Beberapa artikel yang dilansir media massa baru-baru ini mengindikasikan adanya campurtangan Uni Eropa lewat badan dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mempolitisasikan isu hak-hak asasi manusia (HAM) di Papua, salah satu provinsi Indonesia di bagian Timur.
Seperti dilansir harian the Jakarta Post 8 Maret 2022 lalu, pemerintah Indonesia mengajukan protes keras atas laporan sepihak yang disampaikan oleh tiga orang pakar hak-hak HAM PBB dalam menyorot tindak pihak aparat keamanan Indonesia dala menangani konflik yang berlangsung di Papua.
Baca: Indonesia to protest ‘ill-intentioned, click-bait’ UN Papua report
Nampak jelas dari laporan tiga pakar HAM PBB tersebut, bermaksud campurtangan dalam urusan dalam negeri Indonesia. Adapun celah yang digunakan adalah dengan mempolitisasi isu HAM Papua dan mendorong elemen-elemen pro kemerdekaan Papua yang bermaksud memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), untuk menginternasionalisasikan isu HAM di PBB, maupun forum-forum internasional terkait lainnya.
Laporan tiga pakar PBB tersebut secara jelas menggambarkan adanya agenda tersembunyi tersebut. Misalnya, ketiga pakar HAM PBB tersebut mengeluarkan pernyataan bersama yang menyerukan dibukanya akses bagi para aktivis HAM ke Papua dan Papua Barat.
Seraya mendesak pemerintah Indonesia untuk membentuk tim investigasi independen dengan dalih adanya dugaan penyalahgunaan kekuasaan terhadap penduduk lokal Papua (indigenous communities) di Papua. Joint Statement tersebut ditandatangani oleh tiga pakar HAM PBB Francisco Cali Tzay, Morris Tidball-Binz, dan Cecilia Jimenez-Damary.
Terkait dengan seruan tiga pakar HAM PBB tersebut, sudah seharusnya pemerintah Indonesia cq Kementerian Luar Negeri, menolak desakan Uni Eropa maupun PBB untuk memainkan peran aktif dalam penegakan HAM di Papua maupun di kawasan Asia Tenggaa pada umumnya.
Sebab di balik politisasi isu HAM dan internasionalisasi Papua, terkandung maksud agar negara-negara Uni Eropa, Inggris dan AS, untuk memainkan isu HAM untuk memaksa pemerintah Indonesia tunduk pada skema politik dan ekonomi negara-negara adikuasa blok Barat tersebut.
Skenario Kosovo untuk Papua Merdeka?
Berbagai upaya dan manuver politik AS maupun Uni Eropa dalam mendukung upaya internasionalisasi Papua, sebenarnya sudah sering dilakukan. Pada 2009 di era pemerintahan AS di bawah Presiden Barrack Obama, sebuah sumber di lingkungan Departemen Luar Negeri mengungkap adanya usaha intensif dari beberapa anggota kongres dari Partai Demokrat Amerika kepada Organisasi Papua Merdeka (OPM) untuk membantu proses ke arah kemerdekaan Papua secara bertahap.
Baca: Skenario Kosovo untuk Papua Merdeka
Bukan suatu kebetulan bahwa saat ini pemerintahan AS berada di bawah pemerintahan Joe Biden yang pada era Obama, menjabat wakil presiden. Obama maupun Biden sebagai presiden dari yang diusung Partai Demokrat, amat diwarnai oleh haluan Partai Demokrat yang memang sangat mengedepankan soal hak-hak asasi manusia.
Karena itu tidak heran jika Obama maupun presiden saat ini, Joe Biden, serta beberapa politisi Demokrat yang memang punya agenda memerdekakan Papua lepas dari Indonesia, sepertinya memang akan memberi angin kepada kelompok-kelompok pro kemerdekaan Papua.
Kekuatiran adanya internasionalisasi Papua yang didukung AS dan Uni Eropa kiranya bukan omong kosong. Ada beberapa elemen strategis di Washington yang memang berencana mendukung sebuah opsi untuk memerdekakan Papua secara bertahap.
Berarti, sarana dan perangkat yang akan dimainkan Amerika dalam menggolkan opsi ini adalah, melalui operasi intelijen yang bersifat tertutup dan memanfaatkan jaringan bawah tanah yang sudah dibina CIA maupun intelijen Departemen Luar Negeri Amerika. Bukan melalui sarana invasi militer seperti yang dilakukan George W. Bush di Irak dan Afghanistan.
