M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)
Undang-Undang (UU) terbaru Amerika Serikat (AS) yaitu Countering Iran in The Western Hemisphere (dibaca: western hemisphere) yang terbit awal 2013 menarik dicermati bersama. Kenapa maksud UU tersebut cuma ingin menangkal pengaruh Iran di Amerika Latin? Betapa tendensius sebab AS telah mencantumkan nama “negara”, bukan lagi “ideologi” atau isme sebagaimana strategi yang sudah-sudah.
Memang tak bisa dipungkiri, pengaruh Iran di Amerika Latin semakin hari kian meluas terutama bidang ekonomi dan politik. Tercatat sejak 2005-an bahkan mungkin sebelumnya, Iran memperluas diplomasi dengan membuka kedutaannya di Venezuela, Cile, Bolivia, Nikaragua, Kolombia, Uruguay dan lain-lain. Fakta ini membuat gerah AS dan sekutu, karena di tengah ragam cara serta upaya Barat mengisolasi Iran dari pergaulan dunia, Ahmad Dinejad justru asyik berselancar di “halaman belakang”-nya.
Pertanyaan menggelitik pun muncul: benarkah western hemisphere merupakan skenario terbaru Washington guna membendung Iran; atau hanya sekedar dalih dalam rangka memainkan “tema-tema baru” setelah isu, tema dan skema sebelumnya gagal total di Jalur Sutra? Tulisan tidak ilmiah ini mencoba mengendus kemana western hemisphere bergerak dan berujung, berbekal doktrin AS yang dulu-dulu namun implementasinya masih eksis hingga kini. History repeat it self. Tampaknya sejarah bakal terulang lagi meski dalam kemasan berbeda. Inilah ulasan sederhananya.
US Military Roadmap
Mengkaji western hemisphere, tak boleh ditinjau sebagai faktor tunggal berdiri sendiri, tetapi silahkan breakdown (urai) program dan grand strategy AS terdahulu. Masih ingat US Military Roadmap —peta jalan perang— yang pernah dipaparkan oleh Jenderal Wesley Clark di Pentagon? Prof Michael Cossudovsky, pendiri dan peneliti Central Research for Globalization (CRG), Montreal, Kanada pernah memberi isyarat, bahwa seperti ada instrumentisasi membentuk “satu komando militer” dibawah kendali Pentagon. Ada penyebaran pasukan Amerika dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) di berbagai negara terutama Afrika (Utara), Timur Tengah dan lainnya. Statement Wesley Clark, (mantan) Komandan NATO bisa dijadikan rujukan, bahwa peta jalan (roadmap) penaklukan dunia telah lima tahun lalu direncanakan mulai dari Irak, Suriah, Lebanon, Libya, Iran, Somalia dan Sudan. Sedangkan menurut dokumen Sentral Komando 1995 yang dideklasifikasikan AS, target pertama memang Irak.
Merujuk urutan sasaran sesuai paparan Clark di atas, tampaknya “target pertama” (Irak) dikerjakan oleh Bush Jr era 2003-an. Demikian juga Sudan telah terpecah menjadi dua negara via referendum. Tatkala ada pertanyaan, kenapa Afghanistan (2001), Tunisia, Yaman, dan Mesir tidak tercantum dalam roadmap Pentagon sedang kenyataannya juga menjadi terget? Jawabannya, mereka tergelar di Jalur Sutra dimana membentang dari perbatasan Cina/Rusia – Asia Tengah – Timur Tengah – Afrika Utara hingga berakhir di Maroko. Itulah Jalur Sutra. Rute ekonomi dan militer melegenda berabad-abad lampau bahkan sampai sekarang, oleh karena membelah antara Dunia Barat dan Timur.
Selanjutnya catatan ini tidak akan membahas detail, apakah invasi militer AS dan sekutu di Irak – Afghanistan berhasil atau gagal, karena sudah banyak diulas para peneliti dari Global Future Institute (GFI) dan CRG, mungkin sekilas saja untuk mengaitkan kronologis. Tetapi penekanan materi terkait judul di atas, bahwa desain global penaklukan dunia oleh Uncle Sam, salah satunya menyerbu Iran, sesungguhnya telah terpampang di Pentagon sejak pertengahan 1990-an (baca: Mempersiapkan Perang Dunia III, Target Iran, Chossudovsky, 1 Agustus 2010, www.globalresearch.ca).
Dari titik ini mulai tersingkap, bahwa sejatinya western hemisphere merupakan kelanjutan dari proyek gagal “US Military Roadmap”-nya Pentagon. Artinya ketika pola kolonialisme model simeteris (militer) gagal di Irak, Afghanistan bahkan gagal pula di Libya, lalu model asimetris (non militer) atau smart power gagal juga di Tunisia, Mesir dan Yaman meski terlihat seperti sukses menggusur rezim dalam rangka tata ulang kekuasaan, ternyata muncul revolusi jilid II dimana publik global memotret sebagai ujud “kebangkitan Islam” di Jalur Sutra. Ini yang tengah terjadi. Kebangkitan rakyat telah membawa khabar muram bagi kepentingan AS dan sekutu di kawasan kaya minyak dan gas tersebut.
