Pergeseran Sentral Geopolitik Internasional, dari Heartland ke Asia Pasifik. Apa Geopolitic Leverage Indonesia? *)

Bagikan artikel ini

Penulis: Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)

Kajian strategis Deep Stoat tentang perpolitikan yang mengatakan; “If you would understand world geopolitics today, follow the oil”. Kiranya harus dijadikan sebagai alat guna mengurai isu-isu aktual, terutama dalam mencari darimana asal dan kemana arus geopolitik bergerak dan berujung.

Mengapa Harus Menghidupkan Kembali Geopolitik?

Jenderal vo Nguyen Giap, konseptor dan arsitek pertahanan nasional Vietnam yang sukses mengusir Perancis pada 1954 dan Amerika Serikat pada 1975, pernah mengungkap rahasia suksesnya: “Kekuatan Kami, baik defense maupun offensive, kami dasarkan atas keadaan-keadaan yang nyata dari Vietnam sendiri. Bukan atas dasar pengetahuan dari luar. Melainkan atas dasar pengetahuan geopolitik dari Vietnam.”

Atas dasar pandangan Nguyen Giap tersebut, Bung Karno ketika berpidato pada pembukaan Lembaga Pertahanan Nasional pada 1960-an, menganjurkan agar kita sebagai anak bangsa mengetahui kondisi tanah air kita. Geopolitik kita. Geopolitik merupakan pengetahuan segala sesuatu yang berhubungan dengan konstalasi geopolitik sebuah negeri. Tahun seluk-beluk bangsa dan tanah air. Mengenal segala kondisi baik fisik dan mental dari wilayah berikut masyarakatnya.

Maka dalam penyusunan pertahanan yang efektif, maka tahapannya adalah mengenali dan mengetahui segala unsur dari tanah air dan bangsanya sendiri. Baru kemudian ditentukan model dan cara menyusun pertahanannya.

Geo itu bahasa Inggris, arti Indonesianya adalah bumi, tanah, dan seterusnya. Ia adalah salah satu unsur kehidupan selain air, api dan angin serta merupakan asal-usul manusia (Adam) dulu. Dimanapun geo, seharusnya tak hanya mengantar manusia atau bangsa pada gerbang kemerdekaan tetapi lebih jauh lagi yakni membentuk bangsa dan negara yang hidup di atasnya bermartabat di dunia.

Seperti dikatakan oleh Bung Karno, “Dulu Jepang ngebom Pearl Harbour itu tujuannya adalah Tarakan untuk menguasai sumber-sumber minyak, jadi sejak lama Indonesia akan jadi pertaruhan untuk penguasaan di wilayah Asia Pasifik, kemerdekaan Indonesia bukan saja soal kemerdekaan politik, tapi soal bagaimana menjadikan manusia di dalamnya hidup terhormat dan terjamin kesejahteraannya”(1956). Dengan demikian, geopolitik merupakan ilmu tua yang mampu mengintegrasikan semua hakikat keilmuan, karena di atas geo itulah seluruh permasalahan manusia diselesaikan. Manakala abai terhadap geopolitik, hal itu merupakan titik awal dan sumber bencana bagi ilmu-ilmu (politik) yang ada.

Memahami dan implementasi geopolitik itu sederhana saja, menurut Panglima Besar Soedirman: “pertahankan rumah serta pekarangan kita sekalian” (1947); atau Bung Karno menyebut “ketahanan nasional dapat maksimal jika berdasarkan geopolitik”(1965); Pak Harto dulu sering menyatakan: “.. kesatuan daratan, kesatuan lautan dan kesatuan udara ini dipandang sebagai satu keseluruhan yang bulat. Itulah wawasan nusantara” (1967).

Geopolitik meniscayakan orang belajar tentang realitas dan hakikat materi serta non materi atau spirit. Oleh sebab perjalanan sebuah bangsa tak lepas dari kedua dinamika dan dialektika alam tersebut (materi dan non materi), sementara ilmu dan filsafat membentang dalam spektrum di atas permukaan. Dengan demikian geopolitik sebagai ilmu dan kenyataan hidup, umurnya sudah setua bumi bahkan seuzur kehidupan manusia itu sendiri.

Geopolitik-Indonesia

Indonesia memiliki geopolitik yang strategis dalam interaksi global, selain posisinya di antara dua samudera dan dua benua yang merupakan peluang betapa besar peran yang bisa dimainkan di panggung internasional, juga memiliki kekayaan alam (SDA) beraneka lagi melimpah ruah. Tetapi bangsa ini tidak mampu “mengelola” secara tepat dan baik letak ke-”strategis”-an posisi dan kekayaan SDA yang dimiliki. Mungkin hanya di era BK, Indonesia mampu mengelola geopolitiknya.

