Lagi, AS Sulut Ketegangan di Semenanjung Korea

Bagikan artikel ini

Sudarto Murtaufiq, Peneliti Senior Global Future Institute (GFI) Jakarta

Untuk kesekian kalinya AS kembali menyulut ketegangan di Semenanjung Korea menyusul rencana pemerintahan Trump untuk mengelar latihan militer di kawasan. Hal ini ditegaskan oleh Menteri Pertahanan Amerika Serikat, Jim Mattis, yang mengatakan AS tidak berencana melanjutkan penghentian latihan militer di Semenanjung Korea. Hal ini menunjukkan proses diplomasi Korea Utara dan AS memiliki gangguan karena sebelumnya latihan dihentikan untuk menghormati proses denuklirisasi.

“Kami sebelumnya mengambil langkah untuk menunda beberapa latihan militer besar karena diskusi yang baik terjadi usai pertemuan di Singapura. Namun, saat ini kami tidak berencana menunda pelatihan militer lagi,” kata Mattis, dikutip dari laman The New York Times, Rabu (29/8).

Ia menambahkan, sebenarnya ada latihan militer yang akan dilakukan di Semenanjung Korea. Namun, ia juga mengatakan seharusnya Korea Utara tidak salah menginterpretasikan hal ini sebagai perusak kepercayaan hasil negosiasi terkait denuklirisasi. “Jadi, pelatihan militer ini dilanjutkan,” kata Mattis menegaskan.

Pada Juni lalu, Trump memutuskan untuk menunda latihan militer tahunan yang telah lama direncanakan di Korea Selatan. Hal ini bahkan mengejutkan sejumlah petinggi militer AS. Namun, kini AS memutuskan untuk tidak lagi menunda latihan militer tersebut dan menunjukkan ada tensi antara AS, Korsel, serta Korut.

Sebelumnya, media negara Korea Utara mengkritisi AS atas aksi yang dinilai provokatif dan langkah militer yang berbahaya di Laut Pasifik. Akhir pekan lalu, Trump juga mengumumkan Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo batal mengunjungi Pyongyang.

Perkembangan yang terjadi di Semenanjung Korea saat sejatinya mengisyaratkan adanya pertarungan hegenoni antara AS dan negara-negara yang dianggapnya musuh kompetitornya saat ini, terutama China dan Rusia. Hal ini kian menegaskan adanya perubahan peta jalan geopolitik di kawasan Asia Timur yang ditandai dengan menguatnya China, terutama di bidang ekonomi dan militer.

Dengan demikian, apa yang dipandang sebagai ketegangan di Semenanjung Korea merupakan refleksi dari komunikasi intensif antara AS dan China. AS tentu tidak bisa membiarkan dominasinya di kawasan itu memudar begitu saja. Sementara di sisi lain, Cina juga memperlihatkan strategi geopolitik yang cukup agresif dan mengkhawatirkan AS.

Selain kedua negara itu, Rusia pun masih memiliki pengaruh yang besar di kawasan Asia Timur sehingga tidak akan membiarkan pertarungan geopolitik di Semenanjung Korea dimenangkan salah satu dari dua pesaingnya itu.

Kelompok konservatif Jepang juga tidak mau ketinggalan, dan memanfaatkan ketegangan di kawasan Asia Timur untuk meningkatkan kapasitas militer dengan mengubah pemahaman Pasal 9 Konstitusi Jepang dari kekuatan militer yang bersifat bertahan atau self-defense, menjadi bersifat ofensif dengan kemampuan untuk melancarkan serangan militer kepada negara-negara lain.

Penulis juga sependapat dengan pandangan Sekjen Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Korea Teguh Santosa yang mengatakan bahwa pembicaraan denuklirasasi dan perdamaian di Semenanjung Korea yang hanya melibatkan enam negara, yakni AS, Cina, Rusia, Jepang, Korsel dan Korut, tidak akan efektif mengingat semuanya memiliki kepentingan langsung di kawasan itu. Karena itu diperlukan negara baru yang terlibat aktif, dan Indonesia berpeluang besar.

Teguh yang sudah berkali-kali mengunjungi Korea Utara juga menggarisbawahi bahwa Korea Utara membangun kapasitas militer dan persenjataan nuklirnya tiada lain hanya untuk menjaga agar dirinya tidak diperlakukan semena-mena.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com