Presiden Rusia Vladimir Putin secara cerdas dan imajinatif melancarkan kombinasi antara Perang Simetris (Militer) dan Perang Asimetris (Nir Militer) di Suriah, sebagai landasan awal menyusun aliansi strategis baru di Timur Tengah, seraya mematahkan sistem Unipolar AS yang dirancang sejak Pasca Perang Dingin, baik di Eropa maupun di berbagai kawasan lain.
Peran aktif Rusia yang dimotori langsung oleh Presiden Vladimir Putin nampaknya semakin menemukan momentumnya yang kuat menyusul kunjungan Presiden Suriah Bashar al Assad ke Moskwa pada Selasa 20 Oktober 2015. Hal ini terungkap melalui tiga agenda pertemuan terpisah selama Assad berada di Moskwa yaitu: Pertemuan dengan Presiden Putin bersama Menteri Luar Negeri dan Menteri Pertahanan. Kedua, pertemuan tertutup kedua presiden disusul jamuan makan malam.
Pernyataan Presiden Assad yang mengapreasiasi keputusan Putin untuk melancarkan serangan udara terhadap milisi Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS) yang dimulai pada 30 September lalu, sebagai sebentuk aksi untuk menumpas terorisme agar tidak menyebar di kawasan Suriah dan sekitarnya, nampaknya harus dibaca sebagai sikap dan tekad bersama Suriah dan Rusia untuk membendung campur-tangan Amerika Serikat dalam mendukung kelompok-kelompok bersenjata anti-Assad seperti seperti Fron Al Nusra, sempalan al Qaeda pimpinan Osama bin Laden sejak 2011 lalu.
Dengan demikian, keterlibatan militer Rusia, khususnya Angkatan Udara, tidak dipandang oleh Suriah sebagai bentuk campur-tangan urusan dalam negeri maupun pelanggaran kedaulatan dan integritas wilayah Suriah, melainkan sebagai suatu kerjasama militer kedua negara dalam menumpas aksi terorisme yang secara diam-diam mendapat dukungan dari Amerika Serikat dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Yang mana baik Suriah maupun Rusia menyadari sepenuhnya, bahwa sasaran pokok sesungguhnya AS dan sekutu-sekutu Eropa Baratnya adalah untuk menggulingkan Presiden Assad dari tampuk kekuasaan.
Maka tidak heran jika dalam perang persepsi yang dilancarkan oleh pihak AS dan barat, serangan udara yang dilancarkan Rusia tersebut dimaksudkan untuk mendukung keberlangsungan kekuasaan Assad seraya menyerang pasukan oposisi moderat maupun yang berhaluan Islam.
Namun bagaimanapun juga, manuver Rusia memainkan peran aktif secara militer di wilayah Suriah, telah memaksa AS dan sekutu-sekutu baratnya untuk mempertimbangkan solusi politik untuk penyelesaian Krisis Suriah. Yaitu dengan melibatkan peran aktif Rusia dan mengikutsertakan Presiden Assad dalam proses perundingan perdamaian di Suriah.
Pada tahapan ini, permainan catur politik internasional Rusia, nampaknya dua tiga langkah lebih maju dibandingkan AS dan NATO, dalam memprakarsai terciptanya perdamaian yang lebih berkeadilan bagi semua pihak yang terlibat dalam konflik di Suriah.
Dengan demikian, rencana AS untuk menjadikan dirinya sebagai polisi dunia di Suriah dan Timur Tengah pada umumnya, nampaknya akan terbendung oleh manuver Rusia yang mengkombinasikan aksi militer dan aksi diplomatik dalam keterlibatannya di kancah krisis Suriah. Artinya, dalam skema perdamaian Suriah AS tidak lagi menjadi satu-satunya aktor dominan dalam mengatur tata ulang formasi kekuatan global di Suriah khususnya, dan Timur Tengah pada umumnya.
Momentum Rusia Gagalkan Skenario Kutub Tunggal (Unipolar) AS
Perkembangan terbaru di Suriah menyusul peran aktif Rusia, nampaknya tidak bisa dilepaskan dari pola perubahan dan pergerakan geopolitik Rusia. Sehingga pada gilirannya telah menciptakan transformasi Politik Luar Negeri yang cukup mendasar pada pasca Perang Dingin.
Berbicara mengenai transformasi politik luar negeri Rusia, berarti kita bicara mengenai Doktrin Primakov, sebuah cetak biru politik luar negeri Rusia yang disusun oleh mantan Perdana Menteri Rusia Yevgeny Maksimovich Primakov. Menurut doktrin ini, aliansi strategis yang diperlukan agar Rusia bisa menjadi kekuatan penyeimbang dalam konstalasi global, terutama untuk mengimbangi pengaruh Amerika Serikat dan Eropa Barat, maka perlu dibentuk poros Moskwa, Beijing dan New Delhi (Rusia, Cina dan India). Oleh Primakov doktrin ini disebut Strategic Triangle.