Makanya ia menggempur Belanda di Irian Barat dan “mempermainkan” Amerika Serikat. BK memahami jika Irian Barat lepas maka Biak akan dijadikan pangkalan militer terbesar di Asia Pasifik, dan nisaya bakal mengancam kedaulatan Indonesia yang baru tumbuh. Kemenangan atas Irian Barat merupakan kemenangan atas kedaulatan modal terbesar Indonesia. Di wilayah barat memiliki lumbung minyak Sumatera, Jawa dan Kalimantan, sementara di Irian Barat ada gas dan emas. Indonesia bersiap menjadi negara paling kuat di Asia.

Sumatera adalah salah satu bukti nyata. Pulau di sebelah barat Indonesia ini tak sekadar cerita tentang pulau emas, eksotisme alam liar nan indah atau kemashyuran Sriwijaya. Secara geopolitik Sumatera ini sejatinya sangat strategis, namun celakanya banyak orang Indonesia sendiri yang tidak menyadarinya. Sumetara adalah tempat pertama sekaligus terakhir di Asia Tenggara yang ditemukan dunia perjalanan internasional (Baca Sumetara Tempo Doeloe, dari Marcopoli sampai Tan Malaka, Anthony Reid, ed).

Sebagai semacam barikade yang dihadapkan pada titik-titik masuk maritim ke Asia bagian timur, Sumatera adalah tempat pendaratan pertama di bidang pelayaran. Emas dari rangkaian pegunungannnya, lalu kapur barus dari hutan-hutannnya, menarik para pedagang dari seluruh dunia menuju magnet Suvarna dvipa-Tanah Emas. Bukan itu saja. Beberapa jejak peninggalan tertua dari pengaruh India, Arab, dan Cina di Asia Tenggara dapat ditemukan di Sumatera. Luar biasa!

Deli, di Sumatera Timur, sekadar ilustrasi yang lain lagi. Jika kita menelisik ke 1919, Tan Malaka dalam autobiografinya Dari Penjara ke Penjara, sudah melukiskan Deli sebagai tanah emas, surga buat kaum kapitalis. Di perbatasan Deli dengan Aceh, terdapat minyak tanah yang berpusat di Pangkalan Brandan, Pangkalan Susu, dan Perlak.

Bahkan, di perbatasan Deli dengan Aceh terdapat besi. Seperti di Singkep, Bangka dan Belitung, di Jambi sendiri terdapat timah. Bauksit di Riau dan Alumunium terdapat di Asahan, Deli. Bahkan jika dihubungkan dengan arang di Sawahlunto dan airmancur Sungai Asahan, yang punya kodrat nomor 2 atau nomor 3 di dunia, maka bumi dan air Deli sekitarnya dapat mengadakan perindustrian berat apapun juga. Apalagi kalau nanti dapat diperhubungkan lagi dengan logam besi, timah, dan lain lain dari tanah.

Kalau kita mempelajari dan menyerap apa yang menjadi ketahanan budaya dan ketahanan nasional negara-negara lain, Iran bisa kita jadikan contoh nyata yang paling actual. Betapa kesadaran dan wawasan geopolitik dan geostrategi para elit pemerintahan di Iran, merupakan salah satu faktor kebangkitan Iran sebagai kekuatan yang patut diperhitungkan oleh negara-negara adidaya seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, Rusia dan Cina.

Dengan segala kelebihan serta keterbatasannya mampu memaksimalkan peran geopolitik dalam perpolitikan global. Setidak-tidaknya ancaman penutupan Selat Hormuz oleh Ahmadinejad dalam psy war kemarin telah membuat “kekhawatiran” para adidaya dunia, terutama bagi jajaran negara yang sangat tergantung dari dinamika selat tersebut. Ini cuma sekilas contoh, betapa dahsyat pemanfaatan geopolitik suatu bangsa bila dikelola secara baik, bahkan dapat dijadikan geopolitic weapon.

Sebagaimana diurai di atas, ilmu dan wawasan geopolitik di republik tercinta ini terdangkalkan bahkan terabaikan, sehingga bangsa ini tak mampu mensyukuri, menikmati dan mengelola karunia Tuhan Yang Maha Esa sehingga rakyat sebagai pemilik kedaulatan justru termarginal dalam kelimpahan rahmat-Nya.

