Konglomerasi Media Massa Ancaman Demokrasi?

Bagikan artikel ini

Datuak Alat Tjumano, peneliti Lembaga Analisa Politik dan Demokrasi, Jakarta.Tinggal di Jakarta

Sorotan terhadap dampak konglomerasi media massa kembali mengemuka menjelang Pemilu 2004.  Peranan media massa baik cetak maupun elektronik yang strategis dalam sosialisasi dan pencitraan politik membuat semua kekuatan politik berupaya memanfaatkan dan menguasai media massa.Persoalannya, tidak semua partai politik memiliki tokoh yang menguasai media massaterutama private ownership media, sehingga dikhawatirkan masuknya para pemilik media massa ke kancah politik akan menimbulkan situasi yang tidak fair dan menjadi ancaman bagi kualitas demokrasi akibat monopoli media massa untuk kepentingan politik partai atau tokoh tertentu.  Fenomena ini tidak lepas dari terjunnya sejumlah pebisnis media dalam politik kepartaian seperti Hary Tanoesoedibyo pemilik MNC Group (RCTI, MNC TV, Global TV) yang bergabung ke partai Hanura, Aburizal Bakrie pemilik TVOne dan ANTV yang sekaligus menjabat posisi sebagai Ketua Umum Partai Golkar, maupun Surya Paloh sang pemilik Media Group (Metro TV dan Media Indonesia) yang kini juga sebagai Ketua Umum Partai Nasdem.

Munculnya kekhawatiran itu bukanlah tanpa alasan. Dalam sistem demokrasi, media massa dapat menjadi kekuatan sosial yang menjalankan fungsi pengawasan sosial jika dikelola dengan prinsip-prinsip jurnalisme yang ketat.  Namun, besar pula kemungkinan media massa menjadi kekuatan yang mengabdi kepada kepentingan ideologi politik modal yang menggerakannya sekaligus tunduk pada mekanisme pasar guna menggapai keuntungan yang maksimum. Dalam konteks itu, konglomerasi media massa di Indonesia memperlihatkan bagaimana media massa didominasi oleh kepentingan politik pemiliknya sekaligus menjadi instrumen bisnis meraup keuntungan melalui komodifikasi informasidalam pasar yang oligopolistik.

Konglomerasi dan cross ownership (kepemilikan silang) dalam industri media massa sebenarnya telah diatur ketat dalam UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.  Meski UU ini memberikan batasan terhadap peluang konglomerasi dan cross ownership guna melindungi publik dari homogenisasi dan monopoli informasi, namun secara faktual aturan yang tersedia belum mampu mengatasi “keganasan” bisnis media massa.  Bahkan, Giddens mengatakan bahwa dalam demokrasi, pemilik media merupakan kekuatan yang sulit untuk ditundukan.

Konglomerasi dan cross ownership dalam industri media massa tidak akan menimbulkan persoalan ketika media massa dikelola secara profesional sesuai dengan azas dan prinsip jurnalistik yang berlaku universal yakni objektifitas, akurat, adil dan berimbang, serta dapat menjaga netralitasnya.  Situasi media massa yang demikian, dapat memperkuat demokratisasi karena terjadinya luberan informasi yang akurat dan kredibel sehingga masyarakat mengalami perkembangan field of reference dan term of reference yang penting bagi konsideran dalam keputusan dan tindakan kritis terhadap semua fenomena yang dialami.  Hal ini mengandaikan bahwa masyarakat memiliki kemampuan untuk memfilter dan menseleksi informasi secara kritis sehingga dapat menjaga jarak dari homogenisasi yang dikonstruksi media serta efek agenda setting yang tidak menutup kemungkinan dimainkan oleh media massa.

Konflik Kepentingan

Konflik kepentingan terjadi ketika media massa ditunggangi kepentingan pemiliknya.  Menurut Fortunato (2005), pemilik modal dapat menentukan dan mempengaruhi konten media yang ditransmisikan ke publik karena penguasaanya terhadap dukungan anggaran dan organisasi media, proses seleksi dan framing, serta kekuasaan atas personalia yang mengelola media.  Dengan kekuasaan yang dimiliki, media massa menjadi sarana untuk menggiring perhatian khalayak untuk memperhatikan isu-isu tertentu, termasuk mengubah perhatian khalayak dari satu isu ke isu lainnya sesuai kepentingan politik pemiliknya (Cohen, 1963).  Transmisi informasi kemudian menjadi kebijakan pemilik media melalui seleksi dan framing. Pemilik media menentukan informasi mana yang akan dikonsumsi oleh publik, kapan waktunya, berapa lama durasinya, seberapa sering intensitasnya, guna mendukung agenda settingkekuatan politik yang diwakilinya?.  Bahkan, media massa dapat digunakan sebagai sarana blackcampaign untuk mendiskreditkan lawan-lawan politik dari pemilik media.

