada tingkatan kawasan maupun lokal. Sehingga memicu terciptanya instablitas sosial dan ekonomi.

Di dalam tren global yang semakin bergeser dari pengkutuban tunggal atau Unipolar seperti yang dianut AS dan NATO, ke erah kerjasama multipolar yang mensyaratkan terciptanya peaceful co-existence atau hidup berdampingan secara damai, maka negara-negara yang berbeda haluan ideologi, suka tidak suka harus hidup berdampingan secara damai. Lebih mementingkan kerjasama yang setara dan saling menguntungkan satu sama lain. Bai antar sesama negara adikuasa maupun antara negara-negara maju dengan negara-negara yang sedang berkembang.

Tren global dan dinamika hubungan internasional ini, seharusnya dicermati secara jeli oleh para pemangku kepentingan kebijakan luar negeri kita. Sehingga dalam menggagas solusi perdamaian antara Rusia dan Ukraina atas dasar kerangka Politik Luar Negeri RI Bebas Aktif, mampu memanfaatkan perubahan dinamika global dari Unipolar ala AS dan NATO, menuju kerjasama multipolar yang semakin setara dan saling menguntungkan, antara negara-negara maju dengan negara-negara berkembang.

Hendrajit, pengkaji geopolitik, Global Future Institute  

 

 

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com