Tatkala abai terhadap geopolitik, para elit pun seperti kehabisan waktu dan energi berdebat kesana-kemari dalam derivatif berbagai paradigma serta teori sosial politik yang sebenarnya telah dihegemoni oleh kepentingan asing. Terjebak gegap diskusi pada tataran permukaan malah melupakan hal-hal yang tersirat, apalagi membahas yang di bawah permukaan. Nonsense. Bahwa debatisasi berbagai elemen bangsa kini diduga kuat telah dirajut oleh asing dan kaum komprador menjadi “industri demokrasi” dengan berbagai manufaktur dan fabrikasi, seperti perbedaan pendapat, demonstrasi, ego sektoral, konflik, parlemen jalanan dan lainnya.

Maka inilah kemenangan wilayah simbol-simbol (kulit) namun tersungkur di ruang hakiki (substansi). Lembaga pendidikan dan pusat kajian dipompa hanya sekedar mengejar gelar serta status sosial dengan paradigma dan teori yang telah dikendalikan, berputar-putar dalam isue serta terminologi “rekayasa” (demokrasi, HAM, lingkungan dll) yang berpihak kepada kepentingan luar tetapi nihil terhadap historisme yang mutlak harus dipikul dan menjadi tanggung jawab sejarah, sosial dan realitas politik terutama bagi kepentingan nasional saat ini.

Dangkalnya Kesadaran dan Wawasan Geopolitik, Mudah Masuk Perangkap Skema Kepentingan Strategis Asing .

Sebagai contoh sederhana ialah maraknya berbagai konflik di tanah air sesungguhnya tak boleh dilepas dari hipotesa sebagai “hajatan asing” dalam rangka protection oil flow atau blockade somebody else oil flow. Pola yang lazim digunakan oleh kolonialisme ialah menghadirkan pasukan multinasional melalui resolusi PBB dengan alasan HAM dan kemanusiaan, lalu dikeroyok ala NATO seperti Libya atau berujung referendum sebagaimana terjadi di Sudan, Timor Timur dan lainnya. Itulah potensi yang bakal terjadi di republik ini, sementara para elit bangsa “sibuk” dengan dinamika di permukaan namun melupakan what lies beneath the surface (apa yang terkandung di bawah permukaan).

Sekali lagi, abai geopolitik berarti awal bercokolnya “permainan asing” dan menjadi penyebab kehancuran sebuah bangsa.

Dengan kegelisahan pokok seperti terpapar di atas, maka mengenali dan mengetahui konstalasi geopolitik Negara-negara adidaya, merupakan langkah pertama kita untuk mengenali dan mengetahui kondisi-kondisi fisik dan mental bangsa kita, geopolitik kita sendiri.

Merevisi Kembali Doktrin Sir Harold McKinder

Agaknya asumsi itu semakin menebalkan tesis Sir Halford Mackinder, pakar geopolitik Inggris abad ke-19 yang mengklasifikasikan dunia kedalam Empat Kawasan. Empat kawasan tersebut terdiri dari Heartland (meliputi Asia Tengah dan Timur Tengah), Marginal Lands (meliputi Eropa Barat, Asia Selatan, sebagian Asia Tenggara dan sebagian daratan China), Desert (Afrika Utara), dan Island or Outer Continents (meliputi benua Amerika, Afrika Selatan, Asia Tenggara dan Australia).

Tesis Mackinder menyebutkan, bahwa negara yang menguasai kawasan Heartland (memiliki kandungan sumberdaya alam dan mineral yang melimpah), niscaya akan menuju kepada “Global Imperium”.  Dalam kajian politik, conflict is protection oil flow and blockade somebody else oil flow merupakan modus kolonial sejak dulu, dan sering dilakukan untuk menebar penyesatan (mengalihkan perhatian), baik dalam bentuk konflik ataupun gerakan-gerakan massa lainnya di permukaan, agar yang menjadi tujuan utamanya tidak terpantau.

Menurut cermatan GFI, ‘Empat Kawasan’ Mackinder itu, tampaknya sudah tidak akurat lagi. Ini terbaca dari Smart Power-nya AS, apalagi melalui Arab Spring, AS ternyata juga menggoyang negara-negara Afrika Utara seperti Libya, Tunisia, dan Yaman yang nota bene merupakan kawasan Desert. GFI mengendus, AS dan sekutunya kini justru tengah menerapkan teori Toni Cartalucci, Research Assosciate di Central for Research on Globalization (CRG), Montreal, Kanada.