Memang doktrin ini disusun dalam kerangka untuk membangun aliansi antara Rusia dan negara-negara di Asia Pasifik. Namun Doktrin Primakov ini juga sebagai landasan bagi Rusia untuk membangun aliansi strategis dengan negara-negara dari kawasan lain termasuk di Timur Tengah.
Lepas dari prioritas Rusia untuk membangun aliansi strategis dengan Cina dan India, namun gagasan strategis Rusia melalui Doktrin Primakov adalah bagaimana agar Rusia bersama-sama dengan sekutu-sekutu strategisnya, bisa melumpuhkan konservatisme trans-atlantik di masa depan.
Upaya yang dicanangkan Rusia untuk melumpuhkan konservatisme yang melandasi persekutuan antara AS dan negara-negara Eropa Barat yang tergabung dalam NATO, maka secara tersirat Rusia bermaksud mematahkan skema Kutub Tunggal/MonoPolar yang didominasi oleh AS dan Uni Eropa. Pada tataran inilah,maka persekutuan Rusia dengan Cina menjadi satu hal yang cukup strategis.
Itu sebabnya mengapa pada 2001 lalu Rusia kemudian menjalin komitmen bersama Cina melalui Shanghai Cooperation Organization (SCO). SCO dipandang Rusia sebagai saluran atau kran untuk mengeluarkan atau membebaskan Rusia dari kepungan negara-negara barat. Baik dari Amerika maupun Uni Eropa. Sebagaimana kita ketahui, dari arah barat, Rusia menghadapi rudal yang dipasang pihak Eropa Barat dari Polandia dan Chech.
Selain itu, Rusia memang punya visi Timur. Karena itu Cina harus jadi agenda pokok untuk membangun aliansi. Cina memang musuh masa lalu Rusia, tapi juga bisa jadi kawan masa kini. Inilah gunanya kesepakatan strategis Rusia-Cina melalui SCO.
Dalam kasus Suriah ini, terbukti bahwa dalam manuver Rusia menggempur basis-basis milisi ISIS di Suriah, Cina mendukung sepenuhnya langkah yang diambil oleh Rusia. Sehingga tercipta keseimbangan antar kekuatan-kekuatan global yang bermain di Suriah, sehingga Presiden Assad berhasil membendung skenario AS dan milisi-milisi anti-Assad yang bermaksud merebut kedaulatan nasional Suriah dengan dalih membantu penggulingan Assad dari tampuk kekuasaan. Sehingga solusi politik krisis Suriah tidak melibatkan Assad di dalamnya. Dengan terciptanya keseimbangan baru di Suriah, skenario AS dan NATO praktis berhasil digagalkan.
Sejak kepemimpinan Presiden Putin, nampaknya terlah terjadi revitalisasi politik luar negeri beruang merah tersebut. ejak Vladimir Putin tampil sebagai presiden, Rusia berhasil merobah 180 derajat, dari keterpurukan pasca runtuhnya Uni Soviet pada 1989, kembali jadi negara adidaya. Sehingga Rusia secara tegas tak akan bersedia melepaskan negara Turkistan, Kazakhtan, Kirgistan, dan sebagainya, yang kita tahu berada di kawasan Asia Tengah. Rusia juga tidak mau melepaskan pengaruhnya di semua sektor, termasuk energi dan pangan, di kawasan Caucasus seperti Azerbaijan, Armenia dan Georgia. Itulah sebabnya Rusia tetap menjalin kedekatan dengan negara-negara mantan satelitnya, termasuk Cina.
Apalagi, Presiden Putin menekankan tiga pilar diplomasi Rusia. Pertama, Kekuatan militer. Kedua, Ilmu dan Teknologi, termasuk industri. Dan Ketiga adalah energi.
Dengan tiga pilar diplomasi ini, Putin yakin bisa kembali menjadi negara adidaya. Karena di era Perang Dingin, sebenarnya Rusia bukan negara superpower yang sebenarnya karena secara ekonomi Rusia masih lemah. Meski secara militer dan persenjataan Rusia memang termasuk negara superpower. Itulah sebabnya Rusia ingin mengembalikan kejayaannya seperti di masa silam. Tidak saja di sektor militer, melainkan juga di bidang industri dan Ilmu Pengetahuan.
