Memudarnya Amerika Serikat Sebagai Polisi Dunia di Suriah, Momentum Rusia Sebagai Keseimbangan Baru di Timur Tengah

Bagikan artikel ini
Keseimbangan baru sudah tercipta di Suriah, menyusul  manuver militer Rusia menggempur beberapa daerah yang diduga keras menjadi basis-basis militer ISIS. Apalagi dalam perkembangannya kemudian, peran aktif Rusia tersebut mendapat dukungan sepenuhnya dari Iran dan Irak. Menarik menyimak tajuk rencana harian Belanda de Volkskrant. De Volksrant menulis:
“Kremlin memainkan langkah caturnya di Suriah, agar Barat dalam mencari solusi krisis tidak bisa lagi melangkahi Rusia. Di waktu belakangan ini terlihat jelas, militer pendukung Bashar al Assad semakin banyak kehilangan wilayah teritorialnya. Namun berkat dukungan Rusia, rezim di Damaskus kini kembali stabil. Dengan kehadiran angkatan udara Rusia, kini opsi untuk memaksa larangan terbang angkatan udara Assad juga tidak akan sukses.”
Lain lagi komentar harian Perancis, La Croix, yang menyarankan agar para pihak yang terlibat dalam konflik Suriah, bersepakat untuk duduk di meja perundingan. Lebih lanjut harian ini menulis:
“Apa yang diharapkan dari serangan udara Amerika dan Perancis ke posisi ISIS (Islamic State of Iraq and Syria)? Juga apa tujuan peningkatan kekuatan militer Rusia di Suriah? Saat ini situasinya kacau balau, antara solusi diplomasi atau militer. Harapan mendesak ISIS dari wilayah teritorial yang direbutnya serta memulai dialog politik dengan Damaskus, masih sulit diwujudkan.  Lebih baik jika para aktor penting yang terlibat dalam konflik Suriah bisa bertemu di sela-sela Sidang Umum PBB. Ini paling tidak akan jadi titik awal jalan keluar krisis.”
Sekelumit komentar beberapa tajuk rencana surat kabar Belanda dan Perancis yang notabene merupakan media arus utama di Eropa Barat, kiranya cukup mengejutkan mengingat selama ini negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa cenderung memihak Amerika Serikat dan NATO dalam campur tangan militernya dalam menjatuhkan pemerintahan Presiden Bashar al Assad.
Bahkan Presiden Perancis François Hollande, secara terus terang menyatakan akan melancarkan aksi militer bersama Rusia untuk menggempur ISIS. Menariknya lagi, Kanselir Jerman Angela Merkel, dalam beberapa pernyataannya cenderung mendorong peran aktif Rusia dalam penyelesaian konflik Suriah. Lebih jauh lagi Kanselir Merkel mendesak agar Rusia memainkan peran aktif, seraya melibatkan Presiden Assad dalam proses penyelesaian konflik tersebut.
Tentu saja pernyataan Kanselir Merkel sejalan dengan pandangan Presiden Vladimir Putin yang juga menegaskan keharusan melibatkan Presiden Assad dalam mencari solusi penyelesaian krisis Suriah.
Sepertinya, dalam kasus penyelesaian krisis Suriah, Amerika Serikat dan Inggris berseberangan sikap dengan Perancis dan Jerman yang cenderung mendukung perlunya peran aktif Rusia dan keterlibatan Presiden Assad dalam penyelesaian krisis Suriah melalui jalan damai.
Nampaknya AS harus mulai menyadari kenyataan politik baru di Timur Tengah dan Suriah pada khususnya, bahwa negara Paman Sam ini bukan lagi sebagai satu-satunya kutub tunggal di kawasan Timur Tengah dan Afrika, sebagaimana terjadi semasa Perang Dingin dan Pasca Perang Dunia I dan Perang Dunia II.
Langkah catur Rusia, telah membuka jalan menuju terciptanya tata dunia baru di Timur Tengah dan Afrika atas dasar multi-polar ketimbang mono-polar. Apalagi dengan indikasi kuat bahwa Jerman dan Perancis dalam kasus Suriah, nampaknya menerapkan strategi yang tidak sejalan dengan AS dan Inggris, dalam penyelesaian Krisis Suriah.
Aksi Militer Rusia Untuk Perangi Terorisme
Di atas permukaan, memang alasan khusus Rusia untuk melancarkan aksi militer di Rusia adalah untuk menggempur ISIS. Berarti, sasaran pokok adalah untuk menumpas terorisme yang bercokol di Suriah. Bukan ditujukan untuk memerangi rakyat Suriah seperti yang pernah dilakukan oleh Uni Soviet ketika melakukan invasi militer ke Afghanistan pada akhir 1970-an.
Sebaliknya Amerika Serikat dan NATO, yang sasaran pokoknya adalah ,menggulingkan pemerintahan Suriah yang berada di bawah kepemimpinan Presiden Assad, justru memberi angin kepada kelompok-kelompok milisi bersenjata yang punya rekam jejak dalam melancarkan aksi-aksi terorisme di masa lalu. Dengan melatih dan memberikan bantuan senjata kepada beberapa beberapa kelompok radikal seperti Fron Al Nusra, sempalan al Qaeda.
Bahkan pada perkembangannya kemudian, di Suriah diinformasikan ada sekitar 2000 Jihadis yang berasal dari negara-negara eks Uni Soviet, yang  tentunya dipandang oleh Rusia sebagai ancaman nyata bagi keamanan nasional negeri beruang merah tersebut. Fakta inilah yang kemudian menjadi dasar bagi Presiden Putin untuk meningkatkan kekuatan militernya di basis angkatan laut Tartus, sekitar 100 km di barat kota Homs Suriah. “Ketimbang menunggu mereka kembali ke Rusia, lebih efektif jika membantu Assad menumpas mereka di Suriah,” tambah Putin.