Cartalucci berasumsi: “Matikan Timur Tengah, maka anda mematikan China dan Rusia, dan anda akan menguasai dunia”. Faktanya bahwa sejak 1979, cengkeraman AS terhadap beberapa negara di Timur Tengah melalui Dewan Kerjasama Teluk (GCC) memang terbukti unggul dalam hal dominasi minyak dunia. Setidaknya 90% transaksi ekspor minyak dari kelompok GCC atau 40% minyak dunia, dikuasai oleh AS.

Pertanyaannya adalah kenapa Rusia dan China tidak juga “mati” bahkan semakin menggeliat. Agaknya Cartalucci lupa, bahwa saat ini Rusia sudah menjadi Autarky(negara swasembada) seperti halnya Kanada. Artinya bahwa ketergantungannya terhadap negara lain sangat kecil. Sebaliknya, meskipun kemajuan ekonomi dan militernya relatif signifikan namun China masih tergantung dengan impor.

Menurut hipotesa GFI, hal ini semata-mata karena ENERGI masih tetap sebagai kunci skema bagi setiap manuver apapun, terutama militer. Begitupun, sampai saat ini Kawasan Heartland masih dianggap sebagai titik tolak geopolitik global, sebab merupakan basis produsen minyak dan gas alam dunia, meskipun dalam perkembangannya banyak jajaran negara Afrika Utara, Amerika Latin dan Rusia telah menjadi Net Oil Exporter.

Perkembangan aktual perpolitikan internasional saat ini memang mengisyaratkan terjadinya pergeseran sentral geopolitik dari Kawasan Timur Tengah menuju ke Asia Tenggara, khususnya Laut China Selatan.

Isyarat peralihan tersebut terlihat dari beberapa indikasi, diantaranya AS ingin secepatnya membangun sistem pertahanan rudal di Asia guna melawan manuver Korea Utara. AS juga menyatakan akan memperluas pengaturan militernya di Asia Tenggara dan Samudera Hindia, termasuk peningkatan kerja sama dengan Australia dan penempatan kapal-kapal perang di Singapura.

Selain itu, AS juga mendukung pembentukan ASEAN Security Community pada 2015, dan terkait dengan isu Laut China Selatan, melalui Menhan Leon Panetta, AS menganjurkan agar ASEAN melakukan “tindakan seragam” sekaligus menyusun kerangka aksi yang memiliki kekuatan hukum. Tapi yang paling mengejutkan adalah rencana AS untuk menggeser 60% armada tempurnya ke Asia Pasifik.

Kompleksitas pertikaian wilayah di Laut China Selatan, disinyalir memang bukan sebatas klaim kepemilikan pulau-pulau, melainkan ada persoalan lainnya, diantaranya hak berdaulat atas Landas Kontinen dan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE), termasuk penggunaan teknologi baru terkait exploitasi dan explorasi minyak dan gas bumi oleh negara tertentu.

Ketegangan antara negara-negara di kawasan tersebut secara politis cenderung meningkat karena miskinnya win-win solution. Urgensi geografis Laut China Selatan yang cukup vital dalam pergeseran geopolitik global, memungkinkan terus terkendalanya upaya penyelesaian sengketa, bahkan diduga keras bahwa isu konflik teritorial itu akan menjadi trigger dalam benturan militer secara terbuka.

Situasi ini tentunya akan mempengaruhi negara-negara di sekitar wilayah sengketa, dimana secara geografis, posisi Indonesia berada cukup dekat dengan Laut China Selatan, baik dalam konteks Asia Tenggara, ASEAN maupun Asia Pasifik.

Situasi ini diperkirakan akan berlangsung lama, karena selain menunggu ‘momentum’, negara-negara yang terlibat konflik juga melakukan upaya antisipasif secara intensif dan terbuka, terutama AS dan sekutunya versus China dan pendukungnya.

Jalur Sutra Baru: Dasar Skema Kolonialisasi Impereliasme Barat

Sebelum beranjak terlalu jauh, mari kita selintas bahas soa Geopolitik. Kalau menyinggung geopolitik, maka kita ingat pakar geopolitik Inggris Halford Mackinder (1861 – 1947) yang menelorkan Teori Heartland (Jantung Dunia).

Asumsinya: “Barangsiapa menguasai Heartland maka akan menguasai World Island”. Dijelaskan oleh Mackinder, bahwa Heartland itu istilah lain Asia Tengah, sedangkan World Island adalah Timur Tengah. Tidak dapat disangkal siapapun, kedua kawasan adalah wilayah yang kaya akan minyak, gas bumi dan bahan mineral lain di muka bumi. Siapa menguasai kawasan tersebut akan menjadi Global Imperium, kata Mackinder!

