Maraknya Counter Wacana Terkait G 30 S/PKI

Bagikan artikel ini

Datuak Alat Tjumano, pemerhati masalah strategis Indonesia. Associate Researcher di Forum Dialog (Fordial), Jakarta

Persoalan ideologi di Indonesia tidak dapat dipandang sebelah mata, karena persoalan ini masih dapat menimbulkan ancaman terhadap kepentingan nasional kedepan terutama terkait dengan ideologi negara. Apalagi di era digitalisasi yang ditandai dengan adanya sosial media seperti youtube, twitter dan facebook membuat berbagai individu ataupun kelompok yang berafiliasi dengan organisasi yang berideologi tertentu bahkan yang bertentangan dengan ideologi negara semakin mudah menyebarluaskan atau mensosialisasikan pengaruh ideologinya.

Tidak hanya itu saja, sejumlah organisasi asing yang bergerak di Indonesia juga terus berupaya untuk “mensosialisasikan” persoalan ideologi yang dipandang atau dinilai oleh mereka patut “dibuka kembali” karena masih menimbulkan misinterpretasi dan misrepresentasi di tengah masyarakat, seperti acara diskusi pada 29 September 2013 yang telah berlangsung pemutaran film dan diskusi bertema “Budaya dan Konflik” yang diselenggarakan sebuah NGO dari Jerman bekerjasama dengan beberapa ormas atau NGO lokal.

Dalam kesempatan tersebut, seorang rohaniawan sekaligus budayawan mengatakan, Indonesia tidak pernah belajar dari masa lalu, sejarah telah banyak mencontohkan terjadinya pembunuhan dan kekerasan yang terjadi di Indonesia.

Seorang aktivis HAM dalam diskusi tersebut mengatakan, langkah awal yang belum dilakukan dalam mengungkapkan kasus-kasus kekerasan di Indonesia ialah dengan memberikan “nama” atas kejadian tersebut yang dapat menggambarkan betapa kejamnya peristiwa kejahatan tersebut.

Pengungkapan kasus kejahatan kemanusiaan tidak cukup dengan gerakan budaya, harus didukung melalui Pengadilan dan Komisi Kebenaran. Sedangkan, seorang sastrawan yang menjadi pembicara di diskusi tersebut mengatakan, propaganda Pemerintah Orde Baru tentang sejarah peristiwa 1965 membentuk memori kolektif tentang sejarah PKI, karena selama ini tidak ada sejarah pembanding tentang peristiwa tersebut.

Diskusi tersebut juga memutar sejumlahfilm dokumenter antara lain, Spielzeugland (Negeri Mainan) tentang kondisi Jerman pada 1942. Jembatan Bacem yang merekonstruksi pembantaian yang terjadi di Jembatan Bacem, Jawa Tengah pada 1965.

Sebelumnya, di Jakarta, berlangsung diskusi dan pemutaran film “Meneropong Tragedi 1965”. Pemutaran film ini disebut oleh “pemilik hajat” bertujuan sebagai penanda ingatan tentang tragedi kemanusiaan yang mengikuti peristiwa gerakan 30 September 1965.Sedangkan, IGP Wiranegara, sutradara film Menyemai Terang Dalam Kelam dan Tumbuh Dalam Badai mengatakan, film ini bukan untuk membangkitkan rasa dendam dan benci dari korban tragedi kemanusiaan 1965, tetapi untuk memberikan perspektif yang berbeda tentang sejarah tragedi kemanusiaan tersebut.

Film tersebut merupakan salah satu terapi penyembuhan bagi para korban yang selama ini ingin menceritakan tentang pengalamannya selama peristiwa 1965.Sementara itu, aktivis sebuah LSM yang bergerak di bidang HAM dan selama ini mengadvokasi persoalan komunisme mengatakan, pihaknya menyimpulkan bahwa pembantaian terhadap orang yang diduga simpatisan PKI dilakukan secara sistematis, dan berlangsung setelah Satuan Tentara (RPKAD) tiba di daerah tersebut.

Adapun film dokumenter lain yang diputar dalam acara tersebut antara lain, Yang Bertanah Air, Tak Bertanah, menceritakan tentang para saksi yang bercerita tentang kiprah Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dalam dunia kebudayaan dan politik. Rante Masberceritatentang para saksi yang menuturkan tempat eksekusi mati orang-orang yang dituduh komunis pada 1965 dan bagaimana mereka dibunuh.

Tjidurian 19 berisi tentang rumah budaya milik Lembaga Kebudayaan Rakyat organisasi kebudayaan yang membawa gagasan kiri. Tumbuh Dalam Badai bercerita tentang beberapa anak korban yang berjuang hidup dalam tekanan dan diskriminasi akibat tuduhan sebagai anak komunis, serta, film Die Jongen Kan Zingen (Anak Itu Bisa Menyanyi), tentang pencipta lagu Nasakom Bersatu yang dibuang ke Pulau Buru pada 1965.

Selain melalui media film documenter ataupun media film lainnya, “sosialisasi” tentang ideologi yang terkait dengan komunisme juga dilakukan melalui diskusi-diskusi ataupun seminar, seperti yang dilaksanakandi Kampus UI Depok, Jabar, berlangsung diskusi bertema “Bedah Persepsi Anti PKI : TAP MPRS XXV/1966, Masihkah Diperlukan?”, diselenggarakan sebuah majalah nasional dan majalah kampus.
Wacana yang mengemuka dalam diskusi tersebut antara lain, tidak ada rencana PKI melakukan pemberontakan, sehingga klaim tersebut merupakan kebohongan yang dilakukan pemimpin Orde Baru bersama CIA untuk menggulingkan Soekarno.

Rencana kudeta terhadap Presiden Soekarno dirancang di Manila, karena sosok Soekarno dianggap membahayakan dunia. Hasil penelitian menunjukkan Supersemar dikeluarkan karena Soekarno di bawah todongan senjata dan Supersemar tersebut bukan transfer authority, tetapi pengambil alihan keamanan.

Pembicara lainnya menyatakan, G 30 S/PKI bukan titik kulminasi pergerakan melainkan menjadi puncak peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto, dan menjadi alat teknis Soeharto untuk mengambilalih kekuasaan dari Soekarno.

Sedangkan wartawan senior yang meliput secara khusus Lekra mengatakan,Lekra bukan underbow PKI karena bukan organ resmi organisasi PKI meskipun pendirinya sebagian anggota PKI.Sudah banyak buku tentang PKI tetapi tidak pernah dibuktikan bahwa PKI terlibat dalam G 30 S untuk menggulingkan Soekarno.

Tampaknya, kegiatan pemutaran film dokumenter, diskusi dan seminar terkait dengan “misteri” G 30 S/PKI tersebut merupakan upaya berbagai kalangan untuk melakukan counter wacana terkait G 30 S/PKI dengan berbagai macam tujuan.

Karena bersifat counter wacana, maka praktek stereotype, marjinalisasi, eksklusi (pengeluaran), dan labeling terhadap kelompok-kelompok yang tidak mendukung gerakan counter wacana tersebut marak dilakukan. Kondisi ini sekilas dapat ditarik kesimpulan oleh masyarakat awam bahwa ancaman balas dendam dari kelompok neo komunisme belum tuntas, dan itu berpotensi mengganggu kepentingan nasional dan mendegradasi urgensi ideologi negara, Pancasila.

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com