Bagi Putin dan para “pemangku kepentingan” kebijakan luar negeri Rusia, sejak runtuhnya Tembok Berlin dan berakhirnya Perang Dingin yang ditandai dengan runtuhnya rezim-rezim komunis di Eropa Timur sejak 189-1990, Rusia memang merasa terkepung oleh negara-negara Eropa Barat. Sehingga Rusia merasa AS dan sekutu-sekutu baratnya, sedang menggunakan momentum keruntuhan-keruntuhan Eropa Timur untuk membangun sebuah KUTUB TUNGGAL atau Unipolar.
Pada bulan-bulan sesudah runtuhnya Tembok Berlin dan bersatunya kembali Jerman Barat dan Jerman Timur, Amerika Serikat dan Uni Soviet dan Jerman Barat terlibat dalam serangkaian perundingan tentang penarikan mundur pasukan Soviet dari wilayah Jerman Timur menysul penyatuan kembali Jerman.
Rusia mengklaim, pada waktu itu ada kesepakatan dengan pihak barat bahwa sebagai kompensasi atas penarikan pasukan Rusia, pihak barat berjanji tidak akan memperluas keanggotaan NATO. Bahkan para pejabat AS yang bekerjasama erat dengan para pemimpin Jerman Timur, mengisyaratkan tidak akan diperluas ke paruh bagian timur dari wilayah yang kemudian menjadi Jerman bersatu. Janji “tersirat” dari para pejabat AS dan Jerman Barat inilah yang oleh Rusia dipegang sebagai kompensasi. Sehingga waktu itu Rusia tidak menghambat reunifikasi Jerman.
Namun janji itu menurut Moskwa, kemudian dilanggar oleh pihak barat. NATO justru memperluas keanggotaannya dengan merangkul 12 negara Eropa Timur bekas komunis dalam tiga babak perluasan. Langkah ini tentu saja dipandang Moskwa sebagai upaya menyudutkan dan mengepung Rusia.
Pihak AS tentu saja membantah klaim Rusia ini. Namun seiring perkembanna waktu, dan dengan boleh dibukanya berbagai dokumen rahasia era 1989-1990 saat ini kepada publik, para sejarawan kiranya bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi waktu itu.
Yang jelas, tren ke ara Kutub Tunggal atau Unipolar yang dirancang oleh AS dan beberapa negara Eropa Barat, nampaknya memang dirasakan betul oleh Presiden Putin dan para pemangku kepentingan kebijakan luar negeri Rusia.
Sedemikian rupa, bahkan sangat menghantau Presiden Putin secara pribadi. Dalam pidatonya di depan peserta diskusi pada Konferensi Munich tentang Kebijakan Keamanan pada 10 Februari 2007, Putin berkata:
“Dunia unipolar yang dicanangkan Setelah Perang Dingin pun tidak terjadi. Sejarah kemanusiaan telah melewati periode unipolar dan melihat aspirasi-aspirasi menuju supremasi dunia. Lalu apa saja yang belum pernah terjadi ndalam sejarah manusia?”
Namun, apakah yang dimaksud dengan dunia unipolar? Sebagus apapun istilah ini diperindah, pada akhirnya kata itu mengacu pada satu jenis situasi, yaitu satu pusat kewenangan, satu pusat kekuatan, dan satu pusat pengambilan keputusan.
Ini adalah dunia yang hanya ada satu penguasa, satu kedaulatan. Dan pada akhirnya hal ini jelas berbahaya tidak hanya bagi setiap pihak yang berada dalam sistem tersebut, tapi juga kedaulatan itu sendiri sebab ia merusak dari dalam.
Dan hal semacam ini jelas tidak ada kesamaan apapun dengan demokrasi. Karena, seperti yang anda ketahui, demokrasi adalah kekuatan mayoritas dengan mempertimbangkan kepentingan dan pendapat minoritas.
Secara kebetulan, Rusia, kami, secara terus-menerus diajari tentang demokrasi. Tapi, entah kenapa mereka sendiri, yang mengajari kami, tidak mau mempelajarinya.
Saya pikir model unipolar ini bukan hanya tidak dapat diterima namun juga mustahil di di dunia saat ini. “
Agaknya, peran aktif yang dimainkan Rusia baik secara militer maupun politik untuk mencari solusi damai dalam Krisis Suriah, bisa jadi momentum awal Rusia memotori gerakan untuk mematahkan skema Unipolar AS dan Eropa Barat. Tidak saja di kawasan Eropa, melainkan juga di kawasan-kawasan lain seperti Timur Tengah, Asia Tengah, Asia Timur dan Asia Tenggara.
Lantas, bagaimana Indonesia merespon tren terbaru ini dalam kerangka Politik Luar Negeri yang Bebas dan Aktif? Ada baiknya ini akan jadi bahasan topik dalam tulisan-tulisan berikutnya.
Penulis: Hendrajit, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments