Liem Soe Liong, Mochtar Riyadi dan The Chinese Culture Heritage Center (TCCHC)

Bagikan artikel ini

Singapura selama ini memang telah dijadikan sebagai pusat perlindungan bagi Cina-Cina Perantauan. Tidak hanya di Asia Tenggara, tapi juga di Asia Pasifik. Bahkan lebih dari itu, para petinggi Singapura seperti Lee Kuan Yew dan putranya Lee Sien Lung, pernah berujar, “Yang menyatukan Cina perantauan ada dua. Darah dan Kebudayaan.”

Maka untuk merancang kerjasama yang rapi, didirikanlah The Chinese Culture Heritage Center (THCCHC). Menurut informasi yang saya himpun ketika menulis ini untuk Tabloid Detak edisi Oktober 2000, THCCHC ini meskipun resminya merupakan Pusat Warisan Budaya Cina, pada kenyataannya lembaga ini menjadi pusat kajian strategis politik dan perdagangan untuk mengusai berbagai negara di kawasan Asia Tenggara dan Asia Pasifik pada umumnya.

Bukan itu saja. Lembaga yang sempat saya sorot pada 2000 lalu itu menjalin kerjasama dengan badan intelijen Singapore.

Yang menarik dari cerita ini, TCCHC juga melibatkan Mochtar Riyadi dan Liem Soe Liong. Kedua konglomerat ini duduk sebagai Dewan Penyantun.

Dari serangkaian informasi lepas ini, bisalah saya simpulkan bahwa TCCHC sejatinya merupakan komunitas intelijen Cina yang berkedok sebagai lembaga warisan budaya Cina. Karena menurut beberapa sumber, TCCHC pernah ikut bermain mematangkan terjadinya rusuh Mei 1998.

Seperti menyebarkan desas-desus tentang bakal terjadinya krisis rupiah kepada orang-orang Cina di Indonesia. Dengan cara disebar melalui Medan, lalu kemudian ke Jakarta.

Dalam kaitan dengan penyebaran desas-desus ini, jaringan intelijen Singapore kabarnya juga sempat menyebarkan agen-agennya ke Indonesia. Mereka umumnya berperan sebagai mahasiswa dan umumnya mengambil jurusan sastra.

Mereka ini kemudian menjalin kerjasama dengan jaringan yang ada di Indonesia. Tujuannya: Membangun Solidaritas Cina perantauan se-dunia.

Lantas bagaimana modus operandinya?

Pernah dengar THE BAMBOO NETWORK?

The Bamboo Network, merupakan sebuah buku karya  Murray L Weidenbaum terbit pada 1996. Judul lengkap buku ini: The Bamboo Network: How Expatriate Chinese Entrepreneurs are Creating a New Economic Superpower in Asia. Martin Kessler Books, Free Press.

Buku ini berkisah ihwal para pengusaha Cina di luar negeri yang  memainkan peran penting dalam pembangunan sektor swasta di kawasan ini. Khususnya Asia Pasifik dan Asia Tenggara. Bisnis mereka merupakan bagian dari jaringan bamboo. Yaitu jaringan bisnis Cina di luar negeri yang beroperasi di pasar Malaysia, Indonesia, Thailand, dan Filipina dengan didasari ikatan keluarga dan budaya yang sama. Transformasi Cina menjadi kekuatan ekonomi besar pada abad ke-21 mendorong peningkatan investasi di negara-negara Asia Tenggara yang memiliki jaringan bamboo tersebut.

Karena itu menarik jika Abraham Samad beberapa waktu lalu mengisyaratkan bahwa KPK akan memanggil siapapun yang terkait kasus SKL BLBI. Tak terkecuali Megawati yang kala itu menjabat Presiden RI.

Yang menarik dari kasus BLBI ini, bukan pada kasus hukumnya itu sendiri. Melainkan terkuaknya anatomi kekuatan Jaringan Bambu (Bamboo Network) dari kelompok overseas Chinese tersebut.

Mari kita telusur salah satu debitur BLBI Liem Soe Liong, melalui kasus Bank BCA yang notabene waktu itu dia merupakan pemilik saham mayoritas di bank tersebut.

Bank BCA berdiri 21 Februari 1957 dengan nama Bank Central Asia NV. Mayoritas saham dimiliki oleh Salim Group. Pada 1997, bank ini terkena imbas krisis moneter. Krisis ini membawa dampak yang luar biasa pada keseluruhan sistem perbankan nasional, bukan hanya Bank BCA. Selain karena rush, ternyata juga karena banyak kredit dari Bank BCA ke Salim Group yang macet.

