M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)
Memahami Papua dari sisi sejarah terlihat seperti simpang siur. Adanya ragam versi catatan karena proses integrasinya dulu terdapat kepentingan-kepentingan asing menumpang bahkan hingga kini, baik internasionalisasi masalah ataupun melalui tangan-tangan “komprador”-nya di internal negeri. Oleh karena itu, membaca sejarah Bumi Cendrawasih mutlak harus dimulai dari kemerdekaan RI.
“ .. Irian Barat sejak 17 Agustus 1945 sudah masuk dalam wilayah Republik Indonesia. Orang kadang-kadang berkata, memasukan Irian Barat ke dalam wilayah Ibu Pertiwi. Salah! Tidak! Irian Barat sejak daripada dulu sudah masuk ke dalam wilayah kekuasaan Republik Indonesia…” (Pidato BK di Jayapura, tanggal 4 Mei 1963).
Berangkat dari penggalan statement Bung Karno (BK) dekade 1963-an dulu, notes ini mencoba mencermati persoalan-persoalan Papua. Inilah uraian sederhananya.
Pro Kontra dan Kronologis
Ada tiga negara koloni Eropa dekade 1866-an menjajah Papua, antara lain Belanda, Inggris dan Jerman. Kawasan timur Papua (sekarang Papua New Guinea/PNG) dijajah Jerman dan Inggris, sedang kawasan barat atau dulu disebut Irian Barat/Irian Jaya (kini disebut Papua) dikuasai oleh Belanda.
Adapun penentuan tapal batas wilayah ketiga koloni tadi adalah melalui Deklarasi Raja Prusia tanggal, 22 Mei 1885 yang membagi-bagi wilayah jajahan antara Jerman dengan Belanda, kemudian antara Jerman dengan Inggris dan lainnya. Tidak adanya klaim atas deklarasi tersebut dari ketiga pihak berkepentingan, status kawasan barat Papua (Irian Jaya, kini disebut Papua oleh Indonesia) menjadi syah milik Belanda tanpa menunggu pengakuan siapapun. Sementara via Trustee PBB/Trust Territory of New Guinea, kawasan timur atau PNG yang dikuasai Jerman dan Inggris dipercayakan kepada Australia termasuk administrasi pengelolaannya.
Belanda menetapkan Hollandia (kini Jayapura) sebagai ibukota Nederland Nieuw Guinea (17 Maret 1910). Pemberian nama Hollandia oleh Kapten Sachse mengingat Jaya Pura sebagai kota pantai dimana geografinya mirip pantai utara di Belanda. Ya, Hollandia berasal dari kata hol artinya lengkung atau teluk, dan land artinya tanah. Tanah lengkung atau kota teluk. Itulah Jaya Pura sekarang ini.
Tatkala 17 Agustus 1945 Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan, adalah mutlak dan wajar jika Indonesia menuntut semua wilayah jajahan Belanda dulu sebagai wilayah kedaulatannya. Tuntutan di atas bukan ujug-ujug namun mengacu pada Uti Possedetis, salah satu azas hukum internasional yang berlaku hingga sekarang dan telah diterapkan di berbagai negara, dimana esensinya ialah: “bahwa batas wilayah negara bekas jajahan yang kemudian merdeka, mengikuti batas wilayah sebelum negara tersebut merdeka”. Inilah ruh pernyataan BK tanggal 4 Mei 1963 di Jayapura.
Berkecamuknya Papua hingga kini, penyebab utamanya semata-mata karena “kepentingan asing” masih kuat bercokol di Bumi Cendrawasih tercinta. Kalau dulu disponsori Belanda, kini malah Amerika Serikat (AS) dan sekutu. Sebagaimana disinggung di muka, pasca proklamasi kemerdekaan ternyata asing belum rela melepas. Belanda ingin Papua menjadi bagian negaranya. Ketidakrelaan tersebut selain alasan pusat pemerintahan dulu di Jayapura (Hollandia) mirip pantai utara Belanda, namun yang utama sebenarnya karena faktor what lies beneath the surface (apa yang terkandung di bawah permukaan). Inilah fakta serta titik berlarutnya Papua dan masalah status politiknya menjadi agenda di berbagai forum global seperti Konferensi Meja Bundar (1949), Perjanjian New York (1962), Pepera (1969) dan finalisasi dalam Sidang Majelis Umum PBB, 19 November 1969.