Doktrin Monroe
Kelahiran western hemisphere, mengingatkan kembali pada doktrin-doktrin kontroversial AS dulu. Tak bisa tidak. Pertama ialah Monroe Doctrine (doktrin monroe) era 1823-an yang dianggap doktrin utama oleh Presiden ke-5, James Monroe. Intinya: “AS menganggap segala campur tangan pihak luar dalam urusan negara-negara di Benua Amerika sebagai (ancaman) bahaya terhadap keamanan dan keselamatan”.
Berbagai pertimbangan melatar-belakangi doktrin ini, tetapi alasan utama ialahphobia (rasa takut berlebihan) tanpa dasar, selain karena tumbuh-suburnya komunisme di Benua Amerika juga faktor besarnya pengaruh Uni Soviet terhadap Kuba. Apalagi ketika Fidel Castro pada Januari 1959 melakukan kudeta terhadap diktator Kuba, Jenderal Fulgencio Batista yang didukung AS. Seketika pemerintahan Eisenhower dan Kennedy menilai, bahwa keberpihakan Kuba terhadap Uni Soviet sudah tidak bisa ditolerir dan merupakan ancaman. Dengan demikian jelas, bahwa doktrin monroe terbit guna membendung penyebaran komunisme khususnya di Amerika dan dunia umumnya.
Akan tetapi dalam praktek doktrin dimaksud, banyak ”kasus penyimpangan” operasionalnya sebab AS sendiri melanggarnya. Contoh pada era Perang Dingin (1947-1991). Ia sering melakukan invasi militer ke wilayah lain baik secara terang-terangan maupun diam-diam berdalih “mencegah tumbuhnya komunis”. Lama-lama terungkap bahwa intervensi militer AS di berbagai belahan dunia bukan semata-mata dalam rangka mencegah komunisme tapi ternyata karena kepentingan (nasional) AS. Dengan kata lain, komunisme hanya sekedar dalih agar ia bisa masuk ke wilayah kedaulatan negara lain.
Itulah sekilas praktek doktrin monroe dimana dampaknya sampai sekarang dirasakan rakyat Kuba berupa embargo ekonomi hampir setengah abad, kendati Uni Soviet sebagai “biang”-nya komunis telah ambruk tahun 1991, namun Kuba masih dianggap ancaman bahkan melebihi induknya. Secara politis, harusnya doktrin tersebut ditinggal oleh AS usai Perang Dingin. Tapi itu tidak dilakukannya.
Doktrin Preemtive Strike
Adapun doktrin preemtiv strike oleh George W Bush dicanangkan tahun 2002-an, setahun pasca peristiwa World Trade Centre (WTC), 11 September 2001 di New York. Berbagai opini menyatakan, bahwa kasus WTC sebenarnya cuma “pemicu” dari grand strategy AS yang jauh-jauh hari disiapkan untuk mempublikasikan doktrin tersebut kepada khalayak global. Memang sempat terjadi kontroversi baik internal negeri apalagi di lingkungan eksternal. Oleh sebab menghadapi komunisme yang nyata, Paman Sam menerapkan containment stategy (strategi pembendungan), mengapa menghadapi teroris yang belum jelas lagi samar-samar menerapkan preemtive strike? Tapi Paman Sam tak peduli, ia jalan terus.
Menurut Samuel P Huntington, penasehat kawakan Gedung Putih yang membidani preemtive strike di buku The Clash of Civilizations and The Remaking of World Order menyebut berbagai faktor penyebab meningkatnya konflik antara Islam dan Barat pasca Perang Dingin, antara lain:
- Tumbuh cepatnya penduduk muslim telah memunculkan pengangguran jumlah besar. Ini menimbulkan ketidakpuasan kaum muda muslim;
- Kebangkitan Islam memberi keyakinan umatnya akan tingginya dan keistimewaan nilai Islam dibanding Barat;
- Di sisi lain, Barat berusaha mengglobalkan nilai dan institusi guna menjaga superior militer serta ekonomi dan turut campur tangan pada konflik-konflik di negara mayoritas Islam. Hal ini memicu kemarahan kaum muslim;
- Porak-porandanya Uni Soviet telah mengubah musuh (komunisme) bersama, sehingga antara Islam dan Barat merasa sebagai ancaman;
- Meningkatnya interaksi keduanya, mendorong perasaan baru masing-masing bahwa identitasnya berbeda dengan yang lain.