Mantan Menko Perekonomian Kwik Kian Gie dalam akun FB-nya mencatat, saat terjadinya krisis moneter 1997 Bank BCA menerima BLBI – untuk meredam rush –sebesar Rp32 triliun. Dari jumlah itu yang dibayarkan oleh BCA ke BI adalah cicilan pokok Rp8 triliun. Sehingga jumlah sisa utang BLBI BCA sebesar Rp23,99 triliun atau equvalen dengan 92,8% saham Bank BCA.

Pemerintah kemudian menyita 92,8% saham BCA sebagai pelunasan utang BLBI dari Salim Group. Dari tangan keluarga Salim menjadi milik pemerintah dan hutang BLBI Salim Group lunas. Hutang BLBI sebesar Rp23,99 triliun lunas. Tapi, pada bagian lain, Salim Group masih memiliki hutang ke Bank BCA sebesar Rp52,7 triliun. Hutang ini merupakan kredit macet dari Bak BCA yang disalurkan kepada sejumlah usaha Salim Group. Artinya Salim Group masih punya hutang Rp52,7 triliun kepada Bank BCA dimana saham Bank BCA sudah dimiliki pemerintah 92,8%. Artinya hutang Salim Group Rp52,7 triliun itu merupakan hutang ke pemerintah sebagai pemilik 92,8% Bank BCA.

Pemerintah lantas menagihnya kepada Grup Salim. Namun konglomerat ini tidak memiliki uang tunai. Sehingga dibayarlah dengan skema Pelunasan Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) melalui kontrak hukum bernama Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) besarannya: hanya uang tunai Rp100 miliar dan sebanyak 108 perusahaan milik Grup Salim. Pemerintah sepenuhnya yang menentukan bahwa dengan uang tunai Rp100 miliar dan 108 perusahaan itu nilainya sama dengan hutang Grup Salim sebesar Rp52,7 triliun.

Bahkan, ironisnya, pemerintah melalui jasa penilai Lehman Brothers, mengklaim bahwa 108 perusahaan dan uang tunai Rp100 miliar itu nilainya sama dengan Rp53,304 triliun, atau ada kelebihan pembayaran sebesar Rp204 miliar. Namun pemerintah saat itu tidak menggubris klaim Lehman Brothers.

Anehnya, penilaian Lehman Brothers yang dibantu oleh PT Bahana dan PT Danareksa sebesar Rp53,304 triliun itu, saat 108 perusahaan eks Grup Salim itu akan dijual oleh BPPN dengan menggunakan jasa penilai Price Waterhouse Coopers (PWC) -, harga jual pantas ditetapkan hanya Rp20 triliun saja, dan angka dari PWC ini tertuang dalam Letter of Intent dengan IMF (mandor perekonomian Indonesia). Dalam satu kasus Grup Salim ini saja pemerintah sudah tekor Rp32,7 triliun. Anehnya, lakunya 108 perusahaan itu sama dengan penilaian PWC yakni Rp20 triliun saja.

Karena pelunasan Rp53,304 triliun itu maka Grup Salim mendapatkan Release and Discharge (R&D) atau Surat Keterangan Lunas (SKL) dari pemerintah. Mungkin Presiden Megawati berani memberikan R&D ini dikarenakan ada landasan UU No.25 TH 2000 tentang Propenas dan Putusan TAP MPR No. VIII/MPR/2000. Ketika kebijakan ini sempat digugat oleh LSM, ternyata Mahkamah Agung mengalahkan penggugat.

Anehnya lagi, hutang Grup Salim yang Rp52,7 triliun dibayar 108 perusahaan senilai Rp53,3 triliun dan dijual Rp20 triliun, pun Grup Salim masih dipuji-puji, karena angka penjualan Rp20 triliun sama dengan recovery rate 34 %. Sebab, dari obligor lainnya rata-rata hanya diperoleh 15 %. Lebih aneh lagi, para teknokrat dan ilmuwan ekonomi mengatakan recovery rate sebesar 34 % sangat ideal. Bahkan 15% dinilai sudah sangat pantas.

Namun, Liem Soe Liong bukan satu-satunya pengemplang hutang BLBI.