Ketika tahun 1946 PBB mengeluarkan program dekolonisasi melalui Resolusi Majelis Umum PBB No. 66 tanggal 14 Desember 1946, dari 72 wilayah jajahan yang harus dimerdekakan (dekolonisasi) sebab berstatus wilayah tidak berpemerintahan (Non Self Governing Territories.) ternyata Papua, Malaysia dan Timor Timur masuk dalam urutan daftar. Betapa janggal, ketika Resolusi PBB justru menabrak azas Uti Possedetis hukum internasional.
Agaknya daftar dekolonisasi ini sering dijadikan rujukan para aktivis maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang ingin memisah Papua dari NKRI. Berkembang argumen di kalangan “aktivis dan LSM komprador”, bahwa kekuasaan Belanda atas Indonesia berakhir dengan invasi Jepang dalam Perang Dunia II. Indonesia diklaim sebagai wilayah ex pendudukan Jepang yang tidak terkait apapun dengan Nederland. Tatkala Papua dibebaskan pada tahun 1944 oleh Sekutu dari pendudukan Jepang kemudian dikembalikan kepada Belanda (NICA) oleh Sekutu, sesungguhnya tidak ada alasan mengklaim Papua sebagai bagian NKRI. Itulah dalih “perjuangan” aktivis pro referendum Papua. Ya, betapa sederhana argumen aktivis di atas. Lalu, bagaimana dengan perundingan Linggar Jati di Kuningan 11-12 November 1946 dan Perjanjian Renville, 17 Januari 1948 di kapal perang AS yang berlabuh di Tanjung Priok? Bukankah kedua perjanjian prinsipnya sama yakni penyerahan kekuasaan Belanda ke Republik Indonesia secara bertahap?
Terkait memanasnya Papua, Ulil Abshar Abdalla (16/6), Tokoh Jaringan Islam Liberal (JIL) yang belakangan menjabat Ketua Pusat Pengembangan Strategi dan Kebijakan DPP Partai Demokrat justru menyetujui kemerdekaan Papua. “Apakah kita masih harus mempertahankan Papua? Bagaimana kalau dilepaskan saja? Rumit!”. Saya dulu juga berpikir, Papua harus dipertahankan dengan harga apapun. Tapi saya merasa pikiran saya itu kok naif. Ia beralasan, biaya mempertahankan Papua mahal sekali. Sudah begitu, apapun yang diperbuat pemerintah pusat, akan dianggap salah terus. Capek! Ibarat kehidupan perkawinan, kalau salah satu pasangan tak mau lagi bertahan dalam ikatan perkawinan, masak harus dipaksa, pungkas Ulil.
Menguak sosial politik bertajuk Papua memang terpecah antara pro dan kontra referendum. Rakyat terbelah dua, apalagi elit politiknya. Ia kini menjadi “obyek” perhatian nasional bahkan internasional karena mampu mengucurkan rupiah dan dolar dalam jumlah menggiurkan. Dana Otonomi Khusus (Otsus) misalnya, semenjak diberlakukan UU Otsus telah tergelontor sekitar Rp 30 Triliun namun raib entah kemana. Mayoritas rakyat masih papa. Belum lagi kucuran oleh asing baik bentuk dolar, capacity building dan lainnya. Tak terhingga namun hasilnya cuma foto-foto saja! Ada pendapat konon permasalahan dasar Papua ialah ketiadaan infrastruktur. Terbatasnya jalan-jalan lintas yang tersedia hanya untuk para pengusaha tambang dan hutan. Seringkali pemerintah menyatakan tidak mampu membiayai pembangunan infrastruktur di Papua dengan alasan sulitnya medan serta biaya tinggi. Tetapi ketika ada tawaran Cina yang bersedia membangun infrastruktur gratis di Papua, kenapa justru Jakarta menolak. Ironis memang!
