Laut China Selatan (LCS) seolah menjelma menjadi destinasi pertempuran berikutnya antara AS dan China mengingat kawasan itu sangat memungkinkan bagi “wisatawan militer” dari kedua negara adidaya tersebut untuk menunjukkan segala “kemolekan” postur pertahanannya jika dibandingkan dengan kawasan lain di dunia. Terlebih, ambang batas suhu pertempuran di laut China Selatan bisa segera naik di bawah Presiden terpilih Joe Biden.
Harus diakui, AS dan China merupakan dua negara ekonomi terbesar dunia yang saat ini bersaing dalam segala hal mulai dari perdagangan hingga virus corona. Persaingan lain dari dua negara adidaya itu sepertinya akan lebih meluas yang memicu memicu konfrontasi militer antara keduanya. Meskipun pejabat tinggi pertahanan dari AS dan China terus menjalin komunikasi bahkan ketika hubungan yang lebih luas telah memburuk, nasionalisme yang lebih kuat di kedua negara meningkatkan taruhan politik dari setiap krisis yang ada, demikian diungkapkan Karen Leigh, Peter Martin and Adrian Leung.
Sebagaimana diketahui bahwa pemerintahan Presiden Donald Trump telah meningkatkan jumlah “operasi kebebasan navigasi” —yang dikenal sebagai FONOP — di Laut China Selatan yang bertujuan untuk merespon klaim China atas perairan tersebut. Hal ini bisa dicermati dari serangkaian manuver saat ini, yang melibatkan kapal-kapal angkatan laut yang berlayar dalam batas teritorial dari fitur-fitur darat yang diklaim oleh China, yang mencapai level tertinggi dari 10 tahun lalu setelah total hanya lima dalam dua tahun terakhir pemerintahan Obama.
Juga Kalau dilacak dari upaya provokasi AS terhadap China dalam beberapa tahun terakhir, AS juga telah meningkatkan aktivitas militer dan kehadiran angkatan lautnya di wilayah ini, termasuk kebebasan operasi navigasi (FONOP) pada bulan Januari dan Maret 2018. Dalam pidatonya selama kunjungan November 2017 ke Asia Tenggara, Presiden Donald J. Trump menekankan pentingnya operasi semacam itu, dan memastikan akses bebas dan terbuka ke Laut China Selatan. Sejak Mei 2017, Amerika Serikat telah melakukan enam FONOP di wilayah tersebut.
Dan sekarang, suara provokasi AS itu kian nyaring terdengar dengan keberadaan kapal induk USS Nimitz dan USS Ronald Reagan untuk melakukan operasi di Laut China Selatan pada Juli lalu.
Seperti dilaporkan CNN, otoritas Angkatan Laut AS menyatakan bahwa beroperasinya kapal induk AS, USS Nimitz dan USS Ronald Reagan, tidak lain adalah untuk “melakukan beberapa latihan taktis yang dirancang untuk memaksimalkan kemampuan pertahanan udara, dan memperluas jangkauan serangan maritim jarak jauh presisi dari pesawat berbasis kapal induk.”
Sepertinya, Presiden AS Joe Biden tampaknya akan mempertahankan atau bahkan memperluas jumlah FONOP. Jake Sullivan, yang didapuk menjadi penasihat keamanan nasional AS, tahun lalu, menyesali ketidakmampuan AS untuk menghentikan China dari militerisasi fitur tanah buatan di Laut China Selatan, dan meminta AS untuk lebih fokus pada kebebasan navigasi.
“Kami harus mencurahkan lebih banyak aset dan sumber daya untuk memastikan dan memperkuat, dan bersama mitra kami, kebebasan navigasi di Laut China Selatan,” kata Sullivan kepada ChinaTalk, sebuah podcast yang dipandu oleh Jordan Schneider, seorang asisten yang bertugas di Center for a New American Security yang berbasis di Washington.
Memang AS selama ini telah memainkan peran kunci dalam menjaga keamanan di perairan Asia sejak Perang Dunia II. Namun pembangunan militer Beijing, dikombinasikan dengan langkah-langkah untuk memperkuat daya cengkeramannya di wilayah yang disengketakan di Laut China Selatan, telah menimbulkan kekhawatiran bahwa hal itu dapat menghalangi akses militer AS ke perairan di lepas pantai China. Pada gilirannya, AS semakin berupaya untuk menunjukkan hak untuk melakukan perjalanan melalui apa yang dianggapnya sebagai perairan dan wilayah udara internasional.