Potensi konflik kepentingan dalam konglomerasi media massa ini secara faktual dapat dilihat dari munculnya sikap media massa yang cenderung partisan dan tidak netral dalam pemberitaan.  Lihat sajakeberadaan Aburizal Bakrie sebagai pemilik TV One dan ANTV sekaligus ketua umum Golkar yang sedikit banyak memberi insentif politik tersendiri baik bagi kepentingan politik Aburizal Bakrie maupun Golkar.  Meski tahapan kampanye pemilu 2014 belum dimulai, mereka sudah dapat memanfaatkan media massa yang dikuasai guna sosialisasi, pencitraan, mengcounter opini sekaligus propaganda politik dengan menseleksi informasi yang akan diberitakan pada publik melalui media mereka.  Begitupula dengan MNC Group yang kini gencar menopang pencitraan politik Hanura maupun Wiranto dan Hary Tanoesudibyo yang telah mendeklarasikan diri sebagai pasangan Capres dan Cawapres dalam Pilpres 2014.  Hal serupa terjadi dengan media massa di bawah kendali Media Group yang sulit untuk menghindari tudingan sebagai mesin kampanye dan pencitraan Surya Paloh maupun partai Nasdem.

Meski secara formal media massa di Indonesia seperti MNC Group, Bakrie Group maupun Media Group tidak pernah menyatakan bahwa mereka memiliki hubungan afiliatif maupun partisan terhadap kekuatan politik.Namun relasi antara pemilik modal yang merangkap politisi membuat para pengelola media massa tidak bisa netral dari kepentingan politik pemilik modalnya.  Sehingga konflik kepentingan antara media massa yang harus tunduk pada kaidah-kaidah jurnalistik dalam menyajikan informasi kepada publik dengan kepentingan politik dari pemilik media tersebut menjadi tidak terhindarkan.

Netralitas dan Akuntabilitas Penting Bagi Demokrasi

Memang tidak semua pemilik konglomerasi media massa menjalin relasi yang afiliatif dengan kekuatan politik.  Sejumlah pemain media besar seperti Trans Corp, SCTV maupun Indosiar masih menunjukan sikap politik yang relatif otonom dari perebutan pengaruh politik atau setidaknya relatif berpandangan moderat terhadap isu-isu politik.  Keberadaan media massa yang netral ini penting bagi peningkatan kualitas demokratisasi politik.  Netralitas media massa akan memberikan kesempatan yang fair dan setara bagi semua kontestan politik untuk memanfaatkan ruang publik dalam mempengaruhi masyarakat.  Begitupula masyarakat akan memiliki akses informasi yang akurat, kredibel dan beragam.  Prinsip perlakuan yang fair dan setara inilah kondisi yang diperlukan dalam memperkuat demokrasi (Lively, 1975).  Hal itu dapat terjadi jika para pemilik media dapat memisahkan antara kepentingan politiknya dan profesionalisme jurnalistik yang harus dijalankan oleh awak media.

Akuntabilitas publik juga merupakan hal yang penting bagi media massa.  Harus disadari bahwa frekuensi yang digunakan oleh media massa terutama media elektronik merupakan barang publik yang dipinjam oleh karenanya penggunaannya harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik dan memberikan manfaat kepada publik.  Kebermanfaatan media massa bagi publik ini menyangkut fungsi penting media massa baik dalam akses informasi, hiburan, edukasi maupun pengawasan sosial terhadap jalannya kekuasaan.  Karena itu, penegasan netralitas dan akuntabilitas publik bagi media massa tentu harus dirumuskan secara tegas, termasuk muatan sangsi atas pelanggarananya dalam aturan penyelenggaraan kampanye sehingga setiap partai politik memiliki kesempatan yang sama untuk memanfaatkan media massa, sekaligus mencegah terjadinya monopoli dan hegemoni informasi oleh segelintir elit maupun kekuatan politik tertentu.  Tanpa netralitas dan akuntabilitas publik media massa, niscaya konglomerasi media massa akan menjadiancamanbagidemokratisasi.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com