Progress Report Pasca Pameran Ianfu Indonesia di Solo

Bagikan artikel ini

Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)

(Berdasarkan Laporan dari Eka Hindra, Peneliti Ianfu Indonesia dan Research Associate Global Future Institute)

Sepertinya Solo benar-benar menjadi tempat untuk membuka kembali Sejarah Kelam Jepang semasa penjajahan di Indonesia 1942-1945. Eka Hindra, peneliti independen Ianfu Indonesia sejak 1999, menginformasikan kepada Global Future Institute sebuah kabar gembira. Berdasarkan rapat tim gabungan Jakarta—Solo-Yogya, telah disepakati untuk membuat “Film Dokumenter Ianfu” yang berlokasi di Gunung Kidul, Yogyakarta. Yang akan dimulai pada April 2013.

Informasi lain yang tak kalah penting menyusul Pameran Iangfu Indonesia yang diselenggarakan atas prakarsa Komunitas Perempuan Solo Jejer Wadon 8-10 Maret 2013, Eka Hindra juga menginformasikan akan mengedepankan secara lebih rinci dan mendalam sosok Tuminah, salah seorang korban Ianfu asal Solo. Menurut keterangan Eka, melalui kesaksian Tuminah inilah, merupakan fase pertama terkuaknya praktek sistem perbudakan seks Tentara Jepang di Indonesia.

Tuminah, Pendobrak 50 Tahun Kebisuan Suara Para Korban Ianfu Indonesia

Kasus Ianfu mulai tercium jejaknya di Indonesia ketika Dr Koichi Kimura, seorang teolog dari Universitas Seinan Gakuin, Fukuoka, Jepang, melakukan investigasi terhadap kesaksian Tuminah sebagai “Ianfu” Indonesia yang pertama-kali bersaksi di depan publik.

Setelah kesaksian Tuminah, maka beberapa korban Ianfu lainnya mulai berani buka suara seperti Mardiyem, Sukanti, dan lain-lain. Namun harus  diakui, Tuminah lah pendobrak kebisuan. Karena itu, Film Dokumenter Ianfu yang akan mengangkat sosok Tuminah sebagai pendobrak kebisuan, film ini sekaligus juga didedikasikan kepada Dr Koichi Kimura, seorang teolog yang telah membongkar Sistem Ianfu, sekaligus menyuarakan kepada Publik Jepang dan Dunia Internasional. Sekaligus dimulainya jalan panjang advokasi bagi para Survivors/Penyintas Ianfu Indonesia sejak 1992 hingga sekarang.

Berdasarkan penelusuran lapangan yang dilakukan oleh Eka Hindra dan Fanny Chotimah dari Komunitas Perempuan Jejer Wadon terhadap kehidupan Tuminah di kota Solo, ternyata kehidupannya amat getir dan menyedihkan. Bahkan makamnya
dalam keadaan sangat menyedihkan. Melalui temuan fakta-fakta lapangan tersebut, maka Film Dokumenter Ianfu tentang Tuminah, akan mengangkat Profil Tuminah dengan latar belakang sejarah Kota Solo dalam cengkaraman militer Jepang 1942—1945.

Satu lagi kabar gembira. Melalui Film Dokumenter ini, Eka dan kawan-kawan seperjuangannya dari Komunitas Perempuan Solo Jejer Wadon, dan juga kawan-kawan lainnya yang bersimpati dengan perjuangan dan Advokasi Ianfu Indonesia, bermaksud menggalang dana masyarakat Solo untuk perbaikan makam Tuminah.

Sekaligus juga untuk rencana pembangunan Tugu di makamnya untuk mengenang Ia sebagai tokoh Ianfu pertama di Indonesia(1992), yang mendobrak kebisuan 50 tahun lebih suara para Korban Ianfu Indonesia.

Fakta-Fakta Baru Terungkap Saat Pembuatan Film Dokumenter Tuminah

Dari proses pembuatan Film Dokumenter Tuminah, ditemukan fakta bahwa Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Sri Paku AlamXII dan Sri Paduka Mangkunegara VII, dinobatkan kembali menjadi Raja, pada 1942 oleh Hitoshi Imamura, Panglima Pasukan 16 yang menguasai Pemerintahan Militer Jepang di Jawa. Para raja ini membungkukkan badan dengan takzim di depan Imamura.

Fakta lainnya yang terkuak menyusul proses pembuatan film Dokumenter Ianfu Tuminah, bahwa bukan hanya Sukarno-Hatta saja yang diundang ke Tokyo. Pada 1943 Sri Paduka Mangkunegoro VII (Raja Surakarta/Solo), juga pernah diundang ke Tokyo.

Sebelumnya Perdana Menteri dan Panglima Perang Jenderal Hidekki Tojo bertemu Mangkunegara VII di Solo dan Surakarta. Bahkan Jenderal Hideki Tojo menggunakan baju Jawa Lengkap dengan Blankon berdiri bersisian dengan Mangkunegara VII di Kraton Mangkunegaran pada 1943.