Modus Dibalik Isue dan Penembakan Gelap
Memahami Papua memang tidak boleh sepenggal melalui kasus-kasus yang muncul di permukaan. Adanya isue teror, pelanggaran HAM, konflik antar suku, atau penembakan gelap yang jarang terselesaikan oleh aparat keamanan secara tuntas, disinyalir memang merupakan “permainan asing” serta bagian dari modus dan metode kolonialisme.
Pernyataan Connie Rahakundini Bakrie, pengamat militer seperti mengingatkan “kelupaan” kita. “Setelah Libya, target AS berikutnya adalah Papua” (27 Maret 2011). Statement Connie bukannya tanpa dasar (TV One, 26/3/2011). Informasi Papua akan menjadi target AS sudah beredar di kalangan intelijen, bahkan sumber di Kementrian Luar Negeri mengungkap terdapat usaha intensif beberapa anggota kongres dari Partai Demokrat AS membantu Organisasi Papua Merdeka (OPM) untuk proses ke arah kemerdekaan secara bertahap. Isyarat KH Hasyim Muzadi semakin mempertebal pernyataan tadi: “Bahwa NKRI di ujung tanduk karena sparatisme Papua sebenarnya bukan mainan rakyat Papua, tetapi mainan asing dengan konspirasi sangat rapi” (RIMANEWS, 5/12/2011).
Dalam forum diskusi terbatas di “Kepentingan Nasional RI” (KENARI) yang dimentori oleh Dirgo D. Purbo, analis dan konsultan perminyakan, berkembang asumsi bahwa conflict is protection oil flow and blockade somebody else oil flow. Meminjam istilah strategi perang Cina kuno, arah asumsi Dirgo barangkali ialah “mengecoh langit menyeberangi lautan”. Seolah-olah ke barat sebenarnya ke timur. Terlihat kesana padahal membelok kesitu, dan sebagainya. Dengan kata lain, apapun konflik, teror atau bentuk kekacauan lain merupakan deception (penyesatan), taktik pengelabuhan dll sebagai ujud dari modus-modus kolonialis. Secara faktual memang sulit ditemui bahkan mungkin tidak ada bukti materiil sama sekali, tetapi circumstantial evidence (bukti keadaan) menyingkap bahwa setiap kali terjadi konflik atau penembakan gelap di Papua, maka pihak manajemen memberlakukan prosedur tetap (protap) di lingkungan dalam yakni menutup total Freeport dari dunia luar. Tidak ada yang bisa masuk melainkan “orang dalam”. Itulah yang kini terjadi. Sinyalir kuat pun menyeruak, bahwa kekacauan (“yang diciptakan”) di Papua identik dengan “pengapalan” raw material dari Freeport ke kapal-kapal AS di perairan.
Tak boleh dipungkiri, PT Freeport seperti “negara dalam negara”. Adanya fasilitas serta sistem pengamanan entah dari mana (tentara bayaran?), atau berlakunya mekanisme layaknya ksatrian militer dan lainnya. Hampir tidak terlacak di media jejak kapal-kapal tanker yang memuat raw material keluar dari perairan NKRI. Bahkan Google Earth pun seperti kesulitan membaca mapping Freeport dan Selat Malaka, sementara di sebelahnya (Malaysia) justru terlihat terang benderang. Betapa 40% tanker minyak dunia (sekitar 14 juta barel/hari) melintas Selat Malaka, sedangkan 60% perdagangan dunia memanfaatkan di perairan Indonesia (Dirgo D. Purbo, diskusi di KENARI, 15/6).
