Mengkaji Ketegangan Indonesia – Australia dari Perspektif Geopolitik (Bag-4)

Bagikan artikel ini

Penulis: M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)

Memetik hikmah (peristiwa politik global) terdahulu, pada catatan ini mencoba merangkai dugaan, terutama terkait konstelasi politik serta aroma perang yang akhir-akhir ini begitu semarak di Asia Pasifik dan sekitarnya. Adapun hipotesa yang terbangun adalah: “bahwa AS dan sekutu berkepentingan meletuskan Perang Dunia (PD) III guna memulihkan kembali sistem ekonomi kapitalisnya yang cenderung bangkrut”. Inilah premis kuat kajian ini. History repeat itself. Ya, sejarah niscaya berulang, meskipun kemasan, waktu dan tempatnya tak sama, akan tetapi esensi kronologisnya sering tidak berbeda.

Masih ingat great depression (krisis ekonomi) yang menimpa Paman Sam era 1930-an? Berikut cerita ringkasnya. Krisis diawali dengan kejatuhan Wall Street, akan tetapi 10 tahun kemudian ekonominya kembali bangkit setelah meletus PD II. Artinya roda ekonomi dapat bergerak lagi setelah perusahaan-perusahaan Paman Sam menerima banyak pesanan berbagai senjata, pesawat tempur dan peralatan perang lain dari negara-negara yang terlibat peperangan. Terjawab sudah kontradiksi atau paradoks selama ini, kenapa tatkala Obama berusaha memulihkan ekonomi negara, justru militernya terkesan menghambur-hamburkan uang dengan menebar peperangan di berbagai belahan dunia? Ya, ada korelasi kuat antara perang dan modal. Perang memang butuh modal, namun juga bisa menghabiskan modal itu sendiri. Modal ialah alat utama memulihkan krisis ekonomi, dan salah satu upaya mencari serta mengembalikan modal, yakni melalui peperangan.

Dan agaknya kepulihan great depression tempo doeloe hendak dijadikan model oleh AS dalam rangka memulihkan kembali sistem kapitalisme yang kini porak poranda. Inilah hipotesa yang tak bisa dibendung serta dapat dijadikan asumsi utama guna melanjutkan tulisan ini.

Keluar materi sejenak namun masih pada koridor topik. Agaknya isi pokok suratnya Hugo Chaves kemarin —ketika masih menjadi Presiden Venezuela— kepada Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), menggugah khalayak global untuk merenung sejenak. Ia menulis: “Ada ancaman yang sangat serius terhadap perdamaian dunia. Sebuah seri baru perang kolonial yang dimulai di Libya dengan tujuan jahat untuk MEMULIHKAN SISTEM KAPITALISME global” (Lizzie Phelan, 2011). Tampaknya, penggalan surat Chaves yang dicuplik oleh Phelan menginspirasi GFI, pimpinan Hendrajit, mendiskusikan lebih dalam tentang apa dan bagaimana ujud perang baru sesuai isyarat Chaves, karena launching “seri baru” kolonial dimaksud, menurut Chaves telah dilakukan oleh Barat di Libya.

Utang Dibayar Bom!

Maka mem-breakdown kembali tahapan peritiwa sebelum terbit Resolusi PBB Nomor 1973 tentang Zona Larangan Terbang (No Fly Zone) yang menjadi legalitas AS dan sekutunya (Nort Atlantic Treaty Organization/NATO) membombardir Libya, seyogyanya harus dimulai ketika Gaddafi mencetak uang emas/dinar. Inilah titik mula topik dalam diskusi terbatas di GFI, Jakarta.

