Lie Tek Tjeng, yang Mempopulerkan Studi Cina di Indonesia

Bagikan artikel ini
Kalau bukan yang pertama ia pastilah doktor sinologi paling senior Indonesia. Memang ada ahli lain sebelum dia tapi mereka tidak dikenal publik karena jarang “berbunyi”. Mereka hanya dikenal kalangan terbatas terutama mahasiswa yang mempelajari sinologi, sebuah disiplin baru di Indonesia setelah merdeka.
Ia boleh disebut orang yang mempopulerkan studi Cina di Indonesia pasca gergeran pertengahan 1960-an ketika Cina menjadi musuh bersama. Tidak mudah mempelajari Cina saat itu di tengah kecurigaan dan permusuhan politik. Mahasiswa yang mengambil studi sinologi mesti bekerja ekstra membuka akses informasi.
Dibanding sinolog lain pakar kelahiran Padang, Sumatera Barat, tahun 1931 itu terhitung unggulan. Melly G. Tan, yang saya profilkan beberapa hari lalu, jarang menulis artikel di media massa nasional meski ia sering jadi narasumber di forum internasional. Melly lebih dikenal sebagai pakar etnis Cina ketimbang ahli politik Cina sebagaimana Lie Tek Tjeng. Dalam vak itu Lie punya murid yang menjadi “saingan” beratnya: A. Dahana.
Jika Lie kontributor Kompas Dahana kolumnis tetap Tempo. Nyaris tiap minggu, seapes apesnya sebulan sekali, kolomnya muncul di majalah berita itu. Ada saja gerak-gerik Cina yang menarik baginya. Ulasannya detail dan gampang dipahami bahkan bagi mereka yang tidak menaruh minat pada politik Cina.
Tapi dalam jumlah karya akademis Dahana harus mengakui seniornya lebih unggul darinya.
Studi Lie tidak hanya terbatas pada politik Cina juga merambah politik Jepang. Itu sebabnya ia punya otoritas menulis strategi politik kedua negara itu dalam lebih selusin bukunya. Dalam bidang sinologi saya kira tak ada pakar lain yang melebihi produktivitasnya. Dahana hanya menulis beberapa buku di jurusan itu, tidak sampai setengah lusin.
Mungkin Lie ilmuwan sinologi pertama lulusan Harvard. Studi lanjutnya, Master dan Ph.D (1962), semua berlangsung di universitas terbaik di dunia itu. Beda dengan Melly yang setengah Cornell setengah California atau Dahana yang produk Hawaii. Walau beda padepokan mereka dikenal pendekar sinologi yang menonjol di Indonesia. Setelah Dahana, junior dari ketiganya, nampaknya belum muncul sinolog lain yang rajin menulis di media.
Pulang dari Amerika Lie bergabung di LIPI. Ia cukup lama menjadi direktur Lembaga Riset Kebudayaan Nasional LIPI, dari 1971 sampai 1980. Saat bekerja di lembaga ilmu pengetahuan itulah masa paling produktif dalam hidupnya. Waktu itu ia bahkan satu-satunya sinolog yang kerap tampil di media sebelum Dahana menyusul di ronde berikutnya.
Tidak seperti keturunan Cina dalam bayangan publik yang hidup melimpah kemewahan Lie harus melatih otot di sawah. Seperti umumnya Cina ayahnya seorang pedagang lumayan sukses. Karena salah kalkulasi jatuh pailit. Uang tiba-tiba lenyap dari brankas keluarga. Hidup susah. Ia segera mengambil keputusan jadi petani. “Saya menjadi petani di sawah milik keluarga,” ujarnya.
Darwati Utieh, wartawan senior. 
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com