Dr Kusnanto Anggoro, Pakar Hubungan Internasional dan Program Studi Strategi-Keamanan Universitas Indonesia, dalam makalahnya yang dipresentasikan di depan forum seminar terbatas Global Future Institute (30/04), menegaskan bahwa berakhirnya INF Treaty menyusul pembatalan sepihak oleh Presiden Donald Trump, sudah bisa diprediksi.
Dalam makalahnya, peneliti senior Center Strategic for International Studies (CSIS) itu menulis bahwa berakhirnya INF Treaty (2019) hanyalah sekadar fenomena paling kontemporer yang berlangsung saat ini. Yaitu akibat adanya perubahan geopolitik yang berlangsung secara dramatis beberapa tahun belakangna ini.
Lebih lanjut Kusnanto mengatakan, pusat kemajuan teknologi rudal saat ini berada di luar kerangka INF. Jadi tidak sebatas Amerika Serikat dan Rusia saja.Melainkan juga Perancis, Jerman, Turki, India, Pakista, Korea Utara, Iran dan Israel.
Dalam paparannya Kusnanto Anggoro menggambarkan bahwa dalam INF Treaty yang ditandatangani oleh Ronald Reagan dan Gorbachev pada 1987, melarang pengembangan ujicoba dan pemilikian ground-lounched (rudal balistik dan jelajah) baik debgab nuklir maupun konvensional pada 1987. Sehingga berhasil mengakhiri Perang Dingin.
Di Eropa, keunggulan Rusia saat ini sulit ditandingi oleh Amerika yang semakin sulit memperoleh tempat penggelaran rudal. Dengan adanya Brexit dan post Merkel Jerman, diperkirakan akan menyebabkan kekalutan di kalangan negara-negara yang tergabung dalam Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).
Pada era pasca berakhirnya Perjanjian INF, perlombaan rudal di Asia Timur akan semakin meningkat, yang mana baik Cina maupun Korea Utara sama-sama berkeinginan untuk berada pada posisi yang menguntungkan dalam berhadapan dengan Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya.
Kusnanto juga mengingatkan bahwa Cina dan Korea Utara memiliki kapasitas rudal dan nuklir yang tidak bisa dipandang remeh. Apalagi kemampuan nuklir di Asia Pasifik saat ini terkonsentrasi di Cina, Korea Utara, Jepang, Taiwan, dan Australia.
Dalam konstalasi dan latarbelakang situasi global yang seperti itu, Tanpa terikat lagi oleh Perjanjian INF, Amerika Serikat dapat mengembangkan dan menempatkan rudal di Asia Pasifik(Jepang,Korea Selatan, Taiwan). Dengan demikian, bisa dipastikan Cina akan melakukan respons yang lebih agresif, yang selama ini cenderung menahan diri (Self Restraint). Sebatas pada DF-10. DF-21, dan DF-26.
Selain itu, di era Pasca INF Treaty, Amerika punya beberapa keuntungan:
- Secara strategis tidak tergantung pada ground launched missile, sehingga lebih ke sea and air launched missiles.
- Beberapa negara sekutu AS maupun sekutu potensial sudah menggelar Aegis (BMD), seperti Taiwan.
- Hanya soal waktu AS memperkuat strategi access atau area denial dengan menempatkan rudal di Asia Pasifik, termasuk di Laut Cina Selatan.
Dengan demikian Kusnanto Anggoro berkesimpulan bahwa dunia tanpa rejim non-proliferasi bakal mendorong meningkatnya perlombaan persenjataan berbasis teknologi canggih. Terutama di Asia Timur. Selain itu, dalam satu dasawarsa mendatang akan menjadi periode yang amat menentukan nasib Indonesia. Sebab berakhirnya rejim-rejim nonproliferasi bilateral seperti INF maupun New Start, bisa dipastikan akan memicu perlombaan senjata di Asia Pasifik dan Asia Tenggara. Sehingga pada giliranya juga akan mengubah watak perang maupun metode peperangan.
Sayangnya dalam situasi yang krusial seperti itu, Indonesia masih sangat lemah dalam menghadapi perang non-konvensional berbasis teknologi canggih. Minimal sampai tahun 2024.
Akhirnya, Kusnanto mengajukan beberapa saran dan rekomendasi yang cukup menarik. Pertama, untuk mengatasi kelemahan Indonesia dalam menghadapi perang nonkonvensional berbasis teknologi canggih, Indonesia harus menemukan ranah diplomasi baru, yaitu fokus pada isu nonproliferasi sebagai fokus baru diplomasi pertahanan. Seraya mulai melakukan reorientasi di bidang industri pertahanan ke arah niche industry.
Tanpa adanya terobosan pada 2020-2024, Indonesia akan lumpuh sebelum bertempur.Prakarsa yang pasti harus segera dilakukan Kementerian Luar Negeri, Kemenerian Pertahanan, dan para stakeholders kebijakan luar negeri lainnya. Yang paling penting dari itu semua, perlu adanya perubahan mindset maupun strategi, khususnya di Kementerian Pertahanan.