May Day: Tantangan Buruh Masa Kini

Bagikan artikel ini

Alda Nesya Rastiti, peneliti muda di Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia (LSISI), Jakarta

Gerakan buruh di Indonesia mengalami eskalasi, baik dalam konteks perkembangan organisasi yang ditandai dengan kemunculan berbagai serikat buruh maupun intensitas aksi-aksi ekstraparlementer buruh dalam mengartikulasikan kepentingannya.  Sedemikian masifnya gerakan buruh telah menjadikan buruh sebagai salah satu kekuatan politik penting yang memainkan peranan dalam dinamika politik di Indonesia.  Hal ini di satu sisi telah meningkatkan posisi tawar buruh terhadap para pengambil kebijakan, tetapi di sisi lain membuka politisasi gerakan buruh yang justru dapat menjauhkan buruh dari isu-isu kepentingan profesional mereka sendiri.

Posisi gerakan buruh yang semakin strategis saat ini setidaknya ditunjukan oleh pengakuan terhadap eksistensi buruh dalam peringatan hari buruh setiap 1 Mei yang kemudian dikenal dengan istilah May Day.  1 Mei sendiri ditetapkan sebagai hari buruh internasional oleh Federation of Organized Trades and Labour Unions dalam Konggres tahun 1886 untuk memberikan penghormatan terhadap perjuangan buruh di Amerika Serikat menuntut pembatasan jam kerja menjadi 8 jam kerja sehari.  Dari peristiwa itulah kemudian seluruh dunia memperingati hari buruh, termasuk buruh di Indonesia dengan mengadakan berbagai rally unjuk rasa di berbagai kota setelah reformasi.

 

Kompleksitas Tantangan Buruh

Stiglitz (2000) peraih nobel ekonomi mengatakan bahwa tantangan bagi kaum buruh akan semakin meningkat di era globalisasi karena ketidakseimbangan kekuatan (power imbalance) antara buruh dan pemodal.  Globalisasi telah menghadirkan perubahan besar dalam corak dan mode produksi yang bergerak cepat melebihi kemampuan kaum buruh dalam meresponnya.  Dampaknya, kaum buruh seringkali terpinggirkan kepentingannya dalam proses-proses ekonomi seperti perjanjian dagang, peraturan perundang-undangan, kebijakan produksi, diversifikasi industri, tarif dan sebagainya.

Studi yang dilakukan Ronaldo Munck mengafirmasi pernyataan Stiglitz bahwa globalisasi menghadirkan tuntutan fleksibilitas yang tinggi disektor industri akibat kompetisi, resiko finansial, fluktuasi suply and demand, serta perubahan postur dan strategi perusahaan.  Dampaknya menurut Munck, kaum buruh akan menghadapi sejumlah persoalan krusial seperti menurunnya industri padat karya, perubahan hubungan antara buruh-majikan yang kemungkinan diikuti oleh efesiensi pemenuhan hak-hak sosial buruh, berkurangnya campur tangan negara atas perlindungan kaum buruh, ketidakpastian ekonomi, serta hubungan industrial yang semakin ditentukan oleh regulasi pasar.

Dalam konteks Indonesia, dewasa ini kita dihadapkan oleh persaingan antar negara yang semakin ketat di berbagai sektor, termasuk sektor jasa dan industri.  Perdagangan bebas dan integrasi ekonomi kawasan memberikan peluang sekaligus tantangan yang tidak kalah besarnya.  Persaingan antar perusahaan semakin ketat dan tentunya akan berpengaruh terhadap sektor ketenagakerjaan.  Ekspansi modal asing dalam era pasar bebas membuat setiap perusahaan menuntut efesiensi sektor produksi, peningkatan produktifitas dan berbagai insentif lain guna meningkatkan daya saing industri.  Dalam situasi itu tentunya kaum buruh perlu menyadari posisinya dan segera merubah strategi jalanan menjadi perjuangan yang lebih efektif dalam memperjuangkan kepentingannya.

 

Pendekatan Baru

Sejak tahun 1999 buruh telah memfokuskan gerakannya pada isu-isu kesejahteraan dengan tuntutan kenaikan upah.  Hal ini memang persoalan krusial disektor perburuhan sehingga senantiasa memicu gejolak massa setiap momentum penentuan kebijakan pengupahan (UMP).  Aksi protes digelar di berbagai wilayah dan kerap menimbulkan problem sosial dan kekhawatiran munculnya potensi gangguan keamanan, baik yang dapat merugikan kepentingan kaum buruh itu sendiri, masyarakat maupun dunia usaha.  Karena itu, menjadi penting bagi kaum buruh untuk memanfaatkan momentum peringatan May Day guna merumuskan strategi baru yang lebih efektif selain aksi-aksi rally unjuk rasa dan pemogokan buruh.

Baik buruh, pemerintah maupun pengusaha perlu untuk membangun kesepemahaman dan sinergi guna kepentingan bersama. Ketiga stakeholder tersebut harus dapat mengembangkan hubungan kemitraan yang baik guna menjaga iklim bisnis dan investasi yang mendukung pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja.  Bagi para pengusaha, buruh harus dipandang sebagai aset produktif yang perlu untuk dijamin kesejahteraannya sehingga dapat menggerakan roda perusahaan sekaligus pasar potensial bagi produk industri.  Sementara itu, buruh perlu untuk meningkatkan produktifitas dan skill dalam persaingan antar tenaga kerja serta antar perusahaan.  Berbagai perbedaan kepentingan dan pandangan antara buruh dan pengusaha harus dapat didialogkan melalui peran mediasi pemerintah sebagai regulator.  Jika kondisi kemitraan yang kuat ini tercapai, niscaya kepentingan bersama baik buruh maupun pengusaha dapat tercapai dan dengan demikian kepentingan nasional terjamin.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com