Diplomasi Tersendat
Ada sejumlah peristiwa yang menyulut ketegangan aantara AS dan China dalam setiap perundingan. Lihat saja misalnya pada tahun 2001, tabrakan di udara antara pesawat pengintai Angkatan Laut AS dan jet tempur China memicu insiden internasional, dengan awak Amerika ditahan selama 10 hari di pulau Hainan. Selama pembicaraan dekat pada tahun 2018 antara kapal perusak Luyang China dan USS Decatur, kapal perang China memperingatkan kapal Amerika itu akan “menanggung konsekuensi” jika tidak mengubah arah, menurut South China Morning Post.
“Kami tentunya tidak ingin berperang memperebutkan beberapa batu karang, tetapi sekali lagi kami tidak ingin membiarkan China mengubah aturan dengan kehadiran mereka,” kata Joe Felter, mantan wakil asisten menteri pertahanan untuk Asia Selatan, Asia Tenggara dan Oseania dalam pemerintahan Trump. Mereka akan mendesaknya sejauh yang mereka bisa.
China mengklaim lebih dari 80% Laut China Selatan, salah satu rute pengiriman tersibuk di dunia, berdasarkan peta tahun 1947 yang menunjukkan tanda samar yang kemudian dikenal sebagai “sembilan garis putus-putus”. AS memperkirakan bahwa lebih dari 30% perdagangan minyak mentah maritim global melewati perairan tersebut.
Perebutan Kepentingan
Kapal-kapal China, Selama beberapa dekade terakhir ini, terlibat bentrok dengan kapal-kapal dari negara-negara lain yang sama-sama mengklaim atas wilayah tersebut, terutama Vietnam dan Filipina untuk mencegah mereka mengekstraksi sumber daya tersebut. China National Offshore Oil Corp., penjelajah laut dalam utama, pada tahun 2012, mengundang pengebor asing untuk menjelajahi blok-blok di lepas Vietnam yang telah diberikan oleh para pemimpin Hanoi kepada perusahaan termasuk Exxon Mobil Corp. dan OAO Gazprom.
China telah diuntungkan dengan menurunnya soliditas di antara negara-negara Asia Tenggara, yang memungkinkan strateginya untuk hanya mengupayakan negosiasi bilateral dengan setiap penggugat untuk “melunasi”. Sementara Vietnam telah menolak pembicaraan dengan China, Filipina mencapai kesepakatan kerangka kerja dengan Beijing untuk eksplorasi bersama dan mencabut moratorium operasi di perairan sengketa yang diberlakukan sebelum mengajukan kasus arbitrase.
AS, sementara itu, telah memasukkan CNOOC ke dalam daftar perusahaan China yang dimiliki atau dikendalikan oleh militer China, yang dapat mengganggu operasinya. Pada bulan Juli, pemerintahan Trump secara resmi mendukung putusan arbitrase 2016 dan berjanji untuk menolak “penindasan” China.
“Dunia tidak akan mengizinkan Beijing memperlakukan Laut China Selatan sebagai kerajaan maritimnya,” kata Menteri Luar Negeri Michael Pompeo pada saat itu. “Amerika mendukung sekutu dan mitra Asia Tenggara kami dalam melindungi hak kedaulatan mereka atas sumber daya lepas pantai, sesuai dengan hak dan kewajiban mereka di bawah hukum internasional.”
China bersikeras bahwa posisi hukumnya dibenarkan dan menolak langkah pemerintahan Trump untuk menghukumnya atas setiap aktivitas di Laut China Selatan. Pada bulan September, Menteri Luar Negeri Wang Yi mengatakan AS “menjadi pendorong militerisasi terbesar” di perairan tersebut.
“China berharap negara-negara di luar kawasan, termasuk Amerika Serikat, akan sepenuhnya menghormati keinginan dan harapan negara-negara di kawasan, alih-alih menciptakan ketegangan dan mencari keuntungan darinya,” katanya di hadapan pejabat dari seluruh kawasan pada pertemuan tahunan.
Namun, argumen tersebut sepertinya tidak akan berpengaruh banyak pada pemerintahan Biden. Banyak arsitek keamanan nasionalnya dengan jelas mengingat bagiamana Xi Jinping pernah memberi tahu Barack Obama bahwa China tidak berniat untuk memiliterisasi struktur darat di Laut China Selatan ketika kedua pemimpin bertemu di Gedung Putih pada 2015.
Sejak itu, China terus memiliterisasi wilayah yang disengketakan, dengan mengatakan bahwa langkah tersebut diperlukan karena “meningkatnya tekanan militer dari negara-negara non-kawasan.” Di tujuh terumbu karang atau bebatuan di kepulauan Spratly, China telah membangun pelabuhan, mercusuar, dan landasan pacu sambil juga memasang peralatan militer seperti baterai rudal di sekitar 3.200 hektar (1.290 hektar) tanah reklamasi.
Sudarto Murtaufiq, peneliti senior Global Future Institute