Itulah sepintas asumsi melegenda puluhan tahun lampau yang masih diterapkan hingga kini oleh para adidaya khususnya Paman Sam dan sekutu. Yang kerap kita abaikan adalah fakta bahwa  “Teori Heartland” (penguasaan Asia Tengah dan Timur Tengah)-nya Mackinder sesungguhnya hanya bagian (penggalan) dari Jalur Sutera,. Karena dalam teorinya Mackinder tidak menyertakan kawasan Afrika Utara sebagai salah satu faktor penting dalam konstalasi politik internasional.

Sehingga kita sering abai  ketika negara-negara adidaya melakukan mapping kolonialisasi di dunia, baik yang dilakukan oleh think tank berikut para manpower negeri kaum penjajah dimanapun, niscaya akan merekomendasi, bahwa menguasai kedua negara (Mesir dan Syria) hukumnya wajib bahkan mutlak. Tak bisa tidak. Itulah strategi awal penguasaan geopolitik di Jalur Sutera apabila ingin ‘merajai dunia’.

Ya, strategi penguasaan wilayah Jalur Sutra yang menjadi dasar skema kolonialisasi negara-negara imperialis barat dari dulu hingg kini, seringkali tidak diketahui atau dengan sengaja diabaikan.

Jalur Sutera itu sendiri ialah lintasan rute yang membentang antara perbatasan Rusia/Cina, Asia Tengah-Timur Tengah, Afrika Utara hingga berujung di Maroko.

Jalur Sutra membelah antara Dunia Barat dan Timur. Itulah kawasan sentral pergerakan (ekonomi) barang dan jasa bahkan dikumandangkan sebagai legenda jalur militer dunia sejak dahulu kala.

Mengendalikan Jalur Sutera, identik menguasai dunia, dan menguasai Mesir dan Syria, ibarat sudah menguasai separuh jalurnya.

Namun David Rockefeller, nampaknya sudah membaca tren global akan berubah dan bergeser ke Asia Pasifik, karena skema distribusi energy(minyak) akan bergeser ke Laut Cina Selatan. Karena dari berbagai penelitian, 80 persen impor Cina melalui perairan Laut Cina Selatan. Di sinilah relevansi kajian Deep Stoat di awal tulisan saya tadi.

Maka, David Rockefeller kemudian mengembangkan konsep Jalur Sutra menjadi New Silk Road yang terdiri dari Laut Cina Selatan, Selat Malaka, Laut Andaman, Teluk Bengal, hingga ke Lautan Hindia.

Maka ketika Alfred Mahan, pakar kelautan Amerika Serikat (AS) yang hingga kini “doktrin”-nya masih dianut bahkan diletakkan sebagai dogma negara terutama angkatan laut: “Barangsiapa merajai Lautan India maka ia bakal menjadi kunci percaturan di dunia internasional”. Berarti tersirat yang dimaksud Alfred Mahan adalah Lautan Hindia.

Bisa dimengerti  jika Paman Sam tidak puas hanya dengan US Africa Command (US AFRICOM) guna mengendalikan Afrika, atau US Central Command (US CENTCOM) untuk mencengkeram Dunia Arab. AS pun membangun pangkalan militer terbesar dunia di Diego Garcia, Kepulauan Chargos, Lautan India. Setelah itu, masih dibangun pula pangkalan militer di Pulau Socotra, Yaman. Belum lagi pangkalan militer lainnya seperti di Pulau Cocos, Darwin, Subic dan lain-lain.

Sekadar informasi. selain Socotra itu merupakan PINTU GERBANG ke Jalur Sutera melalui Teluk Aden, Laut Merah – Terusan Suez dan bermuara di Laut Mediterania, juga letak pulau tersebut ternyata hanya 3000-an Km dari Diego Garcia, artinya jika kelak terjadi situasi darurat militer, maka permintaan penguatan militer ke Socotra bisa berlangsung secara cepat.

Temuan tim riset Global Future Institute bahwa komando dan kendali tertinggi gerakan AS berpusat di Pulau Socotra, sedang manuver untuk wilayah Afrika dan Arab terletak di Qatar.

Maka bukan hal yang aneh jika media mainsteam Al Jazeera yang sering menjadi propaganda Barat justru ada di Qatar.

Masih ingat George Rich mentornya John Perkins? Simak nasehatnya: “Pergilah kau ke Mesir, dan gunakan negeri itu sebagai daerah transit untuk menaklukkan Timur Tengah dan juga daerah transit untuk Afrika”.