Ya, inti kontroversial doktrin usulan Huntington bahwa dengan pertimbangan pembelaan diri —cukup melalui asumsi— suatu negara boleh menyerang kedaulatan negara lain. “Istilahnya memukul lebih dulu sebelum dipukul”. Pertanyaan kritisnya: bagaimana jika asumsi tersebut direkayasa atau dibuat-buat sebagaimana stigma terhadap Sadam Hussein menyimpan senjata pemusnah massal, namun hingga Irak luluh lantak ternyata tidak terbukti? Inilah persoalannya. Seperti halnya doktrin monroe, agaknya preemtive strike pun lahir akibat phobia Barat terhadap Islam. Lalu dengan bermacam alasan, ia pun menebar sentimen keagamaan atas tragedi WTC melalui agitasi “perang melawan teroris” guna meraih dukungan internasional. Ketika propaganda bergeser (atau sengaja digeser) maknanya: bahwa teroris identik dengan Islam (militan) atau radikal, mungkin ini sasaran utamanya.
Perbedaan dan Persamaan Ketiga Doktrin
Dari uraian diatas, diperoleh substansi perbedaan dan persamaan atas ketiga doktrin dalam pola kebijakan yang (mungkin) diterapkan Paman Sam, meski western hemisphere sebenarnya bukan hanya sekedar doktrin tetapi sudah UU negara. Adapun perbedaanya ialah:
- Jika sasaran doktrin monroe dan preemtive strike hanya menyebut isme atau ideologi tertentu sebagai ancaman, sementara dalam western hemisphere menyebut negara sebagai ancaman;
- Kalau monroe digunakan membendung “ancaman nyata” (komunis) di Benua Amerika, western hemisphere pun ditujukan menangkal pengaruh Iran secara nyata di Amerika Latin, sedang preemtiv strike diterbitkan dalam rangka menghadapi “ancaman belum nyata” atau masih samar-samar;
- Kelahiran monroe dan wetern hemisphere belum menimbulkan gejolak baik di internal maupun eksternal AS, sebaliknya preemtive strike timbul pro kontra disana-sini;
- Sasaran operasional monroe dan western hemisphere cuma (satu) komunis dan Iran, sedang target preemtiv strike sifatnya lentur dan “bergerak”, misalnya hari ini senjata pemusnah massal, besok bisa berubah teroris, besoknya lagi mungkin melawan pemimpin tirani, atau genosida, tidak demokratis, dan seterusnya.
Persamaan ketiga doktrin tersebut antara lain:
- Doktrin-doktrin (khusus untuk western hemisphere sudah menjadi UU) negara itu lahir akibat phobia (rasa takut berlebihan tanpa dasar) terhadap “sesuatu” yang diasumsikan ancaman negara bahkan dipropaganda sebagai ancaman bagi perdamaian dunia;
- Operasional doktrin tersebut, akhirnya cenderung menjadi alat politik guna melakukan tindakan (intervensi) ke negara lain;
- Sebelum dimunculkan doktrin, dibuat dahulu isue, stigma atau dalih guna “pembenaran tindakan” yang akan, sedang dan telah diambil oleh AS;
- Muara dari semua pencitraan (propaganda) terhadap negara target, ujungnya selalu invasi militer sebagai metode pamungkas;
- Hanya ada dua opsi atas operasional doktrin AS bagi negara-negara di dunia : “Bergabung Dengan Kami atau Anda adalah Musuh Kami”. Tidak ada kata netral, non blok dan/atau tidak memilih.
Dari diskusi dan pembahasan di atas, maka rekomendasi dalam artikel sederhana ini telah bisa ditarik asumsi bahwa western hemisphere, UU terbaru Paman Sam yang diterbitkan oleh Presiden Obama awal 2013-an ialah kelanjutan dari doktrin-doktrin kontroversial AS terdahulu. Dengan kata lain, inilah ujud pola dan model kolonialisme kuno namun kemasannya baru!
Demikian adanya, demikianlah sebaiknya.
Link dan Bacaan
– Iran: UU Western Hemisphere, Skenario Baru Iranphobia, http://indonesian.irib.ir/politik1/-/asset_publisher/Cu0D/content/id/530422
– Kajian Doktrin Kontroversial AS, M Arief Pranoto, http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=3367&type=4#.UUWRsq7Ktpw
– Western Hemisphere, Upaya AS Tangkal Pengaruh Iran di Amerika Latin, Novendra Deje, www.theglobal-review.com
-Western Hemisphere, http://en.wikipedia.org/wiki/Western_Hemisphere
-Peta Serangan ke Iran, Bagian dari Penaklukan Dunia oleh Amerika, M Arief Pranoto, www.theglobal-review.com/
-CIA Bunuh Peneliti Peristiwa11 September, www.theglobal-review.com