Tim Redaksi The Global Review
Film sebagai salah satu media pencerahan opini masyarakat ataupun pendidikan masyarakat secara konstruktif di era digitalisasi dan keterbukaan ini sudah dimanfaatkan berbagai kalangan untuk kepentingan pragmatis masing-masing kelompok kepentingan terutama menjelang perhelatan pesta demokrasi pada Pemilu 2014.
Demikian dikemukakan pengamat politik Arman Ndupa di Jakarta (17/8/2013) seraya menambahkan, salah satu contohnya adalah pemutaran film “Setelah 15 Tahun” yang selain sarat dengan mengkritisi kehidupan politik dan demokrasi yang belum sesuai amanah reformasi, namun film ini jika diamati secara cermat sarat dengan muatan politis.
“Pada dasarnya film ‘Setelah 15 Tahun’ ada kemungkinan merupakan bagian dari sebuah gerakan yang melibatkan beberapa simpul masyarakat sipil seperti aktivis, akademisi, buruh, keluarga korban, dan jurnalis. “Gerakan Melawan Lupa ini akan mengangkat beberapa kasus pelanggaran HAM masa lalu ke ranah publik salah satunya melalui media film,” urainya.
Pendapat hampir serupa dikemukakan pengamat politik dan sosial media, Hernoto Ramlan yang menduga bahwa kemungkinan ada 3 kasus yang akan dijadikan film dokumenter atau film apapun juga antara lain, kasus pembunuhan wartawan Udin di Jogjakarta yang tahun depan kasusnya akan kadaluwarsa, karena sudah lebih dari 18 tahun.
Kemudian, kasus pembunuhan Munir yang konon saat ini sedang diproses pembuatan filmnya dengan dikoordinir dua NGO yang selama ini getol mengusut kasus ini. “Kasus ketiga adalah korban penculikan tim Mawar yang konon sedang digagas penggalangan dana karena untuk membuat film ini konon dibutuhkan dana sebesar Rp 3 hingga 5 Milyar untuk dijadikan film dengan target tayang antara Maret-April 2014.
“Gerakan yang disingkat dengan “GML” ini kemungkinan memiliki tujuan politik untuk mencegah beberapa tokoh politik yang memiliki rekam jejak pelanggaran ham untuk tidak masuk dalam pentas politik 2014,” tambahnya.