Sekadar informasi, Tojo adalah Jenderal Angkatan Darat (Rikugun) yang berpikiran militeristik-fasis, yang mengobarkan Perang Asia-Pasifik.

Munculnya Sistem Ianfu

Dalam presentasinya di depan forum diskusi tentang Ianfu di Solo 9 Maret 2013, sebagai rangkaian dari acara Pameran Ianfu Indonesia, Eka Hindra memaparkan beberapa kejadian yang menjadi dasar Angkatan Darat Jepang mengeluarkan
kebijakan yang kelak dikenal sebagai Sistem Perbudakan Seks Tentara Jepang.

Nampaknya cerita bermula dari Cina. Pada 1931, tentara Jepang menyerbu daratan Cina dan membangun pangkalan militer untuk menguasai daratan Cina secara keseluruhan. Hal ini terbukti saat pada 1936 militer Jepang berhasil menduduki kota Shanghai dan mulai mencapai Nanjing yang berjarak 360 kilometer dari Shanghai. Demi mewujudkan ambisinya, tidak kurang dari 135 ribu tentara Jepang dikerahkan (Eka Hindra, Munculnya Sistem Perbudakan Seksual Militer Jepang “Ianfu” 1932-1945).

Serbuan Jepang membuat peperangan tak terhindarkan, rakyat Cina melawan. Bertahun-tahun berperang membuat militer Jepang kehabisan persediaan makanan.

Mereka kemudian menjarahi rumah-rumah penduduk. Hal ini membuat Cina melakukan perlawanan lebih gigih lagi. Akibat peperangan yang berkepanjangan, sebagian besar tentara Jepang mengalami gangguan mental dan menjadi gila. Mereka mulai membunuhi rakyat sipil dan militer. Dan mulai memperkosa perempuan yang mereka lihat di mana saja dan langsung membunuhnya.

Sesudah kota Nanjing diduduki militer Jepang, banyak diantara mereka menderita penyakit kelamin. Oleh karena itu situasi inilah Angkatan Darat Jepang (Rikugun) membuat kebijakan baru yaitu:

1. Tentara yang menderita penyakit kelamin tidak boleh pulang ke Jepang sampai mereka sembuh, agar penyakit kelamin tidak menyebar ke negara Jepang.
2. Militer Jepang memyediakan perempuan-perempuan “bersih” untuk tentara Jepang, supaya tidak terjangkit penyakit kelamin.

Akibat kebijakan Angkatan Darat Jepang ini, 200 ribu lebih perempuan di kawasan Asia seperti Indonesia, Korea Utara dan Selatan, Taiwan, Filipina, Cina, Malaysia, Timor Leste dan Belanda, dikorbankan sebagai budak seks untuk memuaskan kebutuhan seksual sipil dan militer Jepang yang dikenal kemudian dengan “Ianfu.”

Dalam kasus Indonesia, sebagaiman studi yang dilakukan oleh Eka dan Dr Koichi Kimura, dalam skenario Perang Asia Pasifik 1931-1945, Indonesia merupakan wilayah logistik bagi kekuatan perang Jepang. Melalui pertimbangan bahwa Perang modern menaklukkan Asia Pasifik yang dilakukan oleh militer Jepang tidak mungkin dilakukan tanpa minyak. Hindia Belanda (Indonesia) merupakan wilayah yang memiliki kandungan minyak besar di Asia.

Pengerahan tenaga manusia secara paksa, dengan cara mengumpulkan laki-laki usia 16-40 tahun dan perempuan 16-25 tahun yang direkrut dari desa-desa. Tenaga laki-laki untuk dijadikan Romusha (Buruh Paksa) dan perempuan buat dijadikan Ianfu. Perepuan Indonesia yang dijadikan Ianfu dipaksa melalui cara-cara kekerasan, tipu muslihat, dan teror/ancaman.

Para perempuan ini kemudian dimasukkan ke sebuah tempat khusus yang bernama Ianjo, rumah bordil ala militer Jepang. Beberapa bentuk Ianjo yang dipakai untuk menampung  perempuan-perempuan yang dijadikan Ianfu antara lain bekas asrama peninggalan Belanda, markas militer Jepang dan rumah-rumah penduduk yang sengaja dikosongkan.

Menurut catatan Eka Hindra, saat ini tercatat sebanyak 1156 Ianfu yang telah melaporkan kasusnya ke Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta, selain itu sejak 1996 Forum Komunikasi ex Heiho juga mendata Ianfu sekitar 22 ribu orang (termasuk Timor Leste). Namun Eka meyakini pandangan bahwa sesungguhnya masih ada lebih banyak korban yang tidak melapor kasusnya baik karena malu dan masih menganggap aibperbudakan seksual yang menimpanya, maupun karena para korban telah meninggal dunia.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com