Cerita Seputar Pencaplokan Pulau Socotra

Menurut dokumen GFI, tanggal 2 Januari 2010 lalu, Presiden Yaman, Ali Abdullah Saleh mengadakan rapat tertutup dengan Panglima Komando Militer AS Jenderal David Petraeus. Diberitakan oleh media massa pertemuan itu adalah koordinasi penanganan aksi Al-Qaeda yang berbasis di Yaman, namun akhirnya terungkap bahwa pertemuan tersebut membahas soal Socotra.

Singkat cerita, Presiden Saleh pun menyerah atas “desakan” Petraeus. Pulau Socotra diserahkan kepada AS sebagai pemegang otoritas keamanan dalam rangka War on Terror (WoT) dan menumpas aksi-aksi perompakan warga Somalia. Dalam skema WoT kelak, Socotra diproyeksikan menjadi pangkalan militer, oleh karena otoritas AS diperkenankan untuk menggelar berbagai pesawat termasuk pesawat tempur dan komersil.

Kemudahan mencaplok pulau uniq tersebut, selain disebabkan pemberian konsesi ekonomi kepada petinggi Yaman sejumlah $ 14 juta US dari Kuwait Fund for Arab Economic Development guna membangun pelabuhan, juga ada isyarat Petraeus akan memberi bantuan peralatan militer. Akan tetapi, fakta menyebut bahwa pasca penyerahan Socotra kepada AS, sesaat kemudian meletus gejolak massa dalam rangka pelengserkan Ali Abdullah dari kekuasaannya —belakangan aksi massa tadi disebut Arab Spring atau Musim Semi Arab.

Pertanyaan investigative kemudian muncul: adakah korelasi antara gerakan massa di Yaman yang notabene merupakan benih Arab Spring dengan keberadaan Socotra sebagai kendali tertinggi AS untuk “manuver”-nya di wilayah Afrika dan Arab? Pertanyaan lagi: siapa berani menyanggah, bahwa maksud tersembunyi pada kalimat “Lautan India” dalam uraian Doktrin Mahan makna tersiratnya ialah Jalur Sutera?

Mengapa Bergeser ke Asia Pasifik?

Jawabannya sederhana. Amerika dan Cina sama-sama mengincar Selat Malaka dan Laut Cina Selatan. Malaka memang selat paling sibuk setelah Hormuz. Dan peningkatan pelayaran merupakan keniscayaan seiring gegap dinamika baik kebutuhan maupun kepentingan pribadi, kelompok dan juga bangsa-bangsa di dunia.

Mari kita simak Zhao Yuncheng, ilmuwan dari China‘s Institute of Contemporary International Relation:  “Whoever controls the Straits of Malacca and the Indian Ocean could threaten China‘s oil supply route.”

Masuk akal jika Presiden Cina Hu Jiantao menegaskan, “Malacca-Dilemma” merupakan persoalan kunci untuk jaminan pasokan energi mengingat 80% impor minyak Cina melewati Selat Malaka, oleh karena itu keamanan jalur di “selat basah” ini menjadi urgen bagi kelanjutan ekonomi Negeri Paman Mao.

Maka Cina pun menerapkan konsep String of Pearls. Yaitu strategi Cina dalam rangka mengamankan suplai energi. Strategi ini mempunyai konsekuensi dibutuhkannya militer modern yang progresif, juga memerlukan akses lapangan terbang dan pelabuhan-pelabuhan. Target jalur yang diincar ialah bentangan perairan dari pesisir Laut Cina Selatan, Selat Malaka, melintasi Samudera Hindia, Laut Arab dan Teluk Persia. Sehingga dalam peta, terlihat mirip untaian mutiara atau gambar kalung (Pearls).

Inilah yang kita prediksikan akan semakin menajamnya konflik terbuka AS versus Cina di kawasan Asia Pasifik, utamanya Asia Tenggara. Karena Amerika pun sudah merekomendasikan hal ini lewat Council of Foreign Relations (CFR) pada 2002, dan bahkan sudah digodok secara lebih matang lewat beberapa think thank di Washington. Sehingga kemudian dirumuskan sebagai dasar kebijakan luar negeri Preisden George W Bush yang kemudian kita kenal sebagai Project New American Century (PNAC).

Pihak perancang kebijakan stretegis Keamanan Nasional di Washington tentunya mencermati dengan seksama strategi String of Pearls tersebut.