Iran, selain sejak semula memang menentang keras campur tangan AS dan NATO untuk menggusur Presiden Assad, nampaknya bisa menerima alasan Presiden Putin bahwa aksi militernya di ISIS hanya sebatas untuk menumpas aksi terorisme ISIS dan kelompok-kelompok Islam radikal yang disokong dari belakang oleh Amerika Serikat dan Inggris dalam kerangka NATO.
Apapun alasannya, keterlibatan Rusia dalam krisis Suriah telah menciptakan suatu equilibrium baru, sehingga Amerika Serikat sekarang tidak lagi menjadi Polisi Dunia dan satu-satunya kekuatan yang memonopoli penguasaannya terhadap kawasan Timur Tengah.
Sehingga satu-satunya cara untuk menciptakan solusi damai di Suriah adalah dengan melibatkan semua pemain kunci yang terlibat krisis Suriah, termasuk Presiden Bashar al Assad.
Situasi terkini menyusul aksi militer Rusia yang didukung oleh Iran dan Irak untuk menumpas aksi terorisme ISIS, harus diakui telah memperkuat kembali posisi politik Presiden Assad, termasuk keberhasilannya merebut kembali beberapa daerah yang semula berhasil diduduki oleh milisi-milisi bersenjata anti- Assad yang didukung oleh AS dan Inggris.
Suriah Bagian Integral dari Nasionalisme Arab 
Mesir, Suriah, Irak, Sudan, Aljazair, Yaman Utara, Yaman Selatan, Libia, dan Tunisia orientasi pemerintahannya berhaluan progresif revolusioner. Sedangkan Arab Saudi, Yordania, Maroko, dan kerajaan-kerajaan para Syech di Teluk Parsi seperti Kuwait, Qatar, Bahrain dan Uni Emirat Arab, dapat dipandang sebagai pemerintahan yang berhaluan konservatif.
Hambatan pokok persatuan Arab itu adalah adanya perbedaan-perbedaan antar Arab dalam sikap terhadap negara-negara Barat, keberadaan Israel sebagai sebuah negara-bangsa, dan masalah Palestina merdeka. Akibat dari perbedaan-perbedaan itu, seringkali berkembang menjadi perselisihan dan bahkan permusuhan, tidak hanya antar negara melainkan juga antar kelompok negara-negara.
Mesir, Suriah, dan Yaman, setidaknya pernah mencoba membangun kekuatan bersama antar negara-negara Arab atas dasar skema Nasionalisme Arab. Menyadari bahwa orang-orang Arab merasa sebagai satu bangsa yang memiliki satu bahasa, satu kebudayaan, satu sejarah dan satu nasib serta penanggungan. Untuk mewujudkan terciptanya hari depan yang gemilang, mereka merasa perlu untuk mengembangikan gagasan persatuan di antara mereka sebagai kesatuan politik.
Maka, pada 1957, dibentuklah Republik Persatuan Arab antara Yaman dan persatuan Irak dan Yordania. Pada 1958 terbentuklah penggabungan Mesir dan Suriah menjadi Republik Persatuan Arab. Mereka membentuk penggabungan tersebut didasari keinginan untuk memperjuangkan pembebasan wilayah Arab dan kekuasaan asing, selain membangun persatuan dan kerjasama erat negeri-negeri Arab dalam satu negara.
Berakhirnya Perang Dunia I dan kekalahan Jerman dan Turki pada 1917, telah memberi momentum kepada masyarakat Arab di Jazirah Arab dan Suriah untuk melepaskan diri dari kekuasaan Turki Usmaniyah berkat bantuan senjata dari Inggris.
Dalam perang itu kerajaan Usmaniyah Turki akhirnya mengalami kekalahan dari tentara Sekutu yang dimotori oleh Amerika Serikat dan Inggris. Sebagai akibatnya, Turki harus melepaskan sebagian besar wilayahnya, termasuk negeri-negeri Arab. Namun akibat campur tangan Inggris, Perancis dan gerakan Zionis Yahudi, masyarakat Arab gagal untuk mendirikan satu negara Arab merdeka yang meliputi seluruh wilayah Arab.
Inilah yang pada gilirannya memicu fragmentasi atau suatu perpecahan di Dunia Arab menjadi banyak negara. Begitupun, dengan terciptanya sistem mandate Liga Bangsa-Bangsa sesudah Perang Dunia I, nasionalisme Arab mendapat suatu aspek baru, yaitu perlawanan terhadap Inggris di Mesir, Irak, dan Palestina, dan perlawanan terhadap Perancis di Suriah serta Lebanon.
Berkat perjuangan kaum nasionalis Arab, secara berturut-turut lahirlah sejumlah negara Arab merdeka: Yaman(1958), Mesir (1922), Arab Saudi (1924), Irak (1932), Lebanon dan Suriah (1943), Transyordania (1946), Libia (1951), Sudan, Maroko, dan Tunisia (1956), Kuwait (1961), Somalia dan Mauritania (1960), Aljazair (1962), Yaman Selatan (1967), Oman, Qatar, dan Bahrain (1970), dan akhirnya negara-negara Trucial dan Teluk Parsi, yang kemudian bergabung menjadi Uni Emirat Arab (1971).

Penulis: Hendrajit, Peneliti Geopolitik Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com