Bagaimana skenario Kosovo untuk Papua merdeka tepatnya akan dilaksanakan? Mari kita kilas balik barang sejenak. 13 Mei 2009, terjadi provokasi paling dramatis, ketika beberapa elemen OPM menguasai lapangan terbang perintis Kapeso, Memberamo, yang dipimpin oleh disertir tentara, Decky Embiri. Meski demikian, berkat kesigapan aparat TNI, pada 20 Juni 2009 berhasil dipukul mundur.
Namun provokasi OPM nampaknya tidak sampai disitu saja. 24 Juni 2009, OPM menyerang konvoi kendaraan polisi menuju Pos Polisi Tingginambut. Konvoi diserang di kampung Kanoba, Puncak Senyum, Distrik Tingginambut, Kabupaten Puncak Jaya. Anehnya, kejadian ini hanya 50 meter dari pos milik TNI.
Dalam kejadian di Tingginambut ini, seorang anggota Brimob Polda Papua tewas tertembak. Singkat cerita, inilah sekelumit kisah bagaimana sepanjang tahun 2009 ini OPM telah melakukan penyerangan di kawasan Tingginambut hingga tujuh kali serangan.
Jika kita cermati melalui manuver politik politisi Demokrat dalam memperalat isu HAM dengan mengekspploitasi kejadian kerusuhan berantai di Papua, bisa dipastikan kedua kejadian tersebut berkaitan satu sama lain dalam arti kedua kasus kerusuhan tersebut dijadikan pintu masuk untuk memprakondisikan isu HAM masuk ke ranah politik dan jadi agenda pembahasan di berbagai forum internasional.
Dalam teori operasi intelijen, serentetan kerusuhan yang dipicu oleh OPM dengan memprovokasi TNI dan Polri, maka tujuannya tiada lain untuk menciptakan suasana chaos dan meningkatnya polarisasi terbuka antara TNI-Polri dan OPM yang dicitrakan sebagai pejuang kemerdekaan.
Skenario semacam ini sebenarnya bukan jurus baru bagi Amerika mengingat hal ini sudah dilakukan mantan Presiden Bill Clinton ketika mendukung gerakan Kosovo merdeka lepas dari Serbia, dan bahkan juga mendukung terbentuknya Kosovo Liberation Army (KLA).
Pelanggaran HAM memang merupakan isu sentral yang diangkat beberapa LSM pro Papua merdeka. Misalnya saja West Papua People’s Representative and OPM. Kelompok ini selain mengembangkan website wpik.org, menurut berbagai sumber juga mendapat dana dari sejumlah perusahaan asing.
Meski OPM belum sekuat GAM Aceh dalam menancapkan pengaruh-pengaruhnya di kalangan elit dan kelompok-kelompok basis di Papua, namun lobi-lobi OPM dengan dukungan beberapa LSM asing memang jangan sekali-kali dipandang enteng.
20 Juli 2005 lalu misalnya, berhasil meloloskan sebuah draft RUU yang salah satu klausulnya, mempertanyakan kembali keabsahan Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) dalam mendukung kemerdekaan Papua. Sekaligus juga mengkritik pelaksanaan otonomi khusus di Papua.
RUU yang kelak dikenal dengan HR (House of Representatives) 2601 itu, akhirnya sempat beredar dua versi informasi. Yang pertama mengatakan telah dicabut karena mengagendakan Papua sekarang ini sudah tidak relevan lagi sehingga tidak akan menjadi hukum.
Adapun versi kedua justru masih beranggapan RUU yang membahas penelitian ulang atas proses masuknya Papua ke Indonesia sampai sekarang belum dibatalkan. Sebaliknya kita di Indonesia lebih mempercayai versi kedua ini. Mengingat versi ini justru disampaikan oleh Ketua Sub-komisi Asia-Pasifik dalam komisi Hubungan Luar Negeri Kongres Amerika.
Dan yang harus lebih diwaspadai lagi, HR2601 tersebut lingkupnya juga bisa mencakup semua kasus dan isu serupa yang terjadi di dunia. Meskipun bisa-bisa saja yang menyatakan secara eksplisit kasus Papua Barat sudah dihapuskan. Namun secara substansial, kasus Papua tetap saja dalam pantauan dan penelitian para anggota kongres Partai Demokrat.
Maka itu pemerintah Indonesia sebaiknya mulai memutuskan untuk mengabaikan saja dialog tahunan tentang HAM antara RI-Uni Eropa, serta perlu dikaji manfaatnya bagi kepeentingan nasional Indonesia.
Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)