Gaddafi menyatakan, bahwa sistem transaksi minyak harus menggunakan dinar, bukan uang kertas (US Dollar) sebagaimana lazim dilakukan. Hal ini membuat AS dan Uni Eropa kebakaran jenggot sebab Barat berutang lebih USD 200 miliar atas minyak Libya. Ini serupa dengan prolog tumbangnya Saddam Hussein, ketika ia menyatakan bahwa setiap transaksi minyak harus menggunakan euro, bukan dolar AS seperti biasanya. Sudah tentu, kebijakan politik Saddam membuat Bush Jr marah besar dan berujung penyerbuan Irak oleh pasukan AS dan koalisi dengan beragam dalih dan tuduhan (menyimpan senjata pemusnah masal, dll) yang hingga Irak luluh lantak, ternyata tuduhan dimaksud tidak terbukti. Selain dari pada itu, konsesi minyak korporasi-korporasi global milik Barat kala itu akan berakhir tahun 2012-an di Libya. Ia mengatakan, jika Barat tidak segera membayar utangnya maka konsesi baru akan diberikan kepada perusahaan-perusahaan minyak milik Rusia dan Cina (http://libyasos.blogspot.com/). Tampaknya deadline tersebut membuat para pemilik korporasi minyak menjadi geram!

Sebagai tambahan selain hal-hal di atas, analisa Hendrajit, Direktur Eksekutif GFI, penyebab utama serangan Barat ialah kontra skema Gaddafi dalam rangka menciptakan kemandirian ekonomi negara-negara Afrika yang dinilai oleh Barat akan mampu merusak kepentingan para korporasi global dalam menguasai kekayaan SDA di Benua Afrika (Baca: NATO Berambisi Lengserkan Muammar Khadafi Untuk Gagalkan Skema Ekonomi Mandiri Afrika, www.theglobal-review.com). Maka dugaan kuat yang kencang bertiup adalah: “bahwa Perang Libya sebenarnya merupakan hajatan korporasi-korporasi minyak raksasa milik Barat”.

Selanjutnya, tatkala pola asymmetric warfare semodel Arab Spring terbukti gagal dalam memprovokasi rakyat Libya sebagaimana suksesnya (isue) provokasi Julian Assange di Yaman, Tunisia, Mesir, dll. Mengapa gagal di Libya? Telah diurai sekilas di atas (Bag-3). Intinya, selain kepemimpinan ala Gaddafi yang uniq namun “sejuk”, warganya ditengarai makmur, sehingga tidak mudah terprovokasi oleh isue tak jelas. Maka tatkala Arab Spring gagal “menggoyang” Libya melalui gerakan massa —mirip di Syria— pola kolonial Barat pun diubah menjadi perang sipil atau pemberontakan bersenjata. Gaddafi jeli. Ia memahami, bahwa pemberontakan tersebut telah dilatih, dipersiapkan serta dibiayai oleh asing. Tapi apa boleh buat, berbeda dengan Bashar al Assad yang tetap cool menghadapi “perang sipil” ciptaan Barat, pada tahapan ini Gaddafi terpancing. Ia kerahkan pesawat-pesawat tempur menghajar kaum pemberontak rekaan Barat. Inilah blunder Gaddafi yang tidak bisa ditarik ulang, karena dari sisi inilah celah humanitarian intervention marasuk, lalu terbit Resolusi PBB cq NATO terhadap Libya melalui pintu genocida. Ya, Gaddafi melakukan genocida terhadap rakyatnya! (Baca: Perampok Internasional dan Kisah Utang Dibayar Bom! www.theglobal-review.com).

Singkat cerita, methode kolonial “seri baru” sebagaimana isyarat Chaves ditandai oleh GFI dengan istilah “Utang Dibayar Bom”. Tak hanya itu, model perampokan internasional pun terjadi, dimana aset-aset Gaddafi miliran dolar di luar negeri “disikat” oleh Barat berkedok pembekuan aset. Luar biasa! (Baca: Disertasi tentang Hipokritas Humanitarian Intervention, Dina Y Sulaeman, http://dinasulaeman.wordpress.com/2011/09/22/perampokan-a-la-nato/ dan Perampokan ala NATO). Dan pointers diskusi terbatas GFI (2012) pun merekomendasi negara-negara yang akan menjadi sasaran berikutnya dalam penerapan seri baru kolonial yang kini tengah dikembangkan oleh Barat.

Negara mana giliran selanjutnya?

(Bersambung Bag-5)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com