Setelah muncul sebagai kekuatan baru ekonomi dunia, China kini dipandang sebagai eksportir senjata konvensional terbesar kelima di muka bumi. Pencapaian ini tak lepas dari strategi China dalam mengurangi ketergantungan senjata-senjata buatan asing dengan mulai berkonsentrasi pada industri dalam negeri.
Tekanan dari negara-negara Barat pasca Tragedi Tiananmen 1989, yang ramai-ramai mengembargo ekspor produk militer dan pertahanan ke China, justru membuat Beijing bertekad memenuhi kebutuhan persenjataan secara mandiri. Strategi ini juga berkat dukungan Rusia, yang masih memasok persenjataan ke Tiongkok namun secara perlahan teknologinya mulai diadaptasi China.
Prestasi China ini sekaligus menyingkirkan posisi Inggris dalam peringkat lima besar eksportir senjata terbesar dunia. Demikian ungkap survei Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), suatu lembaga riset berpengaruh asal Swedia mengenai perdagangan senjata tingkat global, seperti dikutip kantor berita Reuters, Senin 18 Maret 2013.
Menurut laporan SIPRI, selama 2008 hingga 2012, volume ekspor senjata China naik 162 persen dari periode lima tahunan sebelumnya. Porsi perdagangan senjata global dari China pun naik dari 2 persen menjadi 5 persen.
Maka, selama 2008-2012, China sudah menggantikan posisi Inggris dalam posisi lima besar negara pengekspor senjara utama di dunia. Kelompok dua besar masih dihuni AS dan Rusia, yang masing-masing menyumbang 30 persen dan 26 persen ekspor senjata dunia, ungkap SIPRI.
Menurut lembaga itu, lima negara pemasok terbesar senjata konvensional selama 2008-2012 adalah AS (30 persen dari ekspor senjata global), Rusia (26 persen), Jerman (7 persen), (Prancis 6 persen), dan China (5 persen).
Ini adalah kali pertama Inggris tidak masuk dalam kelompok lima besar sejak 1950, atau tahun yang paling awal didata SIPRI. Tersisihnya Inggris oleh China di urutan lima merupakan pergeseran besar pertama dalam lima eksportir utama dalam 20 tahun terakhir. Prestasi China itu juga menandakan bahwa untuk kali pertama sejak berakhirnya Perang Dingin suatu negara dari luar kawasan Eropa dan Amerika Utara muncul dalam kelompok lima besar eksportir senjata di dunia.
“China telah mencatatkan posisinya sebagai pemasok signifikan senjata api ke sejumlah negara penting,” kata Paul Holtom, Direktur Program Alih Senjata SIPRI. Ini kali pertama China masuk posisi lima besar sejak periode data 1986-1990 yang dihimpun SIPRI.
Sebagai kekuatan nomor dua ekonomi dunia, kebangkitan China itu belakangan ini mulai diimbangi dengan upayanya untuk memperkuat industri persenjataan dan perlengkapan militer dan anggaran yang terus bertambah. Selain senjata api, China juga mulai merakit kapal induk dan pesawat nirawak. Dalam pameran dirgantara di Zhuhai pada November 2012, China untuk kali pertama memamerkan beberapa persenjataan dalam negeri – seperti helikopter tempur, rudal, pesawat nirawak, dan sistem pertahanan udara.
Pameran dirgantara di Zhuhai itu menjadi contoh bagi SIPRI bahwa pada 2012 China mulai mengeluarkan sejumlah sistem persenjataan baru buatan dalam negeri yang menunjukkan bahwa negara komunis itu mengurangi ketergantungan atas impor senjata. Periode 2003-2007 mencatat bahwa China merupakan “pengimpor terbesar senjara-senjata utama, namun selama 2008-2012 turun di peringkat kedua saat tingkat impornya turun 47 persen,” demikian laporan SIPRI.