Betapa tidak. Implementasi String of Pearls ini memang tergantung fasilitas militer yang memadai di Pulau Hainan; landasan terbang darurat di Pulau Woody, Kepulauan Paracel, jaraknya sekitar 300 mil dari laut timur Vietnam; kontainer fasilitas pengiriman di Chittagong, Bangladesh; pembangunan pelabuhan air dalam di Sittwe, Myanmar; pembangunan basis angkatan laut di Gwadar, Pakistan; pipa melalui Islamabad dan Karakoram Highway ke Kashgar di Xinjiang; fasilitas pengumpulan intelijen di pulau-pulau di Teluk Benggala dekat Selat Malaka dan pelabuhan Hambantota di Sri Lanka, dan lainnya.

Dalam beberapa kasus, ia memberi subsidi pembangunan pelabuhan baru dan fasilitas lapangan udara di negara-negara target dengan kompensasi fasilitas dibuat sesuai standar Cina.

Sehubungan dengan tarik-menarik pengaruh antara AS dan Cina ini, menarik mencermati pengamatan dan prediksi Jean Paul Rodrigue. Menurut Rodrigue, jalur transportasi minyak dan gas untuk kebutuhan energi di Asia Timur selain melalui Selat Malaka, juga melintas di Selat Sunda, Selat Lombok dan lainnya. Tak boleh dipungkiri, ketiganya merupakan selat vital bagi negara-negara Asia Timur, khususnya Cina dan Jepang. Isyarat Rodrigue, jika terjadi hambatan pelayaran di Selat Malaka maka alternatif jalur paling singkat adalah Selat Sunda.

Inilah sisi paling krusial dari wilayah seputar Laut Cina Selatan dan Selat Malaka dalam beberapa tahun ke depan. Cina sudah mengisyaratkan bahwa hambatan utama implementasi Strategi String of Pearls adalah bercokolnya kapal-kapal perang AS dan sekutu di Singapura.

Semakin menegangnya hubungan politik antara Paman Sam dan Paman Mao,  niscaya memiliki implikasi negatif atas hilir-mudik pelayaran Cina di Selat Malaka. Shock and awe pun telah ditebar, melalui janji mengirim kapal tempur pesisir (LCS) USS Freedom di Selat Singapura, ujar Laksamana Thomas Rowden (10/5/2012). USS Freedom ialah kapal perang jenis terbaru AS, memiliki kecepatan hingga lebih 40 knot serta handal untuk perang di lautan dekat pesisir, mampu menyapu ranjau laut dan menyerang kapal selam.

Meskipun data-data ini masih sangat terbatas, setidaknya sudah bisa dijadikan mapping sementara tentang kondisi geopolitik Asia Pasifik menjelang friksi terbuka sebagaimana ramalan PNAC 2002, baik terkait implementasi String of Pearl atau dinamika kapal-kapal negara pesaing Cina, yaitu Amerika dan Australia.

Selat Sunda, Geopolitics Leverage Indonesia?

Apabila dilemma malacca mencapai titik kulminasi akibat perang terbuka, maka besar kemunginan jalur Selat Malaka akan “tersumbat”. Sudah barang tentu, sesuai prakiraan Rodrigue jalur pelayaran akan beralih ke Selat Sunda karena dianggap rute alternatif tersingkat dari jalur-jalur lazimnya. Inilah keunggulan Indonesia secara geopolitik terutama bagi negara-negara yang terlibat konflik. Betapa dahsyat urgensi Selat Sunda dan alur-alur laut lain di mata dunia, karena banyak negara tergantung pada wilayah perairannya.

Sejatinya tinggal bagaimana faktor geografis dijadikan geopolitical leverage (daya ungkit) melalui pemberdayaan secara benar dan optimal berkenaan posisi strategis di antara dua benua dan dua samudera. Menurut Dirgo D. Purbo (2012),  geopolitik dalam wawasan nusantara merupakan jawaban untuk Kepentingan Nasional RI di abad XXI. Tak bisa tidak, Kepentingan Nasional RI harus menjadi rujukan utama dalam memberdayakan daya ungkit (geopolitik) yang melekat sebagai keunggulan geografis Indonesia.

Masalahnya adalah, Ketika Indonesia memberi peluang Cina terlibat dalam pembangunan Jembatan Selat Sunda (JSS), tawaran itu mungkin dianggap “berkah” dari langit bagi Cina.

Kenapa demikian? Selain nilai proyeknya menakjubkan (sekitar Rp 100-an triliun) juga secara geopolitik, kelak Cina-lah yang “menguasai” Selat Sunda dengan alasan profit bisnis selaku investor. Belum masalah String of Pearl dan implementasinya. Artinya peluang itu bukan hanya mengurangi malacca dilemma atau menghindari sekalipun, tetapi bahayanya justru Cina akan menjadi pengendali baru di selat ini. Sehingga bisa memastikan tidak akan ada kendala signifikan pada sistem pelayarannya meskipun ada “sumbatan” di Selat Malaka akibat friksi melawan AS dan sekutu.

