Materi Seminar GFI Tentang Krisis Korea Utara Harus Lebih Dipertajam Lagi

Bagikan artikel ini

(Laporan dan Komentar Zeldy Ramadhan, Mahasiswa Fakultas Hubungan Internasional Universitas Satyagama, Jakarta. Sebagai Peserta Seminar GFI Membaca Kebijakan Luar Negeri AS terhadap Korea Utara, dan Dampaknya bagi Indonesia. 9 November 2017). 

Pada hari Kamis tanggal 9 November 2017 diadakan acara seminar terbatas yang membahas berbagai hal “Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat terhadap Korea Utara dan Dampaknya Bagi Indonesia”. Acara tersebut menghadirkan para narasumber yang berkompeten di bidang hubungan luar negeri, pertahanan dan lain-lain.

Acara seminar tersebut menghadirkan 6 pembicara yaitu Bobby Adhityo Rizaldi sebagai Komisi I DPR RI. Menurut Bobby  indonesia tidak masuk daerah aman bila terjadi perang AS vs Korut,dikarenakan akan memicu terjadi ancaman baik fisik maupun non fisik.

Dampak ekonominya yang paling utama  bila dilihat letak geografisnya Korut, jika terjadi ketegangan yang paling utama kena dampaknya adalah harga energi. Akan terjadi keterlambatan penjualan LNG ke Korsel, ke Cina, ke Jepang selain itu sektor minyak juga akan mengalami hal yang sama

Sementara itu dari pihak Kementerian Pertahanan RI menghadirkan Mayor Jenderal Dr Yoedhi Swastanto sebagai Dirjen Strategi Pertahanan yang memaparkan bagaimana Indonesia bisa menjadi salah satu kekuatan dalam menyelesaikan krisis di semenanjung Korea.

Sebagai sebuah negara yang mempunyai rekam jejak hubungan yang baik terhadap pemerintah Korut, Indonesia perlu menjadi aktor sentral dengan memprakarsai kerjasama multilateral maupun regional. Salah satu kerjasama yang bisa dilakukan Indonesia di dalam forum ASEAN +1 yang juga melibatkan negara besar seperti AS/Tiongkok/Rusia.

Teguh Santosa, Sekjen Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Korea (PPIK) memberikan paparan tentang hadirnya tentara militer AS justru membuat ketegangan di semenanjung Korea semakin parah . Menurut Teguh Santosa latihan militer gabungan antara Korea Selatan dan Amerika Serikat di perbatasan adalan ancaman yang nyata bagi Korea Utara, sehingga langkah Korut melancarkan beberapat uji coba nuklir menandai persiapan Korut dalam menghadapi segala kemungkinan yang terjadi di Semenanjung Korea,termasuk pertempurannya dengan AS dan sekutunya.

Dilihat dari sumbernya, ketegangan memuncak saat ujicoba rudal yang dilakukan Korea Utara sebagai respon atas latihan gabungan itu dimana AS mendapat kecaman pada beberapa pekan terakhir hal ini semakin diperparah oleh pernyataan Presiden AS Donald Trump yang menyebut akan menghancurkan Korea Utara.

Sesi selanjutnya membahas tentang potensi penyelesaian sengketa dimana Indonesia wajib merangkul negara negara Afrika dan Amerika Latin. Menghadirkan Nurrahman Oerip sebagai salah seorang Diplomat Senior Kementerian Luar Negeri.

Berdasarkan pengalaman beliau tidak begitu yakin jika penyelesaian damai di Semenanjung Korea dilakukan melalui forum ASEAN. Sebab didalam internal ASEAN itu sendiri, masih banyak masalah.Sehingga sebagai entitas politik tidak solid.

Indonesia perlu mengajak negara negara di kawasan Afrika dan Amerika Latin untuk ikut terlibat dalam menciptakan perdamaian di Semenanjung Korea, dan menggunakan pendekatan Presiden Sukarno seperti model Konferensi Asia-Afrika di Bandung 1955 maupun Gerakan Nonblok di Beograd pada 1961.