Didukung suntikan dana yang besar untuk anggaran belanja militer dan para kontraktor domestik, kalangan pengamat yakin bahwa persenjataan buatan China kini bisa dibandingkan dengan produk-produk Barat maupun Rusia, meski informasi yang akurat mengenai kualitas persenjataan dari Tiongkok masih sulit didapat.
Prestasi China ini menandakan bahwa negara komunis itu kini bisa membuat persenjataan secara mandiri. Ini tidak lepas dari embargo negara-negara Barat atas ekspor persenjataan mereka ke China, terutama sejak reaksi keras mereka atas Tragedi Tiananmen 1989. Ketika itu China menembak mati 3.000 demonstran yang terdiri dari mahasiswa dan masyarakat umum yang tengah melakukan unjuk rasa menuntut penegakan demokrasi di China.
Kondisi itulah yang membuat China berkonsentrasi membuat industri persenjataan secara mandiri. Fokus itu berjalan seiring dengan ambisi China dalam memodernisasi militernya untuk mampu mengambil isu-isu lama, seperti perselisihan dengan Taiwan dan sengketa perbatasan di Laut China Selatan dan Laut China Timur dengan beberapa negara tetangga.
Namun, ada beberapa persenjataan utama yang belum sepenuhnya dibuat oleh China, karena masih memakai komponen-komponen asing. Contohnya, kapal induk pertama rakitan China, yang diluncurkan pada 2012, pada struktur utamanya merupakan warisan dari Ukraina.
Selain itu, jet-jet tempur baru China seperti J-10 dan J-11 menggunakan mesin AL-31FN yang dipasok Rusia. China pun masih memperkuat militernya dengan barang-barang impor. Pada 2012 China memesan 55 unit helikopter transpor Mi-17 dari Rusia. Dengan Moskow pula Beijing berupaya mendapatkan jet-jet tempur Su-35 dan kapal selam.
Menanggapi laporan dari SIPRI, Beijing mengungkapkan ada tiga prinsip yang membuat China berkembang menjadi eksportir senjata. “Pertama, ini sesuai dengan kebutuhan pertahanan diri dari negara penerima yang bisa diterima. Kedua, ekspor ini tidak merusak perdamaian, keamanan, dan stabilitas di tingkat regional dan global. Ketiga, ekspor ini tidak mencampuri urusan dalam negeri negara-negara lain,” ungkap juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Hong Lei.
SIPRI juga mengungkapkan bahwa Pakistan masih menjadi langganan senjata terbesar buatan China. Jumlah pasokan yang dikirim ke Pakistan sebesar 55 persen dari total ekspor senjata api China.
Secara umum, negara-negara Asia masih menjadi pasar utama industri senjata, ungkap SIPRI. Lima negara penerima semuanya dari Asia, yaitu India, China, Pakistan, Korea Selatan, dan Singapura. Bila digabung, kelimanya membeli 32 persen dari total senjata yang dijual secara global.
“Pembangunan ekonomi telah mendorong mereka menyisihkan sebagian anggaran untuk pertahanan demi melindungi investasi, jalur laut, dan zona ekonomi eksklusif,” kata James Hardy, editor IHS Jane’s Defence Weekly untuk kawasan Asia Pasifik. “Tren terbesar adalah penguatan di kawasan pantai dan pemantauan serta patroli maritim,” lanjut Hardy.
Data dari lembaga Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) menunjukkan bahwa, saat ekonomi mereka meningkat pesat, belanja pertahanan negara-negara Asia Tenggara rata-rata naik 42 persen dari 2002 hingga 2011.
Selama Perang Dingin, hampir semua negara Asia sedikit yang berbelanja persenjataan, dan rata-rata hanya membeli meriam dan tank kecil. Sebagian besar ancaman mereka saat itu bersifat internal, lagipula AS bertindak sebagai payung keamanan dari ancaman pihak luar.
Namun, seiring perkembangan situasi, orientasi belanja militer di kawasan ini pun berubah. Mereka kini membeli persenjataan canggih, yang lebih ditekankan pada pertahanan laut dan udara.