Penerima SKL BLBI lainnya  beberapa di antaranya adalah pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BNDI) Sjamsul Nursalim, pengusaha The Nin King, pengusaha Bob Hasan, dan Salim Group.

Nama-nama lain yang turut menerima adalah James Sujono Januardhi dan Adisaputra Januardhy (PT Bank Namura Internusa dengan kewajiban sebesar Rp 303 miliar), Ulung Bursa (Bank Lautan Berlian Rp 424,65 miliar), Lidia Muchtar (Bank Tamara Rp 189,039 miliar), Marimutu Sinivasan (PT Bank Putera Multi Karsa Rp 790,557 miliar), Omar Putihrai (Bank Tamara Rp 159,1 miliar), Atang Latief (Bank Bira kewajiban membayar Rp 155,72 miliar), dan Agus Anwar (Bank Pelita dan Istimarat Rp 577,812 miliar).

Menurut Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebutkan, dari dana BLBI sebesar Rp 144,5 triliun yang sudah dikucurkan ke 48 bank umum nasional, kerugian negara disebutkan mencapai Rp 138,4 triliun.

Di sisi lain audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menemukan penyimpangan sebesar Rp 54,5 triliun dari 42 bank penerima BLBI. BPKP bahkan menyimpulkan Rp 53,4 triliun dari penyimpangan itu terindikasi korupsi dan tindak pidana perbankan.

KPK dalam kasus ini sudah memintai keterangan beberapa terperiksa. Mereka di antaranya mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) I Putu Gede Ary Suta, Menteri Koordinator Perekonomian pada Kabinet Gotong Royong 2001-2004 Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Menteri Keuangan dan Koordinator Perekonomian periode 2000-2001 Rizal Ramli, Menteri Keuangan 1998-1999 Bambang Subiyanto, Menko Perekonomian 1999-2000 dan Kepala Bappenas 2001-2004 Kwik Kian Gie, mantan Meneg BUMN Laksamana Sukardi serta mantan Menperin Rini Soewandi.

Akankah membongkar kasus BLBI ini bakal menjadi pilot project hukum pemerintahan Prabowo-Hatta pada Oktober 2014 mendatang? Kita lihat saja nanti. Namun yang jelas, para konglomerat Cina yang dimotori oleh Sofyan Wanandi dan James Riyadi sepertinya sangat all out untuk membendung kemenangan Prabowo-Hatta menjadi Presiden RI yang ke-7.

Namun kembali ke Singapore sebagai basis operasi politik-intelijen overseas Chineseuntuk melakukan aksi destabilisasi di Indonesia, menarik untuk menyimak pandangan mantan Perdana Menteri Lee Kuan Yew seperti terdokumentasi dalam buku memoarnya bertajuk “From Third World to First- The Singapore Story (1965-2000).” Khusus pada bab membahas Indonesia yang dia beri judul: “Indonesia: From Foe to Friend,” terungkap beberapa cerita yang selama ini belum pernah kita ketahui. Khususnya beberapa peristiwa menjelang rusuh Mei 1998.

Dalam memoarnya itu,  Lee menyorot Titiek, mantan istri Prabowo, yang menemui Lee pada 9 Januari 1998 dengan misi mendapatkan bantuan dari Singapura dalam upaya mengumpulkan dana melalui surat utang atau bond dalam mata uang dollar AS di Singapura. Lee menolak karena meski ia mau melakukannya pun, langkah itu tak akan efektif selamatkan rupiah yang jeblok. Terdesak, Titiek berdalih ada isu dari Singapura yang melemahkan rupiah tahun 1998 dan menuduh bankir-bankir Singapura mendorong orang Indonesia menyimpan uang di negeri seberang. Lee menyarankan Titiek dan Suharto berkonsultasi dengan Paul Volcker, mantan pimpinan Bank Sentral AS (Federal Reserve) tetapi ujungnya, nasihatnya tak digubris. Volcker diundang ke Jakarta untuk bertemu Suharto tetapi tak diangkat sebagai penasihat.

Sekelumit kisah yang ditulis Lee tersebut, disadari oleh Lee atau tidak, telah memperkuat sinyalemen dan kecurigaan berbagai kalangan di tanah air, mengenai adanya gerakan terencana untuk meliberalisasikan perekonomian Indonesia melalui pintu masuknya yaitu terjadinya Krisis Moneter 1997-1998, yang bermuara pada kejatuhan Presiden Suharto pada 22 Mei 1998.

Penulis adalah Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com