Dari Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Korea Ir Ristiyanto memberikan pemaparan tentang Potensi Ibu Rachmawati Soekarnoputri Sebagai Penengah Konflik Korut-Korsel. Diharapkan lewat dari Ibu Rachmawati dimana sejak Agustus 2016 beliau diangkat oleh Pemerintah Korea Utara (DPRK) Wakil Ketua (Co Chairman) Reunifikasi Korea untuk Asia-Pasifik dapat menjadi peran penengah konflik di Semenanjung Korea terutama konflik Korea yang semakin meruncing akhir-akhir ini.

Salah satu alasannya menginginkan Ibu Rachmawati sebagai penengah konflik  menurut Ir Ristiyanto adalah sikap kebijakan luar negeri pemerintah Indonesia saat ini merupakan yang terburuk sepanjang sejarah mengelola hubungan antara Indonesia dan Korea Utara. Sebab baru pertama kali pada tahun ini melalui Menteri Luar Negeri, Indonesia bersikap mengecam Korea Utara terkait percobaan peluncuran rudal. Sebelumnya, sikap Indonesia hanya menyesalkan dan meminta semua pihak untuk menahan diri terhadap persoalan di Semenanjung Korea.

Intinya adalah bahwa  dengan ikut mengecam Korea Utara, berarti memperjelas posisi Indonesia sebagai satelit Cina dalam kaitannya dengan Percaturan Politik Global.

Hanif Salim dari Pelaksana Harian Deputi Pengkajian Strategik Lemhanas RI memberikan pemaparan tentang kemungkinan sekecil apapun akan terjadinya perang di semenanjung Korea.Menurutnya jangan pernah melupakan sejarah. Bisa kita lihat dari kisah Adolf Hitler dari Jerman memicu meletusnya Perang Dunia II, merupakan sosok pemimpin yang aneh. Sekarang, Presiden AS Donald J Trump juga orang aneh. Bahkan Presiden Korut Kim Jong un juga aneh. Indonesia harus bisa mengantisipasi bagaimana kalau rudal balistik Korea Utara berbelok dan datang ke Indonesia?,Justru sangat beresiko jika selama ini  belum ada yang mengkaji hal seperti itu. Padahal kemampuan dan keahlian teknologi anak-anak bangsa Indonesia sudah cukup tinggi,tetapi harus ada arahan dari negara dan difasilitasi oleh negara.

Secara umum acara seminar terbatas tersebut dimaksudkan sebagai pengkajian, pemetaan dan prediksi prediksi yang akan terjadi terkait memanasnya situasi di semenanjung Korea. Berbagi sudut pandang dan rekomendasi yang kemudian mencuat dalam forum seminar, sebagai masukan bagi pemerintah, dan para penentu kebijakan luar negeri. Sekaligus mencari solusi yang tepat dan efektif agar pemerintah Indonesia mampu bersikap strategis di tengah menajamnya persaingan globak AS versus Cina. Sehingga melalui sikap politik luar negeri bebas dan aktif, Indonesia bisa memainkan peran sentral sebagai penengah konflik.

SARAN dan REKOMENDASI

Menurut saya sebagai peserta seminar, materi-materi yang disampaikan para narasumber maupun paparan para peserta aktif seminar, perlu diperdalam lagi, sehingga pemerintah dan masyarakat Indonesia, termasuk kami-kami dari perguruan tinggi, tahu sikap apa yang perlu diambil  jika pecah konflik di semenanjung Korea sehingga mampu mengantisipasi dampak yang akan timbul.

Hasil atau output dari seminar ini harus disebarluaskan ke berbagai kalajmnganm ternasuk perguruan tingg. Selain beberapa kementerian terkait yang secara langsung bersinggungan dengan topik seminar yang diangkat oleh Global Future Institute (GFI).

Dengan demikian kementerian luar negeri, kementerian pertahanan, DPRI-RI Komisi I, Lemhanas, maupun kalangan perguruan tinggi, bisa satu visi dan satu sikap menghadapi Krisis Korea Utara. Maupun dalam mengantisipasi semakin menajamnya persaingan global AS versus Cina di Semenanjung Korea, maupun di Asia Pasifik pada umumnya.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com