Kembali pada tiga pernyataan di atas (Connie, Hasyim Musyadi, Dirgo), seakan memberi gambaran bahwa sangat kentalnya anasir internal didukung asing berupaya melepas Papua dari NKRI. Tanda-tandanya jelas. Modus asing yang diterapkan sama bahkan identik dengan pola kolonial gaya baru di berbagai belahan dunia. Selalu isue HAM dihembuskan, freedom, demokratisasi, kemiskinan, korupsi dan lainnya. Secara kronologis, tahapan diawali oleh isue aktual yang dihembus segelintir individu (komprador) lokal, atau oleh organisasi massa (ormas) terutama LSM yang nge-link kepada asing dengan promosi media massa secara gencar. No free lunch. Artinya bila terdapat gelontoran dana luar baik kepada person, ormas maupun LSM lokal, dipastikan bahwa operasi intelijen asing tengah bermain di republik ini. Terkait modus ini, pernyataan Ulil hanyalah permulaan, atau sekedar test case melihat reaksi publik.
Biasanya memang akan dibarengi gerakan massa semodel “Musim Semi Arab” atau Arab Spring di Jalur Sutra, atau semacam Revolusi Warna di Eropa Timur dekade 2000-an dulu dan sebagainya. Ujung semua ialah hadirnya pasukan asing di wilayah target via Resolusi PBB. Kelaziman pola bisa dicermati, bila yang hadir pasukan baret biru (peace keeper) maka sasaran antaranya ialah pemilu ulang atau referendum. Sedangkan jika yang hadir NATO atau tentara multinational niscaya akan berakhir seperti Afghanistan, Irak, atau Libya yaitu bombardir wilayah atau keroyokan militer ala AS dan sekutu. Tinggal pilih.
Persis tata cara di Baluchistan, provinsi kaya minyak Paskitan, pola penanganan Papua pun seperti hendak disamakan. Kajian Global Future Institute/GFI (29/3/2012), Jakarta mengendus dua tahapan yang kemungkinan ditempuh oleh AS dan sekutu. Antara lain: (1) melakukan “internasionalisasi isue” provinsi (seolah-olah) ingin merdeka dan lepas dari negara induk. Tampaknya bila prakarsa dua anggota Kongres AS (Louie Gohmert dari Texas dan Steve King dari Iowa, keduanya Partai Republik) mampu meloloskan resolusi Baluchistan, bisa menjadi preseden buruk dan langkah serupa terhadap Papua; (2) Seiring keberhasilan dalam meng-internasionalisasi provinsi target, referendum dijadikan modus operandi memisahkan sebuah wilayah agar lepas dari negara induk melalui konflik-konflik sebelumnya yang memang “diciptakan”.
Menyimpang sedikit dari topik, dalam diskusi soal Papua di forum GFI, ada pendapat menarik dari beberapa peserta. Intinya bahwa pemikiran-pemikiran JIL kini sudah tidak laku di mayoritas umat Islam karena terlalu njlimet dan melawan Al Quran dan Hadits. Konteks liberal yang ditawarkan Ulil ternyata mencontek semangat liberal ala kaum Protestan terhadap Katolik, bukan murni pemikiran Islam. Sementara pada 2008-an, suntikan dana dari AS kepada mereka (JIL) dipangkas akibat krisis keuangan di AS. Kehadiran Irsad Manji ke Indonesia sebenarnya bagian dari paket ‘donasi’ ke lembaga tersebut, kendati JIL sadar bakal menuai protes publik (Zaky Hamzah dan Abdi Sapta GA, 16/6). Jangan-jangan konser Lady Gaga pun demikian. Betapa seorang Dubes AS di Jakarta pun sampai turun menemui DPR dan Polri, mendorong agar izin konser diberikan. Luar biasa!
Kembali terkait Papua, retorika pun muncul: Apakah Indonesia lupa kepada para “pejuang” HAM yang dulu mengadvokasi kemerdekaan Timor Timur (Timtim), penerusnya kini kembali mengadvokasi Papua atas dalih yang sama yakni HAM, kebebasan, demokrasi dan lainnya?