Karena itu, tawaran kepada Cina selayaknya perlu direnungkan atau dikaji ulang oleh segenap elit dan pengambil kebijakan di republik ini. anpa sebuah negosiasi yang merujuk Kepentingan Nasional RI, justru berpotensi timbul “bencana geopolitik”. Sudahkah para penggagas dan pengambil kebijakan JSS melek dan sadar geopolitik?

Para penentu kebijakan luar negeri jangan hanya melihat dari aspek sosial ekonomi saja, mutlak harus dicermati juga secara komprehensif atas prakiraan situasi kedepan. Beberapa opini mengkhawatirkan, bahwa JSS dapat mengikis identitas Indonesia sebagai negara kepulauan. Tanpa perencanaan strategis dan pola negosiasi yang canggih dari para diplomat garis depan kita,  jangan-jangan rakyat di sekitar JSS cuma menjadi penonton belaka.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Pertama: Memanasnya suhu politik antara Cina melawan AS dan sekutu, selain menggeser geopolitik global dari Heartland ke Asia, juga meniscayakan perubahan konstelasi di Asia Pasifik terutama Laut Cina Selatan dan perairan sekitarnya. Apalagi jika kelak benar-banar meletus konflik terbuka di perairan;

Kedua: Inilah “perang skema” antara adidaya Barat dan Timur, dimana Paman Sam via Kekaisaran Militer —meminjam istilah Connie— asyik membangun pangkalan militer di berbagai belahan dunia, sedangkan Cina mengimbangi melalui String of Pearls di jalur-jalur utama serta alur alternatif perairan;

Ketiga: Kelak bila terjadi perang terbuka di perairan, bukannya akan langsung berhadapan antara Cina versus AS, tapi pagelaran cenderung menampilkan perang proxy (perpanjangan) antara Cina melawan kelompok negara common wealth di sekitarnya. Akan tetapi para negara satelit tersebut didukung sepenuhnya oleh armada laut AS;

Keempat: Dari mapping prakiraan situasi tadi, semakin terlihat urgensi Selat Sunda dari sisi geopolitik. Artinya ketika Selat Malaka telah menjadi “jalur tidak aman” bagi pelayaran internasional akibat perang, maka rute alternatif tersingkat baik dari dan ke Lautan Hindia serta Lautan Pasifik dipastikan akan melintas di Selat Sunda dan selat lainnya dalam koridor ALKI di Indonesia;

Kelima: Perlu dibidani produk-produk hukum terkait geopolitical leverage (pemanfaatan geopolitik), misalnya “penutupan sementara” selat-selat di Indonesia ketika dinamika pelayaran telah mengancam keamanan nasional dan Kepentingan Nasional RI. Hal ini mutlak segera dilangkahkan oleh segenap elit dan  pengambil kebijakan di republik ini sebagai respon terhadap situasi yang berkembang sekaligus penyikapan peralihan geopolitik global;

Keenam: Bila JSS memang merupakan program yang tidak boleh ditunda, maka rujukan pokok selain menekankan Kepentingan Nasioanal RI juga aspek geopolitik, baik dari sisi kedaulatan negara, kesejahteraan maupun kepentingan pendukung lain bersifat lintas fungsi dan departemen serta melibatkan berbagai tokoh dan masyarakat sekitar. Syukur-syukur ditunda hingga menunggu waktu yang tepat. Tapi paling minimal adalah tinjau ulang atas proposal JSS agar tidak semata-mata mengkedepankan aspek sosial ekonomi belaka;

Ketujuh: Salah satu prioritas pembangunan RI kedepan mutlak harus menguatkan sistem pengawasan dan pengamanan selat-selat Indonesia (ALKI) yang ditopang oleh lembaga dan departemen terkait dengan TNI-Polri sebagai ujung tombak;

Kedelapan:  Kelak dengan sistem pengamanan dan pengawasan perairan yang canggih lagi handal, niscaya akan meningkatkan “daya tawar” Pemerintah Indonesia di forum global manapun, dan lebih jauh lagi adalah mengubah skema geopolitical leverage menjadi geopolitical weapon, atau senjata geopolitik bagi republik tercinta ini.

*) Makalah Pengantar diskusi terbatas di PBNU, Rabu 13 November 2013, Jam 14 WIB.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com