Geopolitik dan Perang SDA
Sebagaimana khabar di media, hadirnya ribuan marinir AS di Darwin secara tersurat adalah dalam rangka membantu Indonesia bila dirundung bencana, atau alasan mengimbangi Cina di perairan Asia Pasifik. Politik praktis bukanlah apa yang tersurat melainkan yang tersirat, kata Pepe Escobar (2007). Tatkala BK dahulu tidak berhenti menggempur Belanda di Irian Barat, semata-mata karena ia paham bila Irian Barat lepas maka Biak akan dijadikan pangkalan militer terbesar di Asia Pasifik. Ini bakal mengancam kedaulatan bangsa Indonesia yang baru tumbuh. Papua merupakan geopolitic leverage bagi Indonesia. Dan kemenangan atas Irian Barat merupakan kemenangan atas kedaulatan modal terbesar Indonesia. Di barat Indonesia punya lumbung minyak yang berada di Sumatera, Jawa dan Kalimantan sementara di Irian Barat ada gas dan emas. Indonesia bersiap menjadi negara paling kuat di Asia.
Ambisi BK adalah menjadikan energi sebagai puncak kedaulatan bangsa Indonesia: “Gerak adalah sumber kehidupan, dan gerak yang dibutuhkan di dunia ini bergantung pada energi, siapa yang menguasai energi dialah pemenang. Dunia akan bertekuk lutut kepada siapa yang punya minyak, heeey joullie (kalian = bahasa Belanda) tahu siapa yang punya minyak paling banyak, siapa yang punya penduduk paling banyak? Inilah bangsa Indonesia, Indonesia punya minyak, punya pasar. Jadi minyak itu dikuasai penuh oleh orang Indonesia untuk orang Indonesia, lalu dari minyak kita ciptaken pasar-pasar dimana orang Indonesia menciptaken kemakmurannya sendiri” (Penggalan pidato BK di peresmian pembelian kapal tanker oleh Ibnu Sutowo, 1960).
Inilah politik minyak BK, the power of oil yang kini telah diabaikan oleh anak-anak bangsa.
Predeksi BK dahulu bahwa dekade 1975-an nanti akan terjadi booming minyak dunia dan Indonesia akan menjadi negara yang paling maju di Asia. Sayang sekali, sebelum menggapai hasrat mulianya ia keburu “dijungkalkan” dari kekuasaan karena obsesinya dianggap ancaman besar bagi kaum imperialis global (1965).
Masih dalam forum GFI (18/6) tercatat pointer, bahwa pemisahan Papua telah berjalan sistematis, selain kuat bercokolnya Freeport, di pedalaman lain ternyata banyak teruji bahan tambang yang dibutuhkan sejumlah industri. Potensi besar Papua mendukung riset-riset bio teknologi sebagaimana diramalkan oleh James Canton di buku The Extreme Future, dimana salah satu dari 10 kecenderungan utama masa depan extreme, intinya AS dan sekutu menyadari peperangan berikutnya bukanlah perang konvensional dalam hal lomba teknologi dan kecanggihan persenjataan tetapi “perang sumberdaya alam (SDA) non minyak”. Seperti perang pangan, air dan perubahan iklim dan lainnya. Maka mapping peperangan kini tidak lagi antara AS versus Rusia, tetapi AS melawan Cina dan India yang disokong Jepang dan Korea. Pantaslah jika akhir-akhir ini AS memprovokasi negara-negara proxy-nya di sekeliling Negara Tirai Bambu dengan isue “sengketa perbatasan”. Agaknya ia ingin segera menghajar Cina di perairan.
Kembali ke perang masa depan, tampaknya Papua dinilai strategis sebagai batu loncatan guna menghadang produk-produk Cina, India, Korea dan Jepang yang menguasai pasar Indonesia dan ASEAN. Ya, masa depan dunia konon ada di Asia, terutama Asia Pasifik. Lebih spesifik adalah Asia Tenggara, lebih mendalam lagi yaitu Indonesia. Penempatan pangkalan militer di Darwin boleh diasumsikan sebagai tahap-tahap menjadikan Papua sebagai Negara Bagian AS ke 54. Termasuk brainstroming atas “mental impor” bagi elit dan pejabat di republik ini disinyalir merupakan bagian skenario perang masa depan —perang SDA— di Bumi Pertiwi. Indonesia hari ini dan esok merupakan proxy war (medan tempur) peperangan SDA antara AS dan sekutu versus Cina, Jepang, India dan koalisinya.
Kepentingan Asing Versus Kenari di Papua
Lambatnya pemerintah menangani Papua, selain sangat kentalnya “kepentingan asing” yang menjadi hulu persoalan. Juga jujur saja, bahwa penanganan secara sektoral oleh instansi dan lembaga berkompoten niscaya tak bakal mampu mengurai pokok masalah. Mengapa demikian, karena selain lembaga serta instansi terkait cuma menangani persoalan hilir saja, dikhawatirkan justru semakin menambah permasalahan karena berangkat dari apriori masing-masing aparat. Terlihat ego sektoral mencuat disana-sini, intip-mengintip, saling mencurigai, dan lainnya. Inilah latenitas konflik-konflik sesama aparat (keamanan) di Papua. Mutlak harus diakhiri.
Seyogyanya pemerintah pusat dengan pertimbangan daerah dan DPR RI merumuskan dulu apa “Kepentingan Nasional RI” (Kenari) di Papua. Tanpa pijakan Kenari, maka model penanganan akan berulang tidak optimal seperti yang selama ini terjadi. Turunnya Komisi DPR RI ataupun dikirimnya berbagai Tim dari instansi terkait bila ada kasus di permukaan, kalau boleh mengandaikan seperti sosok hansip hendak menyelidik markas militer, ataupun melihat dengan “kaca mata kuda”, atau barangkali bisa diibaratkan sebagai tiga orang buta menebak-nebak bentuk gajah. Masing-masing hasil akan berbeda sesuai dengan apriori dan latar belakang profesi. Sebagaimana diurai di atas, justru kepentingan asing yang tampak eksis serta terkelola baik bahkan hingga pada tahapan pola dan modus-modus operandinya. Maka pantas saja jika penanganan Papua selama ini oleh pemerintah cq instansi berkompeten tidak maksimal bahkan semakin menguat aspirasi untuk memisahkan diri.
Banyak versi tentang kepentingan nasional dan hirarkinya, namun merujuk catatan Robert Mangindaan di Jurnal CSICI, No 36 tahun 2012, bagi Indonesia terbagi dalam tiga aras: (1) Kenari Utama. Terkait dengan eksistensi NKRI sebagai negara yang berdaulat, memiliki wilayah jelas, penduduk permanen, tegaknya pemerintah legitimasi dan mampu melaksanaka diplomasi (Konvesi Montevideo-1933); (2) Kenari Penting. Berkaitan dengan segala upaya membangun dan mensejahterakan bangsa, dan lainnya; dan (3) Kenari Pendukung. Adalah hal-hal terkait dukungan dalam rangka terwujudnya kedua aras dan spektrum di atas. Itulah garis besar Kenari yang mutlak dirumuskan baik oleh pusat, daerah dan DPR RI terkait pijakan utama dalam menangani Papua dan persoalannya. Sudah barang tentu, Kenari tadi berserak di setiap lembaga, instansi dan daerah. Hal ini yang perlu segera dilangkahkan. Merumuskan Kenari bagi Papua. Dengan demikian siapapun Tim baik ia dari eksekutif, aparat keamanan terkait, LSM, legeslatif, perorangan ataupun lembaga nirlaba lain yang akan “menggempur” Papua dari berbagai sisi sudah memahami dan memiliki pijakan yang jelas. Tidak seperti sekarang ini, semuanya bergerak atas dasar kepentingan fungsi dan sektoral berbekal apriori serta ego sektoral masing-masing.
Demikianlah adanya, demikian sebaiknya.
Daftar Bacaan:
1. Kompasiana
2. The Global Review
5. http://www.facebook.com/dina.sulaeman?ref=ts//
6. Dan dari berbagai sumber lainnya terutama pointers pada diskusi-diskusi terbatas di GFI dan Forum KENARI, Jakarta